12 December 2007

PERAN GIRI KEDATON

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Sejarah peradaban Islam, diartikan sebagai perkembangan atau kemajuan peradaban Islam dalam perspektif sejarahnya.[1]

Berawal dari tersentuhnya masyarakat jahiliyah, yang berada dikawasan Timur Tengah Jazirah Arab. Maka karena semua peradaban yang lebih dulu eksis dikawasan belahan lain misalnya, peradaban Romawi, peradaban Persia, peradaban Bizantium. Akan tetapi bagi seorang Nabi Muhammad, justru peradaban masyarakat jahiliyah tersebut disentuh oleh Nabi, dengan sentuhan halus proses Islamisasi hingga munculnya peradaban Islam.

Masa proses perkembangan peradaban Islam di Jazirah Arab zaman jahiliyah, dengan perjalanan serta penyebaran yang sampai meluas ke berbagai benua, diawali dari Asia terus menyeberang melalui laut Merah menuju benua hitam (Afrika), terus melangkah maju melewati selat Jabal Thoriq (Gibraltar), melalui Spanyol menuju benua Eropa. Untuk membangun nilai-nilai peradaban Islam.

Perkembangan peradaban Islam diberbagai tempat didunia. Peradaban Islam Timur tengah, peradaban Islam Asia, dan peradaban Islam Spanyol (Cordoba). Perkembangan dan kemajuan serta pertumbuhan peradaban Islam yang didasari oleh, olah maupun pola berfikir (intelektual) sedikit lebih maju dari masyarakat Islam. Sehingga dapat mempengaruhi cara berfikir (pencerahan) terhadap peradaban (negara) lain.

B. Ruang Lingkup Dan Rumusan Masalah.

Ruang lingkup yang dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah proses perkembangan peradaban Islam yang diperankan Giri kedaton yang didalamnya mencakup beberapa hal, yang dimulai dari awal peradaban Islam Giri kedaton.

Rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah :

  1. Adakah peradaban Islam sebelum Giri kedaton.
  2. Bagaimana proses terbentuknya peradaban Islam Giri Kedaton
  3. Bagaimana peran Giri kedaton bagi proses perkembangan peradaban Islam.

C. Pendekatan Dan Kerangka Teori.

Ilmu sejarah, demi pengembangan disiplinnya untuk pembangunan pengetahuan adalah kekuatan ditengah arus globalisasi budaya dan universalisasi nilai-nilai, adalah suatu keharusan bila sejarawan menyumbangkan ilmunya kepada bangsanya dalam usaha mengenal diri sendiri agar supaya rekayasa masa depan tetap berpijak pada jati diri bangsa. Dalam kaitan inilah sejarah peradaban mempunyai peranan yang penting, karena hanya dengan melihat ke masa lalu, kita akan dapat membangun masa depan yang lebih baik. Selebihnya, sejarah juga menawarkan cara pandang yang kritis mengenai masa lalu, sehingga tidak akan terjebak pada archaisme dan anakronisme, sekalipun kita berpijak pada jati diri yang terbentuk di masa lampau sejarah kita.[2]

Dalam bahasa Inggris ada perbedaan antara istilah culture dan civilization, dalam bahasa Indonesia terdapat budaya dan peradaban, dan dalam bahasa melayu ada istilah tamadun, yang dapat membuat pembicaraan tentang sejarah kebudayaan menjadi sulit, semata-mata karena terbentur pada peristilahan. Istilah Jerman cultur dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan civilization karena kata cultur dalam bahasa Jerman bersifat lebih inklusif daripada culture dalam bahasa Inggris. Demikianlah misalnya buku Jacob burrckhardt, Die Cultur der Renaissance in Italien diterjemahkan dengan The Civilization of the Renaissance in Italy.[3]

Melihat perbedaaan istilah diatas sebenarnya, hanya beda tipis antara budaya (culture) dengan peradaban (civilization).

Budaya, sebuah peran kehidupan manusia yang lebih menekankan pada aspek ekspresi yang kurang terstruktur, model maupun wujudnya melalui kecerdasan rasio dengan sifat religinya.

Peradaban, sebuah peran kehidupan manusia yang lebih menekankan pada aspek ekspresi yang telah teratur serta terstruktur, punya model, maupun berwujud nyata melalui kecerdasan nalar dengan sifat religinya.

Peran (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peran.

Peran yang melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan posisi dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi seseorang dalam masyarakat (yaitu social position) merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu pada organisasi masyarakat. Peran lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses. Jadi, seseorang menduduki suatu posisi dalam masyarakat serta menjalankan suatu peran.[4]

Perkembangan pengetahuan sejarah realitas adalah teori materialisme sejarahnya Karl Marx. Demikian yang ada dalam penulisan skripsi ini, untuk membantu penulisan sejarah yang lebih empirik dan ilmiah.

Mencermati keterangan diatas, skripsi ini menggunakan penggabungan diakronis dan sinkronis yaitu, meminjam ilmu-ilmu sosial yang ada sehingga kita lebih mampu mengetahui tentang kecenderungan yang bergerak dalam masyarakat, yang akhirnya menunjukkan ke arah mana masyarakat itu berkembang.[5]

Karena gerak perkembangan masyarakat banyak dipengaruhi oleh peran-peran dari sebuah sistem kedudukan dengan fungsi dan penyesuaian diri, dari suatu proses sejarah.

D. Tujuan Penelitian.

Tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui wajah serta peradaban Islam sebelum Giri kedaton.

2. Untuk mengetahui peran pemerintahan Giri kedaton.

3. Untuk mencari sebab serta akibat dari peran Giri kedaton terhadap peradaban Islam.

E. Arti Penting Penelitian.

Arti penting penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah :

Sebagai pencerahan, motivasi atau pendorong semangat kepada generasi manusia. Bahwa Islam di bawah pemerintahan Giri kedaton mengalami zaman keemasan.

Peran para pemimpin Giri kedaton, dalam perubahan pengawalan peradaban, adalah untuk menambah wacana pengetahuan ilmu sejarah tentang keadaan serta kondisi masyarakat di bawah pemerintahan Giri kedaton dalam perkembangan peradaban Islam.

F. Tinjauan Penelitian Terdahulu.

Setelah keluar–masuk bangunan perpustakaan, baik perpustakaan pusat maupun perpustakaan adab dan membaca beberapa penelitian yang dilakukan oleh para mahasiswa. Penulis belum terinspirasi dan judul skripsi menemui jalan buntu.

Tapi setelah main ke rumah bapak Drs. Masyhudi, M,Ag, lantas saya meminjam salah satu karya beliau yang ditulis berdasarkan hasil penelitian kolektif bersama tim Fakultas Adab dan judul penelitian tersebut mengenai, “PERADABAN ISLAM DARI KOTA KUNO GIRI KEDATON GRESIK JAWA TIMUR“. Disusun oleh konsultan, Prof. Dr. H. Syafiq A. Mughni MA. Ketua tim, Drs. Masyhudi M.Ag, anggota tim, Drs. H. Ahwan Mukarrom MA, Dra. Lilik Zulaicha M. Hum, Drs. Muh Hudan, Drs. Amiq MA, Drs. Achmad Nur Fuad MA. Berdasarkan surat keputusan pimpinan proyek nomor : 006 / SK / pelita / SA / 2002, lembaga penelitian IAIN Sunan Ampel Surabaya.[6]

Dilihat Dari judulnya, tertangkap kesan, bahwa peradaban Islam Giri kedaton seolah-olah muncul setelah runtuhnya kerajaan besar Majapahit tanpa disertai peran. Akan tetapi penulis dalam tulisan skripsi ini akan mencoba untuk saling mengisi kekurangan yang ada dalam judul penelitian diatas. Dengan disertai peran yang dilakukan oleh pemerintah Giri Kedaton bagi proses perkembangan peradaban Islam.

Sementara itu dalam penulisan skripsi ini, penulis memfokuskan pada peran yang dilakukan pemerintah Giri kedaton bagi proses perkembangan peradaban Islam. Karena skripsi ini nantinya banyak mengulas tentang sejarah peradaban Islam, maka skripsi ini layak dan pantas ditampilkan di Fakultas Adab, karena bernilai historis.

G. Metode Penelitian.

Pemilihan topik, topik ini dipilih dengan alasan :

1. Pengaruh Giri kedaton bagi perkembangan peradaban Islam.

2. Peradaban-peradaban pemerintahan Giri kedaton dalam proses perkembangan peradaban Islam.

I. Heuristik yaitu, pengumpulan data dari sumbernya.[7]

Maksudnya adalah, kegiatan pengumpulan data-data yang ada hubungannya dengan penulisan skripsi ini dari berbagai sumber, sebagai berikut :

a. Sumber kepustakaan, data diambil dari buku-buku babad, seperti : naskah kuno, arsip kuno, dan sumber tertulis lainnya yang berhubungan dengan skripsi ini.

b. Sumber lisan, data diambil lewat wawancara dengan orang-orang yang dianggap mengerti tentang Giri kedaton.

c. Sumber lapangan, data diperoleh dari peninggalan-peninggalan berupa benda, artefak, prasasti, dan sumber data yang lain.

II. Kritik, yaitu melakukan pengujian terhadap data dan sumber, dalam hal ini kritik dibagi dua :

a. Kritik ekstern yaitu pengujian terhadap data, maksudnya data, tersebut relik itu otentik atau tidak. Dengan cara melihat angka tahun, warna kertas dan juga warna tinta.

b. Kritik intern yaitu pengujian terhadap isi.[8]

Maksudnya adalah dengan cara melihat pada tulisan pada sumber datanya.

3. Interpretasi, yaitu kegiatan untuk menetapkan atau memberikan makna yang saling berhubungan dengan fakta-fakta yang diperoleh adalah bersifat subjektif, artinya tergantung pada penilaian yang dihasilkan oleh penulis.

2. Historiografi, yaitu Usaha rekonstruksi peristiwa yang terjadi di masa lampau. Penulisan itu bagaimanapun baru dapat dikerjakan setelah dilakukannya penelitian, karena tanpa penelitian penulisan menjadi rekonstruksi tanpa pembuktian. Baik penelitian dan penulisan membutuhkan keterampilan. Dalam penelitian dibutuhkan kemampuan untuk mencari, menemukan, dan menguji sumber-sumber yang benar. Sedangkan dalam penulisan dibutuhkan kemampuan menyusun fakta-fakta, yang bersifat fragmentaris itu kedalam suatu uraian yang sistematis, utuh, dan komunikatif. Keduanya membutuhkan kesadaran teoritis yang tinggi serta imajinasi historis yang baik.[9]

Adapun pola penyajiannya sebagai berikut :

a. Informatif deskriptif yaitu penyajian tulisan yang sesuai dengan aslinya sebagaimana diperoleh dari sumber-sumber yang diperoleh.

b. Informatif interpretatif, yaitu penyajian dengan menggunakan analisis untuk memperoleh kesimpulan yang sebenarnya.

H. Bahan Sumber.

Pengertian sumber yaitu segala sesuatu yang digunakan sebagai media atau alat atau bahan untuk merekonstruksi, menggambarkan, menuliskan, mengisahkan kembali tentang apa-apa yang terjadi di masa lampau.

Sumber dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan kedua sumber tersebut.

I. Sistematika Penulisan.

Bab I, menjelaskan tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, ruang lingkup dan rumusan masalah, pendekatan dan kerangka teori, tujuan penelitian, arti penting penelitian, tinjauan penelitian terdahulu, metode penelitian, bahan sumber, sistematika penulisan.

Bab II, menjelaskan tentang keadaan serta wajah peradaban Islam sebelum berdirinya Giri kedaton.

Bab III, banyak menjelaskan tentang proses berdirinya, sampai dengan peran Giri kedaton dalam memproses peradaban Islam bagi masyarakat.

Bab IV, menganalisa tentang apa-apa yang telah diperankan Giri kedaton dalam proses mengembangkan proses peradaban Islam dari masa lampau sampai masa masyarakat kontemporer.

Bab V, sebagai bab terakhir berisi tentang kesimpulan dan saran-saran.

Bab II

Peradaban Islam sebelum Giri Kedaton

A. Peradaban Islam Kaum Pedagang.

Sebelum kemunculan Giri Kedaton, Islam di wilayah Gresik belum mengalami perkembangan yang pesat seperti zaman pemerintahan Giri Kedaton. Islam zaman Fatimah binti Maimun bin Hibatallah dan Syech Maulana Malik Ibrahim.

Proses peradaban Islam yang dilakukan oleh beliau-beliau tersebut adalah melalui proses dagang dengan penduduk asli Gresik ketika itu. Kedua pejuang muslimah dan muslim tersebut datang dengan kapal-kapal dagangnya yang besar dengan membawa barang dagangannya untuk ditawarkan dengan cara-cara ajaran Islam.

Meskipun proses Islamisasi di kota Santri masih penuh tantangan perjuangan, akan tetapi semuanya itu demi terwujudnya akhlaq rachmatan lil alamin (Gresik). Bagi para pemimpin (pedagang) seperti Fatimah binti Maimun maupun Syech Maulana Malik Ibrahim, kata perjuangan untuk tegaknya agama Islam. Merupakan harga mati untuk memperjuangkannya dengan di iringi oleh prinsip-prinsip pengertian dan pemahaman terhadap akhlaq masyarakat Gresik pada waktu itu.

1. Fatimah binti Maimun bin Hibatallah.

Seorang perempuan muslim. Datang ke pulau Jawa dan mendaratkan kapal dagangnya di desa Leran, sebelah barat kota Gresik, kalau sekarang masuk wilayah kecamatan Manyar. Di Leran di temukan situs berupa batu nisan yang merupakan bukti prasasti arkeologis, di batu nisan tersebut bertuliskan :

- Bismillahirrahmanirrahim, kullu man

- Alaiha Fanin wayabqa wajhu rabbika dzul jala

- Li wal ikram. Hadza qabru syahidah

- Fatimah binti maimun bin hibatallah tuwuffiyat

- Fi yaumi al jum’ah….min rajab

- Wa fii sanatin khomsatin wa tis’ina wa arba’i mi’ atin ila rahmati (sebagian orang membaca kata “ wa tis’ina “ dengan bacaan “ wa sab’ina “)

- Allah…..shodaqallah al adzim wa rasulihi al karim.

Artinya dalam bahasa Indonesia :

- Dengan nama Allah yang maha pengasih dan maha penyayang setiap orang.

- Adalah fana atau hancur, hanya wajah Allah sajalah yang kekal

- Dia maha agung lagi maha mulia. Ini adalah kubur seorang pemimpin wanita

- Fatimah binti Maimun bin Hibatallah. Dia meninggal

- Pada hari jum’at…..bulan Rajab

- Tahun 495 H (sebagian membaca 475 H). Dia kembali ke rahmat

- Allah….memang benar Allah yang maha agung dan rasulnya yang maha mulia.[10]

Pemimpin perempuan muslim, pada tahun 475 Hijriyah, atau bertepatan dengan angka tahun masehi 1082 Masehi, demikian pula ada pendapat yang mengatakan 495 Hijriyah, atau bertepatan dengan angka tahun 1102 Masehi. Dilihat dari angka tahun yang tertulis dari batu nisan, bahwa perjuangan yang dilakukan oleh Fatimah binti maimun dalam proses Islamisasi pulau Jawa pada umumnya, untuk daerah pesisir Gresik pada khususnya, yang memasuki waktu bertepatan dengan kekuasaan raja Hindu yang bernama Airlangga, dan suasana masyarakat Jawa pada umumnya menganut peradaban patriarki, secara tidak langsung apa-apa yang di lakukan oleh Fatimah binti maimun dalam memperjuangkan proses Islamisasi kurang mendapat respons dan pengawasan oleh penguasa kerajaan Mataram Hindu pada waktu itu. Akan tetapi di sisi lain bahwa Fatimah binti Maimun telah membuka hubungan dagang dari Cina, India, dan Timur Tengah.

Sebuah mangkuk keramik. Banyak terdapat berserakan, ada yang tertimbun tanah dan juga juga yang timbul diatas tanah. Menurut hasil survey lapangan di desa Leran dusun Pesucinan. Penulis diantar oleh salah satu perangkat desa Leran, lantas dia pun bercerita, bahwa disini (Leran), memang merupakan kota kuno yang telah hilang bahkan dia menunjukkan keramik-keramik kuno yang berbentuk mangkuk.[11] Kalau dilihat dan diamati dengan seksama dan teliti, bahwa yang sekarang ini desa Leran merupakan sebuah kota kuno yang sudah tersentuh oleh peradaban-peradaban Islam melalui proses dagang yang berskala internasional saling menguntungkan.

Demikian juga dengan berita yang di buat oleh tim penelitian arkeologi nomer 48, judulnya “laporan penelitian arkeologi di situs pesucinan kecamatan Manyar (1994-1996)“. Disitu ditemukan sebuah mangkuk keramik abad ke 10 – 11 masehi yang di temukan berdasarkan hasil penggalian dan eskavasi di dusun pesucinan desa Leran Manyar Gresik.[12]

Di salah satu pulau nusantara, Jawa pada zaman itu sudah terjadi interaksi sosial yang bersifat global, dan bahwa juga masyarakat Gresik telah mengenal pedagang-pedagang Islam yang bersifat penuh sopan santun dan akhlaq yang mulia. Sehingga menimbulkan rasa simpati dari penduduk sekitar.

2. Syech Maulana Malik Ibrahim.

Berperan sebagai pedagang, menyebarkan Agama Islam sambil berdagang agar tidak terlalu kelihatan vulgar dan agar orang Gresik tidak menjadi kaget, menjadikan Syech Maulana Malik Ibrahim diberi wewenang sebagai “subandar ing Gersik” (syahbandar di Gresik), serta di perbolehkan menyebarkan Agama Islam kepada orang di Gresik yang bersedia masuk Islam.[13]

Seorang ulama’ pedagang, pejuang dalam proses penyesuaian bagi perkembangan peradaban Islam di pulau Jawa secara umum dan di Gresik secara khusus, perjuangan memang penuh dengan tantangan, hambatan, dan kesadaran waktu.

Syech Maulana Malik Ibrahim dikenal sebagai, diantara para wali pada tahap dewan I yang melakukan proses Islamisasi pada tahun 1404 Masehi. Dewan pertama tersebut antara lain :

1) Syech Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, pedagang, ahli mengatur negara, dakwah di Jawa Timur (Brang Wetan), wafat di Gresik 1419 Masehi.

2) Syech Maulana Ishak, asal Samarkan Rusia, ahli pengobatan, dakwah di Jawa lalu pindah dan wafat di Pasai.

3) Syech Maulana Achmad Jumadil Kubro, asal Mesir, dakwah keliling wafat dan dimakamkan di Troloyo-Trowulan Mojokerto.

4) Syech Maulana Muhammad Al Maghrobi, asal Maghrib – Maroko, dakwah keliling, wafat dan dimakamkan di Jatinom Klaten tahun 1465 masehi.

5) Syech Maulana Malik Isro’il, asal Turki, ahli mengatur negara, di makamkan di gunung santri antara Serang – Merak Banten pada tahun 1435 masehi.

6) Syech Maulana Ali Akbar, asal Persia / Iran, ahli pengobatan, wafat dan dimakamkan di gunung santri antara Serang – Merak Banten 1435 masehi.

7) Syech Maulana Hasanuddin, asal Palestina, dakwah keliling, wafat dan dimakamkan di samping masjid Banten lama, tahun 1462 masehi.

8) Syech Maulana Aliyuddin, asal Palestina, dakwah keliling, wafat dan dimakamkan di samping masjid Banten lama.

9) Syech Subakir, asal Persia, ahli pasang tumbal tanah angker yang dihuni jin jahat yang pada waktu itu banyak terdapat di Pulau Jawa. Lalu kembali ke Persia dan wafat di Persia.[14]

Syech Maulana Malik Ibrahim dikenal sebagai sosok pribadi yang serba bisa dalam berbagai hal dan beliaulah ahlinya. Dalam bidang perdagangan, ilmu agama, bidang politik, dan bidang ketabiban (dokter). Dengan berbagai macam keahlian yang serba bisa tersebut yang paling menonjol, adalah Syech Maulana Malik Ibrahim sebagai sosok alim ulama’ yang mandiri.

Ketika itu Leran merupakan pelabuhan yang pada waktu itu ramai dan sangat banyak di kunjungi oleh para pedagang dari berbagai negara. Di desa Leranlah Syech Maulana Malik Ibrahim pertama kali menyandarkan kapalnya di pangkalan kapal Leran, seperti layaknya kapal-kapal lain yang juga bersandar.

Lantas kanjeng Syech Maulana Malik Ibrahim bersama rombongan turun dan mendirikan sebuah masjid yang tidak berfungsi sebagai tempat beribadah, melainkan juga berfungsi sebagai pusat pendidikan (pesantren). Di sebuah masjid itulah ia memulai mengabdikan dirinya bagi perkembangan agama Islam, yang kemudian semakin lama semakin berkembang pesat.

Syech maulana Malik Ibrahim dikenal sebagai ulama’ ahli pengobatan selain pedagang, dan banyak memberikan pertolongan kepada penduduk sekitar apabila ada yang sakit. Keahliannya yang lain adalah ahli dalam bidang strategi politik untuk misi Islamisasi elite politik kerajaan Majapahit yang pada waktu itu di pimpin oleh rezim penguasa yang bernama Wikrama Wardhana (1369 – 1428 Masehi).[15] Di dalam misi Islamisasi tersebut Syech Maulana Malik Ibrahim bekerja sama dengan Sultan Mahmud syah alam Raja Kedah di Malaka untuk mengawinkan putri raja yang bernama Aminah binti Mahmud. Para penguasa di Kedah kebanyakan menggunakan gelar kehormatan dengan sebutan “Sultan Syah“.[16]

Dalam proses Islamisasi pada tingkatan para elite penguasa atau raja-raja yang pada waktu itu masih beragama Hindu. Syech Maulana Malik Ibrahim tidak secara gampang dan mudah mempengaruhinya, tapi beliau memikirkan cara atau strategi yang pas untuk supaya elite pejabat Majapahit memeluk dan mengikuti ajaran Islam yang oleh Maulana Malik Ibrahim yakini paling benar selama hidupnya. Dalam siasatnya Syech Maulana Malik Ibrahim menggunakan cara perkawinan, akan tetapi Malik Ibrahim tetap memegang nilai-nilai yang bersifat prinsip-prinsip Islam yang selalu menjunjung tinggi nilai akhlaqul karimah yang sangat luhur.

Setelah sekian lama dan merasa cukup kuat posisi Islam di Leran. Mulailah Syech Maulana Malik Ibrahim bergerak ke arah timur mengarah ke kota Gresik. Sebelumnya beliau berhenti di Desa Roomo dan mendirikan sebuah masjid yang juga punya fungsi sebagai pesantren, kemudian dilanjutkan kembali pergerakannya sampai di Desa Sawo, kalau sekarang pusat kota Gresik, di desa tersebut Syech Maulana Malik Ibrahim membangun sebuah masjid dan dikenal dengan sebutan langgar sawo, dan setiap tempat-tempat yang telah disinggahi oleh Syech Maulana Malik Ibrahim selalu memfungsikan masjid sebagai tempat pusat pendidikan (pesantren), basis pergerakan serta kaderisasi demi cita-cita tegaknya agama Islam. Di desa Sawo inilah Maulana Malik Ibrahim menetap hingga wafat dan di makamkan di desa Gapura Sukolilo.[17] Pada tanggal 12 Robiul awal 822 H atau bertepatan dengan tanggal 8 April 1419 M.

Jika proses pergerakan Syech Maulana Malik Ibrahim dari desa Leran sampai ke desa Sawo (kelurahan kemuteran kota Gresik), diamati dan di pelajari. Maka perjalanan Maulana Malik Ibrahim tersebut bukan tanpa maksud, dalam setiap langkah bergerak beliau sangat memikirkan dan belajar dari para pendahulu-pendahulunya, serta hasil pengamatannya terhadap peta wilayah (geo politik) daerah pesisir Gresik pada waktu itu. Hasil berpikirnya, beliau menggunakan pola gerakan dengan sistem stelsel atau sistem yang saling berkait-kaitan agar supaya hubungan komunikasi dalam aktifitas gerakan Islamisasinya tidak gampang di putus begitu saja. Hasil yang terjadi adalah malah menjadi semakin kuat dan berkembang.

Sistem semacam atau seperti itu yang di praktekkan Maulana Malik Ibrahim, lantas dibajak begitu saja tanpa aturan Haki (hak kekayaan intelektual) oleh pemerintah penjajah Belanda dengan menggunakan istilah benteng stelsel, yang di gunakan dalam perang melawan pangeran Diponegoro dalam proses mengepung pergerakan Diponegoro dan pasukannya, sehingga wilayah gerakan perlawanan pangeran Diponegoro tambah mengecil dan menciut. Pada akhirnya pihak penjajah belanda dengan sangat mudah membujuk dan berhasil menangkap pangeran Diponegoro dan mengakhiri perlawanannya.

B. Situs Peradaban Islam sebelum Giri Kedaton.

Pemimpin atau tokoh semacam Fatimah binti Maimun bin Hibatallah dan Syech Maulana Malik Ibrahim banyak meninggalkan nilai-nilai dan wujud benda. Berupa ilmu, ajaran, dan bentuk bangunan, yang perlu dipelajari kembali melalui ilmu sejarah. Karena daya nalar pemimpin tersebut sedikit lebih maju dibanding dengan masyarakat sekitarnya. Peninggalan tersebut diantaranya adalah :

1. Batu nisan Fatimah binti Maimun yang saat ini telah tersimpan di museum Trowulan, Mojokerto. Merupakan sebuah bukti prasasti yang dapat di pelajari untuk dan oleh generasi ke generasi hingga munculnya penafsiran-penafsiran baru yang mendekati kebenaran, dari sejarah-sejarah manusia yang berbeda zaman tapi punya kesamaan pada tiap-tiap tingkah lakunya.

  1. Peninggalan berupa wujud mangkuk, juga merupakan bukti sejarah yang mewakili Fatimah binti Maimun bin Hibatallah, begitu juga adanya kota kuno Leran yang pada tahunnya menjadi pusat peradaban perdagangan antar bangsa-bangsa dunia.

3. Tambak pangkalan dinamakan tersebut karena memang di tempat tersebut terdapat semacam bekas tempat kapal-kapal para pedagang dari berbagai negara untuk bersandar terus melakukan aktifitas dagang. Dan di tempat itu pula kapal Fatimah binti Maimun dan Syech Maulana Malik Ibrahim merapat dan menyandarkan kapalnya.

  1. Telaga sigaran, memang sebuah nama yang agak berbeda, diantara lingkungan desa Leran yang kebanyakan berupa tambak. Dinamakan telaga karena memang di tempat tersebut dulu digunakan oleh jama’ah masjid Maulana Malik Ibrahim untuk mengambil air wudlu, tapi di pisah (sigar[18] : dalam bahasa Jawa) antara perempuan dengan laki-laki.[19]
  2. Bedug dan batu pondasi. Karena bentuk dan model Masjid Maulana Malik Ibrahim sudah berubah dan mengalami revolusi konstruksi total, maka yang tersisa adalah beberapa batu pondasi serta sisa-sisa kayu yang dikumpulkan dalam satu tempat dan jadi salah satu bukti. Beruntung kondisi bedug sebagai saksi berupa benda masih bisa di selamatkan di museum Sunan Giri.
  3. Mimbar untuk sholat Jum’at, juga berhasil di selamatkan dan sekarang di tempatkan di Masjid Leran. Karena berubahnya fungsi masjid Maulana Malik Ibrahim menjadi sebuah Langgar (musholla) hanya untuk sholat lima waktu dan kegiatan mengaji anak-anak kecil serta ekspresi kesenian Islam seperti diba’an dan hadrah. Meneruskan dan mempertahankan model peradaban sang pendiri.

Bab III

Giri Kedaton

A. Proses Berdirinya Giri Kedaton.

Para pemimpin tradisional dengan sistem nasional yang mengawasi masyarakat lokal. Ia sebenarnya berhubungan dengan pandangan para pemimpin tradisional terhadap kewenangan kekuasaan luar serta cara mereka memanfaatkan kekuasaan ini agar dapat menghindari pertentangan langsung sementara pada waktu yang sama, mengupayakan pelestarian kedudukan dan kepentingan mereka sendiri dalam masyarakat itu.

Hal penting mengenai legitimasi peran mediator dan kenyataan bahwa setiap mediator dan perantara peradaban ini telah menggambarkan peran kepemimpinan dan otoritasnya dalam susunan sosio kultural yang berbeda dalam masyarakat.

Kedudukan mereka yang berhadapan dengan sistem nasional atau masyarakat lokal serta loyalitas yang hanya bertumpu untuk mengamankan kedudukan mereka menciptakan suatu perbedaan tidak hanya dalam bentuk hubungan dan interaksi antar kelompok saja, tetapi juga dalam bentuk dan proses perubahan sosial peradaban itu sendiri, bahkan keberhasilan usaha-usaha memajukan “perantara peradaban” dengan perubahan nyata diperkirakan disebabkan oleh faktor-faktor penting lain yang ikut berperan dalam mewujudkan perubahan dan modernisasi.

Syarat ini diperlukan bagi semua pemimpin tradisional ketika tidak ada dukungan dari sistem nasional. Kendati tidak realistik untuk menolak secara total prospek kemunduran para pemimpin tradisional seperti ini ketika masyarakat dengan pesat terintegrasi ke dalam sistem nasional, bagaimanapun hal ini menyimpan suatu pertanyaan bagaimana struktur sosial dan konstruksi peradaban masyarakat tertentu mempengaruhi bentuk dan pranata usaha pemimpin tradisional untuk mengatasi dan mengikuti gerak perubahan. Karena hanya ideologi dan simbol mereka yang cocok untuk masyarakatlah yang dapat digunakan oleh para pemimpin tradisional sebagai alat untuk membangkitkan emosi dan loyalitas yang efektif dari masyarakat tertentu, sehingga dapat membantu proses adaptasi mereka untuk merubah hubungan masyarakat bangsa dan pelestarian sistem sosio-kultural lokal.

Kelihatannya kunci yang paling pokok untuk mengenali dan memahami kelestarian otoritas para ulama’ dan tokoh Islam adalah terletak dalam fungsi dan kedudukan mereka yang berkaitan langsung dengan agama dan umat dan antara pusat peradaban Islam. Ketaatan beragama menghasilkan rasa kebersamaan dan kesatuan masyarakat yang bermoral, yang menghormati otoritas moral sebagai satu-satunya bentuk kepemimpinan yang kuat.[20]

Sebuah pemerintahan Ulama’ dalam suatu kerajaan, seorang pemimpin tidak dapat muncul begitu saja. Kalau tanpa tempat, rakyat dan pengakuan atau dalam istilah ilmiah populernya disebut legitimasi.

Di sebuah pondok pesantren di Ampel. Setelah sang guru membuat keputusan yang cukup matang, maka Sunan Giri dan Sunan bonang (anak Sunan Ampel) keduanya telah sekian lama belajar di pesantren Sunan Ampel. Terus keduanya di suruh sang guru (Sunan Ampel) untuk menuntut ilmu yang lebih mendalam ke Mekkah, akan tetapi keduanya di suruh Sunan Ampel mampir dahulu di negeri Pasai untuk menemui Syech Maulana Ishak dan Maulana Ishak tersebut adalah ayah Sunan Giri.[21]

Di negeri Pasai itulah Sunan Giri dan Sunan Bonang justru tidak di perbolehkan melanjutkan niatnya melanjutkan perjalanan oleh Syech Maulana Ishak. Malah yang terjadi Sunan Giri dan Sunan Bonang melanjutkan studinya di Pasai, belajar kepada Syech Maulana Ishak tentang ilmu-ilmu agama Islam yang lebih mendalam.

Setelah masa studinya dirasa cukup dengan ilmu yang diperoleh dari Maulana Ishak, lantas Maulana Ishak menyuruh keduanya untuk kembali ke pulau Jawa dengan memberikan segenggam tanah dan berpesan untuk supaya mendirikan pesantren yang tanahnya cocok dengan segenggam tanah tersebut kepada Sunan Giri. Ikut serta juga santri syech Maulana Ishak yaitu : Syech Grigis dan Syech Koja. Pesantren yang didirikan itu menjadi sebuah pesantren yang tidak hanya terkenal di Jawa Timur.

Para murid-murid (santri) datang hendak mengaji (studi) pada Sunan Giri, tidak saja berasal dari pulau Jawa, melainkan juga berasal dari kawasan Indonesia timur antara lain : dari pulau tetangga yaitu Madura, pulau Lombok (Nusa Tenggara Barat), Makassar (sulawesi), hitu, halmahera dan ternate (kepulauan Maluku).[22] Memang pada awal berdirinya Giri Kedaton masih murni sebagai pusat pengembangan dan pendalaman ajaran Islam ahlussunnah wal jama’ah di seluruh nusantara. Dengan kata lain Giri Kedaton menjadi sentra pendidikan religius (pusat pesantren).

Akan tetapi proses berdirinya pesantren tersebut tidak segitu gampangnya. Dengan modal niat, keyakinan, serta keinginan kuat untuk berjuang. Sebenarnya awal berdiri pesantren telah dimulai sejak beliau melakukan lawatan studi ke negeri Pasai.

Syech Maulana Ishak adalah seorang ulama’ di Pasai dan Pasai adalah wilayah kerajaan Islam yang tidak bisa di taklukkan oleh kerajaan Majapahit. Maulana Ishak memiliki wawasan dan pengalaman politik yang sangat dibutuhkan oleh Sunan Giri. Maka beberapa bulan lamanya Sunan Giri tinggal di Pasai untuk belajar ilmu siyasah (politik) kepada ayahmya. Salah satu ilmu yang didapat Sunan Giri dari Pasai adalah mencari tempat strategis yang kelak dalam jangka panjang akan menjadi istana kerajaannya.

Sepulang dari Pasai, Sunan Giri langsung menghadap Sunan Ampel, mertuanya. Rupanya ada pembicaraan serius, sehingga beliau tidak menundanya. Pembicaraan tersebut seputar pesan ayahnya untuk mencari tempat yang serupa dengan segenggam tanah yang dibawa dari Pasai. Sunan Ampel memberi do’a restu dan mendukungnya agar pesan itu betul-betul dilaksanakan meski hal itu bukan pekerjaan yang mudah.

Selanjutnya ada semacam proses perjalanan mencari. Sunan Giri mempertaruhkan jiwa dan raganya menyusuri tebing serta mendaki gunung-gunung yang ada di Gresik. Napak tilas itu diawali dari titik historis, dari wilayah pesisir kota hingga ke arah pantai utara (pantura). Lama belum kelihatan hasilnya, tiba-tiba duka menghadangnya. Sunan Ampel wafat, bertepatan dengan tahun 1475 Masehi.

Setelah kepergian Sunan Ampel, pencarian itu masih berlangsung. Sunan Giri mengamati posisi sebuah puncak gunung di bagian paling timur arah selatan kota Gresik. Beberapa hari lamanya ia melakukan ritual di puncak gunung itu. Tak sampai empat puluh hari, beliau harus mengurungkan niatnya. Ibu asuhnya Nyai Ageng Pinatih, sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Kemudian gunung itu disebut gunung Wurung.

Setahun kemudian, napak tilas itu sudah melalui gunung Wurung. Kemudian Sunan Giri mendaki sebuah puncak gunung. Disitu ia membuat musholla (langgar) menyerupai padepokan bersama Syech Grigis dan Syech Koja serta santri-santrinya. Sunan Giri bahkan ikut menukangi pembuatan langgar itu. Lantas gunung tersebut, disebut gunung Petukangan. Di gunung petukangan itu Sunan Giri lebih tekun dan lebih khusyuk beribadah. Bahkan ia seolah-olah telah membuka kehidupan baru (Ihyaul mawal). Namun setahun kemudian Sunan Giri bergeser ke bukit Landai di selatan gunung Petukangan. Beliau bermunajat pada tengah malam di bukit itu dan melakukan tirakatan empat puluh hari.

Pada puncak malam ke empat puluh, dalam sholat tahajud Sunan Giri melihat sorot cahaya berkilau di arah barat. Kemudian Sunan Giri berusaha melacak asal cahaya itu. Ternyata posisi cahaya itu beliau temukan di sebuah puncak diantara gunung Petukangan dan Sumber. Puncak itu adalah Giri Kedaton yang telah lama di impikan. Tanahnya serupa dengan segenggam tanah yang beliau bawa dari negeri Pasai.

Proses pencarian berhasil. Sunan Giri mulai mewujudkan cita-citanya di Giri kedaton. Adapun puncak dimana Sunan Giri melihat cahaya, lalu menduga (mbatang) bahwa cahaya itu adalah ilham atau petunjuk dari Allah SWT (Tuhan), maka puncak itu disebut Gunung Batang.

Giri Kedaton setelah ditemukan Sunan Giri sekitar tahun 1481 Masehi, ternyata memang menjadi tempat penuh berkah. Pertama-tama ia membangun masjid di puncak kedaton. Masjid tersebut sekaligus sebagai sarana pendidikan (pesantren) bagi para santrinya.

Sebelum Sunan Giri menjadi raja, ia merupakan sosok yang berbasiskan massa, yaitu para santrinya yang militan, terdidik dan terlatih. Basis santri ini ada yang berasal dari berbagai pulau di nusantara antara lain, Kalimantan, Sulawesi, Madura, dan Maluku. Sehingga kelak ketika Sunan Giri ketika Sunan Giri mendirikan Kerajaan Giri, maka basis pendukungnya adalah para santrinya yang militan itu, ditambah penduduk Giri dan Gresik yang juga menaruh kepercayaan kepada Sunan Giri.

Setelah Sunan Giri telah memiliki legitimasi publik (rakyat) yang kuat, dukungan dan dorongan dari tiga pembesar Jawa Dwipa itu tidak bisa di tolak oleh Sunan Giri. Maka pada hari senin tanggal 9 Maret 1487 Masehi, Sunan Giri mulai mendeklarasikan berdirinya kerajaan giri. Dalam prosesi itu, di Giri Kedaton, Raden Patah selaku raja Demak memberikan gelar Prabu Satmoto kepada Sunan Giri. Pada kesempatan yang lain, raja Hitu dari kepulauan Maluku membingkiskan gelar raja dari bukit Giri kepada Sunan Giri.

Itulah gambaran proses melinggihkan (duduk, legitimasi elit). Sunan Giri sebagai raja di Giri Kedaton yang dihadiri pula oleh para sunan dan wali di Jawa. Tempat untuk menobatkan Sunan Giri sebagai raja itu di diberi nama pelinggihan (tempat duduk) kedaton. Selanjutnya menjadi singgasana kerajaan Giri.[23] Jadi Sunan Giri berguru di Pasai, merupakan bagian dari silaturrahmi jaringan islamisasi serta untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih luas tentang perpolitikan Islam di Jawa yang ketika itu berhadapan dengan kekuatan Majapahit sebagai penguat ajaran Hinduisme dan Buddhisme.

Namun sekarang ini yang disebut dengan pelinggihan tersebut berbentuk sebuah batu besar, selain itu juga dapat ditemui kolam wudlu pada sisi utara dan selatan, benda-benda tersebut dapat dijumpai di bangunan situs Giri Kedaton yang bertempat di Desa Sidomukti.

Menurut hasil laporan yang berdasarkan data lapangan hasil kegiatan pelestarian dan konservasi situs Giri Kedaton tahap III di Dusun Kedaton, Desa Sidomukti, kecamatan Kebomas, kabupaten Gresik. Untuk sementara disitu ditemukan struktur bangunan lima dinding teras berundak.[24] “Adapun yang di tulis dalam babad Gresik terasnya tertulis ada tujuh berundak”. Menurut pengamatan penulis di lapangan bahwa hiasan pada dinding pada Istana merupakan model bingkai cermin. Untuk pintu utama istana yang di dapati oleh penulis adalah menghadap pada arah timur dan utara, bangunan keseluruhan istana Giri Kedaton tersebut terpengaruh dari bangunan-bangunan pada masa pra Islam, yaitu pada masa Mataram kuno dan Majapahit.

Selanjutnya, melalui aturan sebagai penguasa Sunan Giri memberi keputusan hukum kepada Syech Siti Jenar, berikut ini proses pengadilannya : “Punika. Tetkolo amirit ilmu paguneman ilmu roso. Pakumpulan poro wali songo ono ing masjid Giri puro kedaton, lan sekehe poro ratu, poro aulia sedoyo. Nuli angendiko kanjeng sinuhun prabu satnetro, Sunan Bonang Tinari, miwah (su) suhunan Kalijaga lan (kan) jeng (su) suhunan Ngampel, serto suhunan Qudus miwah seih Siti Jenar, lan sarto seih Benung miwah Pangeran Fulimbang lan panembahan Ma’dum.

Nuli angendiko Kanjeng sinuhun Prabu Sat Netro : Syukur sewu pepek sanak kulo sedoyo, sami guneman ilmu roso. Apan wus sami tunggal kapti. Sampun (112) wonten parebat ; sampun sami masang semu, sampun mawi tetimbang, sami percoyo ing kapti.

  1. Nuli (su) suhunan Bonang beber ilmu ; kang sejati : tegese saliro iku dzat, sifat, af’al. af’al ing yang sukmo nyoto ing qalbu amnyo dzat Allah kang murbo wasesa ing dewek iro. Nuli (su) suhunan Ngadiluwih beber ilmu : Tegese saliro iku sasat jeneng ingsun purbo Allah sukmo sebut jeneng urip sejagad.
  1. Nuli (kan)jeng sinuhun Prabu Sat Netro beber ilmu : tegese saliro iku urip tunggal anegerahan budi urip sukmaning sejati.
  2. Nuli (su) suhunan Qudus beber ilmu : ruh wajib iman cahyo (113) mancur kadi suryo mijil saking perahara mateni lampah nguripi sejagad.
  3. Nuli panembahan Maqdum beber ilmu : tegese saliro iku sejatine Allah amurbo wesiso agung luhur purbo awak diri.
  4. Nuli pangeran Fulimbang beber ilmu : jenenge kanugerahan iku ening iku Allah.
  5. Nuli (su) suhunan Kalijogo beber ilmu : sejatine saliro iku tunggal ; sukmo diri kang murbo wesiso awak diri langgeng ing urip sejati.
  6. Nuli seih Siti Jenar beber ilmu sejati : sembayang iku Allah : semabah sinembah puji pinuji dawak. Sujud ruku’ iku Allah (114).
  7. Nuli (kan)jeng sinuhun Prabu Sat Netro beber ilmu malih : kang dihin ; Allah kang purbo angeweruhi. Kapindo ; Nabiyullah. Kaping telu ; Rasulullah. Kaping pat ; dzat-sifat.
  8. Nuli angendiko sekehe poro wali : Eh Siti Jenar Kadariyah ujub rilah (riko?). Nuli sinuhun Prabu Sat Netro angendiko : Eh Siti Adoha Allah parek Allah ; lamun parek aweh pakeniro, lamun adoho meneng pekeniro. Supoyo yen bener : Eh Siti Jenar siro iku jism alus. Nuli Siti Jenar angendiko : jiwo rogo den wicoro, pahesan sun tilar. Nuli poro wali angendiko : Eh ! salah (115) temen Siti Jenar.

Pekenira kafir ingda nas (inda nas) Islam ingda (inda) Allah. Siti Jenar angendika : temen mengko ingsun sukmo langgeng ing urip sejati. Apan wus janji rumihin podo ambeber ilmu roso sami podo miyak aling-aling wong semono podo mawi tetimbang ajo ono salah cipto.

Nuli (kan)jeng sinuhun Prabu Sat Netro angendiko : Eh Siti Jenar siro iku kamanungsan. Tan perbedo marang sanak pekeniro (116) Eh Siti Jenar ! siro iku kebeneran nora nganggo tetimbang oro nganggo aling-aling menawi akeh-akeh kalugurungan. Ora biso koyo Siti Jenar ; akeh-akeh wong anggegampang, akeh-akeh salah cipto, salah tompo ; dadi akeh-akeh kang wong nora arep ameguru ilmu syareat limang waktu ; dadi oro becik. Lamun bisoho koyo Siti Jenar (iku) luwih utomo ; lamun ora biso dadi kalugurungan. Nuli seih Maulana sami perapto pinarek masjid ageng ; ingkang kari, wali pepitu sami ambener sasatyo : Datan perbedo lawan kang rumihin ; sedoyo sami cunduk. Sami angendiko aji maulana : Eh Siti Jenar jeneng tuang Siti Jenar (117) ngaku Allah.

Angendiko Siti Jenar : ora ono Allah amung Siti Jenar ingkang ono. Sirno Siti Jenar ono Allah. Nuli Maulana Maghrib angendiko. Eh kafir adi Siti Jenar. Kafir ingda nas Islam ingda Allah.

Nuli matur Seih Maulana Maghrib marang sinuhun Prabu Sat Netra : Eh kanjeng sinuhun sampun : sampun kebeletat. Katah-katah kang winecoro. Temahan masjid dalem suwung. Wonten sholat, wonten boten sholat. Katah-katah kang wong gegampang toto syareat tur dereng kantenan wuniko sejatining ilmu rahsa. Syukur ugo lamun lereso, lah dawek kanjeng (118) sinihun salah leres Siti Jenar penejahan.

Nuli Siti Jenar angendiko : lah dawek sampun kelayatan lawang suwargo sampun mengo. Sigera Siti Jenar cinandak qohum papat. Sigera rinompo lajeng jongko kapinasan ; sahabate ingkang kari sami panejahan. Sami nyebut ngaku Allah.

Nuli ono rarine Siti Jenar angon wedus wus angrungu Siti Jenar wus ngemasi kasuwur yen ngaku Allah. Sigera-sigera marek ing ajengan, sarto sumbar-sumbar iki ono Allah kari siji katungkul angon wedus.

Nuli sinuhun Prabu Sat Netro angendiko : rari iku kudu melu (119) Siti Jenar ojo suwe sandingono Siti Jenar. Nuli ono suworo kersaning sukmo ngendikane seih Siti Jenar : Eh rerijil angon wedus angucap : Lah kabetah tumuteno perloyo. Wus mengo lawang suwargo. Nuli penedang rari angon wedus tutas jongko kapisanan. Rari angon wedus nuli mengsem. Wus antoro telung dino, gelang-gelangan jisime Siti Jenar (wutuh).

Nuli angendiko (kan)jeng sinuhun Prabu Satmoto : Siti Jenar badane misih wutuh, mongko ingulukan salam maring sinuhun Prabu Satmoto. Nuli sirno badane Siti Jenar. Wus mulih asal kamulyane ruh ; dadi badan alus Siti Jenar. Sinangkalan sedane Siti Jenar kelawan rare angon wedus.

Berikut ini alih tulisan dalam kalimat-kalimat yang terdapat diatas tersebut : (111) fasal ini membahas tentang “sejarah ketika melaksanakan sarasehan (dialog) ilmu roso. Mereka terdiri dari para wali sembilan yang berkumpul di masjid Giri Kedaton ; pengikutnya terdiri para ratu dan para wali lainnya. Diantara yang bicara adalah kanjeng sinuhun Prabu Sat Netra (Sunan Giri), Sunan Bonang Tinari, Sunan Kalijogo, Sunan Ngampel, Sunan Qudus, Seih Siti Jenar, Seih Benung, Pangeran Palembang dan Panembahan Ma’dum.

Pertama Prabu Sat Netra berkata : saya muji syukur karena sanak saudara telah datang semua dalam rangka sarasehan ilmu rasa. Sekarang kita telah mempunyai kehendak yang sama. Jangan ada yang repot, menyimpan rahasia, banyak pertimbangan. Percaya saja pada kehendak i’tikat kita bersama. (Selanjutnya pelaksanaan diskusi itu sebagai berikut).

  1. Sunan Bonang berbicara ilmu rasa : “anda itu yang sejati dalam dzat, sifat dan af’al. af’al (Allah) masuk dalam roh anda ; yang kenyataannya ada pada hati anda. Maksudnya dzat Allah yang maha kuasa berada pada diri anda.

Kemudian susuhunan Ngadiluwih menjelaskan ilmu : “maksudnya, anda itu hanyalah namaKu. Pada masa dahulu, ruh Allah menyebut Nama (Allah) maka timbul kehidupan alam semesta.

2. kemudian kanjeng sinuhun Prabu Sat Netra menjelaskan ilmu rasa, “anda itu dapat beriman merasa bersatu dengan Tuhan karena diberi anugerah pengetahuan kehidupan tentang ruh Tuhan”.

3. Kemudian susuhunan Qudus menjelaskan : Ruh wajib iman tentang cahaya yang memancar seperti matahari yang mengeluarkan cahaya. Cahaya itu melalui udara menggerakkan alam seperti membunuh atau menghidupkan alam kehidupan sejagat.

  1. Kemudian panembahan Maqdum menjelaskan : “maksudnya, anda adalah hakekat Allah yang Qadim, kuasa, agung dan luhur. Diri hamba itu Qadim”.

5. Kemudian pangeran Palembang menjelaskan : yang dimaksud dengan mendapat anugerah adalah melihat jelas kepada Allah.

  1. Kemudian susuhunan Kalijaga menjelaskan : sesungguhnya anda itu tunggal. Ruh Allah yang maha kuasa beserta dengan ruh hamba sehingga hamba mengalami kekekalan dalam kehidupan yang sejati.

7. Kemudian Syech Siti Jenar menjelaskan ilmu sejati : “sembayang pada Allah pada hakekatnya adalah menyembah dan memuji dirinya sendiri, sebagaimana arti (makna) dari sujud dan ruku’ pada Allah”.

8. (114) Kemudian kanjeng sinuhun menjelaskan ilmu lagi : “pertama, bahwa Allah itu maha mengetahui ; kedua Nabiyullah ; ketiga, Rasulullah, keempat dzat sifat.

  1. Kemudian para wali berkata : He Siti Jenar, anda adalah penganut Kadiriah (Qodiriyah?) dilihat dari perkataan anda.

Kemudian Prabu Sat Netra berkata : “He Siti Jenar ! Allah itu jauh dan juga dekat pada hamba. Jika dekat maka Allah itu memberi sesuatu pada hamba. Jika Allah jauh dari hamba maka hamba itu hanya diam, tak dapat bergerak (mati?). singkat kata yang benar bahwa : “Siti Jenar itu hanyalah jisin halus”.

Kemudian Siti Jenar berkata : “jiwa ragaku dibicarakan (tanpa aling-aling). Kemudian para wali berkata : “He ! salah (115) amat Siti Jenar. Diri anda telah kafir menurut pandangan manusia (inda nas), tetapi Islam menurut Allah (inda Allah)”.

Siti Jenar berkata : “Allah telah memberi ridlo, terserah anda semua mencelaku”. Lantas para wali berkata : “He Siti Jenar ! diri anda mengaku Allah berarti jisin Siti Jenar itu kekal di dunia”. Siti Jenar berkata : “nanti rohku akan kekal di alam kehidupan sejati. Hal ini saya ungkapkan sesuai dengan perjanjian terdahulu bahwa kita akan menjelaskan ilmu rasa tanpa aling-aling, tanpa pertimbangan-pertimbangan tekhnis. Semuanya para yang hadir ini jangan salah paham.

Kemudian kanjeng sinuhun Prabu Sat Netra berkata : “He Siti Jenar ! anda telah menjadi manusia yang tidak berbeda dengan sanak saudaramu. (116) He Siti Jenar ! anda itu sesungguhnya tiada menggunakan pertimbangan, tiada aling-aling jika mengeluarkan isi hati. Tidak semua orang seperti Siti Jenar, karena orang awam akan meremehkan agama karena salah paham dan tidak mengerti. Akibatnya tidak baik karena orang awam tidak bersedia belajar ilmu syari’at seperti shalat lima waktu. Namun jika seseorang dapat melakukan agama seperti Siti Jenar itu lebih utama, namun jika tidak bisa seperti Siti Jenar maka banyak orang yang merugi.

Kemudian Syech Maulana Maghrib mengambil tempat di dekat masjid, selainnya yaitu tujuh orang wali sedang membahas ilmu suci dengan para wali sepaham yang berbeda dengan Siti Jenar. Kemudian Aji Maulana berkata : “He Siti Jenar ! nama mu tuan Siti Jenar (117) mengaku Allah.

Siti Jenar berkata : “Allah tidak ada, yang “ada hanyalah” Siti Jenar. Jika Siti Jenar tiada, maka yang “ada hanyalah” Allah. He ! anda kafir. Anda telah melampaui batas hai Siti Jenar ! kafir menurut manusia tapi Islam menurut Allah”.

Kemudian Syech Maulana Maghrib berkata kepada sinuhun Prabu Satmoto : “He kanjeng sinuhun ! sekarang sudah jelas ! sudah banyak yang dibicarakan yang mengakibatkan masjid ini menjadi kosong karena sebagian orang melaksanakan shalat tapi lainnya tidak shalat, banyak orang yang meremehkan aturan syari’at, dan belum tentu bahwa ilmu rasa darinya (Siti Jenar) itu benar. Syukur jika ilmu rasa itu benar. Nah dengan sendirinya sepantasnya kanjeng (118) sinuhun memutuskan, baik benar atau salah, Siti Jenar itu supaya di hukum bunuh”.

Kemudian Siti Jenar berkata : “nah sekarang saya telah disini, pintu surga telah terbuka”. Dengan gerak cepat, kaum (santri) empat memegangi dan mengapit Siti Jenar, lantas Siti Jenar di pedang. Badan Siti Jenar putus dengan sekali pukulan pedang. Sahabat Siti Jenar juga di bunuh karena mengaku Allah, adiknya Siti Jenar yang pekerjaannya sebagai penggembala kambing sudah tahu bahwa Siti Jenar mengaku Allah, adik Siti Jenar itu segera maju ke depan, serta dengan suara lantang dia mengatakan, ini ada Allah tinggal satu yang pekerjaannya sebagai penggembala kambing.

Kemudian sinuhun Prabu Satmoto berkata : “adiknya (Siti Jenar) harus ikut (119) harus mengikuti Syech Siti Jenar. Cepat dekati Syech Siti Jenar”.

Kemudian ada suara tanpa rupa dari ruh Siti Jenar yang katanya : “He! anak muda tukang gembala kambing ! jangan jauh-jauh dariku. Anak penggembala kambing itu berkata : “nah ! ikutlah mati ! pintu surga telah terbuka : kemudian anak penggembala kambing itu dipedang dengan sekali pukulan langsung putus badannya. Anak penggembala kambing itu kemudian tersenyum. Setelah tiga hari, badan Siti Jenar utuh kembali.

Kemudian kanjeng sinuhun Prabu Satmoto berkata : “badan Siti Jenar masih utuh”, kemudian badan itu memberi salam kepada Prabu Satmoto, dan langsung hilang badannya. Dia telah kembali ke asal kemuliaan ruh menjadi badan halus[25].

Suatu kerajaan yang dinamis, itulah yang terjadi selama pemerintahan yang berganti-ganti yang sampai memasuki dan mengalami zaman ke-emasan. Sebuah pemerintah kerajaan (imperium) yang disegani kerajaan-kerajaan lain di nusantara.

B. Kebijakan-Kebijakan Giri Kedaton terhadap :

1. Peradaban Keagamaan.

Sentuhan da’wah penyiaran, penyebaran hingga perkembangan dan kemajuan Peradaban Islam yang diterapkan oleh Sunan Giri (Prabu Satmoto) dalam memperjuangkan peradaban Islam dengan cara-cara humanis dan akomodatif tanpa rasa egois yang di sesuaikan dalam syariat.

Cara-cara tersebut digunakan oleh Sunan Prapen dalam membangun cungkup untuk pemakaman Sunan Giri. Cungkup tersebut, bila di tinjau dari bahan dan wujud bangunannya, cungkup makam Sunan Giri secara keseluruhan mulai dari atap sirap sampai gebyoknya terbuat dari bahan kayu. Cungkup makam yang sampai saat ini merupakan hasil pemugaran pada tahun 1602 masehi, tepatnya pada masa pemerintahan Sunan Prapen. Kayu sebagai bahan utama dari bangunan cungkup Sunan Giri, nampaknya memiliki makna simbolik. Peninggalan tersebut masih ada kesinambungannya dengan zaman peradaban nusantara kuno, dimana unsur ragam hias kayu itu digambarkan sebagai pohon hayat (pohon kehidupan), kalpa druma (lambang pengharapan), kalpa wreksa (lambang keselamatan). Seperti dengan cungkup-cungkup para wali yang lainnya, cungkup Sunan Giri juga terdiri dari dua ruang, yaitu ruang dalam (makam), dan ruang kedua yang disebut dengan ruang langkan. Masing-masing ruang itu dibatasi oleh dinding kayu (gebyok). Ruang dalam terdapat makam Sunan Giri dan istrinya yang kedua (Siti Wardah), sedangkan ruang langkan berfungsi sebagai tempat berdo’a, berdzikir, mengaji dan tahlil yang dilakukan oleh para peziarah. Keberadaan ruang langkan ini hampir sama dengan lorong langkan pada wujud bangunan candi yang berfungsi sebagai tempat upacara pemujaaan (pradaksina), dan upacara kematian (praswaya). Pada dasarnya terdapat persamaan makna yang tersirat antara candi dengan makam pada masa Islam. Pada zaman pra Islam bangunan makam disebut candi, yang berasal dari kata candika, yang berarti dewi kematian.[26]

Menurut keterangan juru kunci makam Sunan Giri : bahwa pemindahan masjid jami’ Ainul Yakin kecil dari kebunan ke Giri Gajah (kalau sekarang komplek makam Sunan Giri), itu dilakukan pada masa pemerintahan Giri Kedaton di bawah kepemimpinan Sunan Prapen.[27] Dan menurut keterangan tertulis di babad Gresik yang sudah di terjemahkan oleh Soekarman B.Sc. “Kanjeng Sunan Prapen menginginkan memindah masjid desa Kabun Sidayu didirikan di gunung Giri Gajah pada tahun 1590 masehi”.[28]

Islam memang telah mencapai mayoritas bagi total penduduk negeri ini. Perjuangan memang sebuah kata hidup tanpa ada akhir, sehingga cita-cita Sunan Giri diteruskan oleh keturunannya hingga mencapai titik harga mati bagi perjuangan perkembangan peradaban Islam.

2. Peradaban Politik.

Giri Kedaton pada zaman ke-emasannya penuh dengan dinamika kebijakan-kebijakan yang punya pengaruh luas hingga punya implikasi kepada kerajaan-kerajaan lain, di Pulau Jawa.

Ketika terjadi konflik di kerajaan Islam Demak. Para elit-elit penguasa pada waktu itu masih melirik kepada Giri Kedaton yang berada di Gresik. Para elit tersebut mengadukan konflik internal yang terjadi di Demak kepada Sunan Prapen yang berkedudukan di Giri Kedaton.

Dalam buku babad tanah Jawa di tulis sebagai berikut : “Kocap kacarita Sultan Adiwijaya (Jaka Tingkir) ing Pajang. Negarane saya sentosa, jajahane saya amba, panguripane para kawula padha kepenak kabeh.

Nuju sawijine dina sultan nedya sowan Sunan Giri. Ki ageng Pamanahan di timbali, perlu didawuhi nderek

Anggone budhal Sultan kairing dening wadya bala pepak. Sultan nitih gajah, para bupati nitih jaran. Ing sadalan-dalan gumrubyug swarane. Yen panase sumelet, sultan nitih tandhu, dipikul prajurit wolu.

Satekane ing Giri, pranyata para bupati saka Brang Wetan (Jawa Timur) uga padha marak seba, yaiku para bupati Japanan, Wirasaba, Kedhiri, Surabaya, Madura, Sedayu, Lasem lan Tuban.

Sunan Giri nuli miyosing pendhapa. Dhasare sing miyos pandhita linuwih, mula swasane paseban tumuli sidhem premanem. Sang pandhita mbageg-ake rawuhe para priyagung, dene para priyagung genti-genten padha ngaturake kasugengan.

Sunan Giri paring wejangan : “ putra-putra ningsun kabeh, padha ngaturana suka sukur marang Gusti Allah. Dene kang tinitah dadi gedhe lan kang tinitah dadi cilik iku wis pesthine dhewe-dhewe. Dak suwun marang Pangeran, muga-muga putra-putraku kabeh padha nemu basuki.

Dumadak’an Sunan Giri mandeng Ki Ageng Pamanahan, kang lungguhe saburine Sultan Adiwijaya, Ki Ageng Pamanahan tumungkul, ora wani ndengangak.

Sunan Giri ndangu Sultan Adiwijaya : “ putraku sultan abdimu sing lungguh ing mburimu iku sapa ? “ lantas di jawab : “ punika petinggi ing Matawis, “ ature sultan. “ naminipun Ki Pamanahan. “

Sunan Giri nuliparing dhawuh marang para priyagung kabeh : “ putra-putraku para adipati kabeh, wruhanamu, turune Ki pamanahan iki mbesuk uga bakal ngidep marang Mentawis. “

Ki pamanahan bareng krungu pangandikane Sunan Giri mau, banjur sujud ; dene para adipati kabeh padha kaget, samono uga sultan Adiwijaya.

Sunan Giri banjur ngacarani para priyagung dhahar bebarengan ing pendhapa.”[29]

Berikut ini alih tulisan dalam kalimat-kalimat yang terdapat diatas tersebut : “Menurut cerita Sultan Adiwijaya (Jaka Tingkir) di Pajang. Negara saya sentosa (makmur), wilayah kekuasaannya luas, kehidupan rakyatnya semua sama-sama enak.

Pada suatu hari Sultan ingin silaturrahmi ke Sunan Giri. Ki Ageng Pamanahan di panggil, perlu diberitahu untuk ikut.

Pada waktu berangkat Sultan disertai dengan se-kumpulan prajurit. Sultan naik Gajah, para Bupati naik kuda. Dalam perjalanan berkelompok ramai-ramai. Disertai panas yang menyengat, Sultan naik tandu diangkat delapan prajurit.

Setibanya di Giri, ternyata para Bupati dari Jawa Timur sudah ada dengan posisi duduk bersila, yaitu : para Bupati, Japanan, Wirasaba, Kediri, Surabaya, Madura, Lasem, dan Tuban.

Kemudian Sunan Giri memasuki pendapa (ruang tamu). Memang yang datang Sunan Giri (sang pandhita) punya “kelebihan”, lantas suasananya menjadi diam, hening penuh dengan wibawa kesejukan. Sunan Giri memberitahukan kedatangan orang-orang besar (penguasa), dan para pembesar pun saling bergantian untuk memberitahukan atas kedatangannya masing-masing.

Sunan Giri memberi nasehat : “putra-putra saya semua, supaya semuanya suka merasa bersyukur kepada Allah SWT. Bila berkehendak jadi besar serta berkehendak jadi kecil itu sudah menjadi jalannya sendiri-sendiri. Dengan berterima kasih kepada Tuhan, semoga semua putra-putra saya bertemu dengan kebahagiaan”.

Secara tiba-tiba Sunan Giri memandang Ki Ageng Pamanahan, yang duduknya di belakang Sultan Adiwijaya, Ki Ageng Pamanahan menunduk, tidak berani menegakkan kepalanya.

Sunan Giri bertanya ke Sultan Adiwijaya : “putraku Sultan yang duduk dibelakang kamu itu siapa? “lantas di jawab : “dia itu penguasa di Mataram, “selanjutnya Sultan” namanya Ki Ageng Pamanahan.

Sunan Giri kemudian memberikan nasehat kepada para pembesar semua : “putra-putra saya para Adipati semua, ketahuilah bahwa keturunan Ki Pamanahan besok, semua akan tunduk menghadap kepada Mataram”.

Ketika Ki Pamanahan mendengar nasehat Sunan Giri tadi, ingin sujud; lantas semua Adipati jadi terkejut, begitulah semua Sultan Adiwijaya.

Sunan Giri ingin menemani para pembesar untuk bersama-sama makan di pendapa (ruang tamu).

Di sisi lain setelah masing-masing elite penguasa Demak Bintoro mendapat rasa puas dengan di beri otonomi kekuasaan (sharing power) oleh Sunan Giri Prapen. Masing-masing penguasa saling berebut pengaruh demi memperluas dan mengembangkan daerah kekuasaannya.

Sesuatu peristiwa perang hampir terjadi setelah pasukan Mataram bergerak ke arah Brang Wetan (Jawa Timur) dengan bantuan kerajaan Pajang untuk memperluas kekuasaan.

Dan peristiwa ini tertulis dalam babad tanah jawa pesisiran. Berikut ini tulisan dalam bahasa Jawa pesisiran : “Duging kuna rama ngiring Sultan Pajang Duk sumuyuting Giri. Ing Sasi Muharram lamun arsah lumampah ing negeri Brang Wetan binjing. Sasi Muharram. Duk atut margi rumihin.

Riseksana semana Ki Senapateya Anulya putusan agelis ing Demak Negara kelawan ing Kalinyamat sak peraptanira cecawis tur mulya mangkat dateng negari Mentawis.

Tiyang Jagaraga perasameyo siyaga lawan wong Pajang negari perasamiya siyaga sak kepraboting yuda semana sampun arakit sakehe bala anulya budal sami.

Sampun dugi semana bulan Muharram kocapa Ki Senapati sak bala wus mangkat angeluruk ing Brang Wetan kuneng lampahira nanggih ingkang kocapa Negara ing Surawesti.

Tur uninga pengalasan suraperingga kelawan wong Mentawis mangke sampun mangkat angaluruga ing Brang Wetan Bupati Surabaya gelis nulya putusan negeri Brang Wetan sami.

Negeri Tuban, Sedayu sami putusan Lamongan pan datan kari miwah ing Lumajang ing Malang lan Kertasana, Pasuruan lan Kediri ing Wirasaba, Belitar lawan ing Rawi.

Majapura lan ing Peringgabaya ika lawan Lasem sumawis ing Rembang lan Pejangkungan Medura ing utusan gegaman abang winarni ing Surabaya wus mentas tata abaris.

Sampun pepek sekehe para adipeteya kersanira anjagani. Sakehing kang bala ing lakune wong Mentaram bekta sak papaning jurit aside ametuka yudane wong ing Mentawis.

Sampun perapta wong Mentaram ngepung Japan asedaya bedah wani wadeya bala wetan merepeki ing Japan wus ayuneyunan jurit kuneng ta sira kucapa ing Sunan Giri.

Sunan Giri sampun ngaturan wuninga kelawan ing wong Mentawis perapta angepung Japan Tiyang Agung Brang Wetan asedaya tulung ajurit wewantening Japan Ayunayunan perasami.

Jeng Sunan Giri Arga aputusan duta qahum sedesi lungaha Maring Japan pan gawanen surat ing wang qahum sedasa Wotsari lampahe kebat datan kawarna ing margi.

Perapting Japan kang duta qahum sedasa anulya mundak para sami wong agung Brang Wetan nulya sameya ngaturan kalih wong-wong agung Mentawis sami ngaturan pan dene qahum ing Giri.

Sampun perapta wong agung wetan sedaya lan wong agung ing Mentawis kalih sampun perapta pan sami tata angenggah pepek kang para Bupati qahum sedaya nulya wecana manis.

Lah! Wong Agung Mentaram wong Agung Wetan Manira pan dinut iki dening jeng Sesunan kinen marang pakenira dinuta dawuh ken tulis lah pir sakena andikane ing Sang Yogi.

Den winaca penget wong agung Mentaram lan wong agung Surawesti wong agung sedaya wiyose ingkang serat kaperiye polahe niki alawan-lawanan arebut jeneng sira iki.

Balik sira lah rembuga uga dipun patuh ta sira iki perandene yen ana pamiyake ing pangeran kang agung lawan kang alit lahta sabarena pan durung mangsa ing mangke.

Pan ing mangke perintah ingsun ing sira Irengan Kelawan Isi iya pada den piliha ayyana kang suwala den renna titah Yang Widi Ungele serat sampun titi ingkang tulis”.

Berikut ini alih tulisan dalam kalimat-kalimat yang terdapat diatas tersebut : “Mulai sejak Bapak (Rama Pamanahan) mengikuti Sultan Pajang sampai pada sowan menghadap Giri. Pada bulan Muharram. Jika mau bergerak ke daerah sabrang timur bulan Muharram, mulai awal pemberangkatan di jalan.

Mengikuti kemana Ki Senapati. Dengan gerak cepat di Negara Demak dan Kalinyamat dengan persiapannya yang tersedia berangkat dengan kemulyaaan ke negeri Mataram.

Orang Jaga raga semua siap dan negeri Pajang semua siap beserta peralatan perangnya, semua telah di susun terencana semua tentara siap berangkat bersama.

Setelah masuk bulan Muharram, Senapati perintah seluruh pasukan pasti berangkat menyerbu Brang Wetan (Jawa Timur). Tiba-tiba perjalanan terhalangi, tiba-tiba negara ing Surawesti dan pangalasan Surapringga.

Juga tahu tentang gerakan orang-orang Mataram yang sudah siap meyerang Brang Wetan, bupati Surabaya bergerak cepat untuk membuat keputusan bersama negeri Brang Wetan lainnya.

Negeri Tuban, Sedayu mempunyai keputusan yang sama. Lamongan dan Lumajang tidak terlambat, Malang, Kertasana, Pasuruan, dan Kediri, berkumpul di Wirasaba. Blitar dan sekitarnya di Rawi.

Majapura dan Pringgabaya dan Lasem bersiap siaga baik Rembang dan Pajangkungan Madura hanya mengirim utusan dengan meyerahkan senjata, Abang Winarni ke Surabaya. Semua telah siap berbaris.

Sudah siap semua para Adipati dalam rangka siap berjaga-jaga semua, pasukan menghadapi pasukan Mataram, mereka membawa semua prajurit siap bertemu menghadang perang melawan orang Mataram. Orang-orang Mataram sudah siap mengepung Japan, semua siap mengalahkan. Semua tentara Brang Wetan berkumpul ing Japan pasukan telah berhadap-hadapan, tiba-tiba di istana Sunan Giri.

Sunan Giri sudah diberitahu tentang orang-orang Mataram sudah datang mengepung Japan. Pembesar Brang Wetan semua telah mengirim prajurit membantu dipihak Japan mereka telah berhadap-hadapan.

Kanjeng Sunan Giri Arga memberi keputusan dengan mengirim sepuluh qahum (santri) pergi ke Japan, dengan membawa surat. Orang sepuluh dari Wotsari berjalan cepat, tidak berhenti, berjalan terus.

Setibanya di Japan, utusan kaum sepuluh itu langsung masuk pada medan laga. Orang besar Brang Wetan, di undang datang dan juga orang Mataram di undang oleh para qahum dari Giri.

Pembesar Brang Wetan telah hadir, semua pembesar Mataram juga, demikian keduanya sudah hadir mereka semua menjaga jarak. Semua bupati telah berkumpul, semua qahum masuk dengan bicara sopan.[30]

Pada situasi tegang tersebut para qahum (santri utusan) tersebut membacakan surat dari Sunan Prapen, adapun isi surat tersebut dengan pengantar sebagai berikut :

“Wahai pembesar Mataram dan pembesar Brang Wetan marilah urusan ini di ikuti dari kanjeng Sunan masukkan dalam pikiranmu ikutilah sabda yang tertulis ini, pikirkanlah. Sabda dari sang Yogi (pandhita). Pelajarilah dengan seksama, wahai pembesar Mataram dan pembesar Surawesti, semau para pembesar (negara)“.[31] Isi surat :

“Bagaimana perbuatan ini bermusuh-musuhan, kalian semua berebut jabatan terserah kalian untuk berembuk (musyawarah) patuhilah tentang ini alangkah indahnya jika ada pemisah dari pangeran alit (manusia), bersabarlah. Belum waktunya. Nanti dulu, sehingga kedua kubu berhenti kemudian mendengar inti dari pesan (isi) surat tersebut, selanjutnya perintahku (Sunan Giri Prapen), padamu :

“Kehitaman (irengan) lawan isi, pilihlah diantara keduanya, tinggalkan yang tidak tepat bahaslah kehendak Allah SWT (Tuhan) yang maha benar. Bunyi surat sudah selesai yang tertulis.”

Selanjutnya Adipati Surabaya memilih “isi“, sedangkan panembahan senapati memilih irengan. Dengan berdiplomasi kedua belah pihak, sebagai berikut :

“Adipati Surabaya berucap : jika demikian kakak Senapati : Aku memilih isi, kakak paduka dapat kehitamannya, Senapati menjawab : adik, sekehendak pilihanmu. Nanti kakak ambil sisanya”.[32]

Adapun yang tersirat dari peristiwa sejarah tersebut adalah perkembangan peradaban Islam tentang nilai-nilai akhlaq manusia (pemimpin) dalam mencairkan konflik politik dengan cara-cara yang luhur penuh kesabaran, disertai sikap kejujuran, keadilan, dan manajemen kebersamaan (ukhuwah) tanpa adanya rasa saling curiga yang didasari akan cinta damai.

3. Peradaban Rancangan Tata Ruang Wilayah.

Di dalam wilayah suatu kerajaan dapat dijumpai pasar, tempatnya interaksi para penjual dan pembeli. Perkembangan pusat perekonomian di Giri Kedaton pada masa pemerintahan Sunan Prapen. Juga disertai dengan pembangunan tata ruang dan tata wilayah kota Giri Kedaton.

Dikenal zaman ke-emasan, pada waktu pemerintahan Sunan Prapen.Kota sedang diperluas. Dengan dibangunnya kawasan-kawasan ekonomi kerakyatan dan industri. Di antaranya adalah kawasan industri logam dan senjata di Kepandean dan cumpleng, fungsi cumpleng sebagai tempat mengasah senjata-senjata. Sedangkan untuk aktivitas ekonomi kerakyatan dikembangkan dengan munculnya pasar gede. Hubungan perdagangan dengan dunia luar ditingkatkan dengan adanya sumur jogo tamu atau tempat istirahat para tamu, dan ruang makan para tamu juga di tempatkan pada posisinya yang tepat, diberi nama, telaga dahar. Tempat untuk para pengemudi kapal dagang (nakhoda), diberi tempat tempat dengan nama kemudinan, yang berasal dari kata kemudi. Puhawang adalah para juru mudi kapal (navigator). Nama Puhawang ini adalah tempat dan ruang untuk bertempat tinggal. Wilayah Kemudinan dan Puhawang dilengkapi dengan dua buah sumur.[33]

Menurut pengamatan penulis di lapangan bahwa toponim rancangan tata ruang wilayah yang di buat pada masa pemerintahan Giri Kedaton Sunan Prapen adalah membangunan serta memperluas infrastruktur yang strategis, maka tata letak wilayah dan bangunannya sebagai berikut : Istana Sunan Prapen berada di selatan menghadap alon-alon dengan struktur bangunan agak sedikit serong artinya Istana Tambak boyo tepat berdiri pada arah mata angin tenggara dengan pintu Istana menghadap ke Istana Giri Kedaton (Prabu Satmoto) dengan arah mata angin barat laut, dan Istana Tambakboyo tersebut bertetangga dengan Dalem Wetan.

Manfaat zaman ke-emasan masa pemerintahan Sunan Prapen adalah melakukan kebijakan pembangunan infrastruktur tata ruang dan tata wilayah melalui perannya dalam perkembangan peradaban Islam.

Sehingga para penduduk sekitar dan masyarakat merasa puas dengan keputusan-keputusan bijak pemerintahan Giri Kedaton. Pemberian fasilitas-fasilitas umum kepada para pedagang luar sebagai tanggung jawab pemerintah.

4. Peradaban Seni.

Ketika kita mendatangi dan berziarah ke makam Sunan Giri. Maka kita akan melihat menyaksikan maha karya seni ukir yang terdapat pada cungkup makam Sunan Giri. Model dan wujud bangunan cungkup pernah mengalami pemugaran, pemugaran tersebut dilakukan pada tahun 1602 masehi.[34]

Di tempat tersebut dapat kita jumpai simbol-simbol pada ukiran di cungkup makam, berikut sedikit catatan dari penulis. Cungkup makam Sunan Giri (Raden Paku) terdapat berbagai macam ragam hias di antaranya, motif ukiran kaligrafi, bunga, pohon, tumbuhan, binatang.

Menurut cerita lisan yang berkembang di masyarakat bahwa cungkup yang sekarang berada di makam Sunan Giri (Prabu Satmata) merupakan cungkup yang telah di ganti pada masa pemerintahan Sunan Prapen dan cungkup yang berada di makam Sunan Prapen sekarang itu merupakan cungkup Sunan Giri sebelumnya.

Jika diamati dengan cermat dan teliti dari simbol-simbol ukiran yang terdapat di cungkup, sedikit ada kejanggalan, apabila memang simbol-simbol di ukiran tersebut punya makna, misalnya simbol ukiran ular naga dengan mahkota (pengantin pria adat jawa). Menurut penulis bahwa simbol ular naga bermahkota itu merupakan sebuah tanda bahwa itu merupakan makamnya seorang penguasa (raja ulama’) pertama di Istana Giri Kedaton dan simbol ular naga bermahkota tersebut juga terdapat pada pintu gerbang berupa candi bentar apabila kita akan memasuki komplek makam Sunan Giri. Perbedaan tersebut akan kita temukan, ketika memasuki komplek makam Sunan Prapen. Karena di sekitar makam Sunan Prapen kita tidak akan menemukan pintu gerbang bersimbol ular naga seperti di komplek makam Sunan Giri (Prabu Satmoto).

Giri Kedaton pada masa pemerintahan Sunan Prapen juga mendapat sentuhan seni arsitektur penataan pembangunan infrastruktur pada wilayah di Giri Kedaton, dengan keterangan di atas.

Karya seni dengan motif lain yaitu : seni lukis damar kurung dan sampai sekarang masih dapat kita jumpai. Dalam lukisan damar kurung, menggambarkan sebuah setting cerita kehidupan sehari-hari, karena bernama damar (lampu) kurung, karya seni ini juga bisa dibuat sebagai alat penerangan karena memang pada zaman Sunan Prapen belum ada PLN.[35]

Lukisan damar kurung dengan sangat mudah kita jumpai ketika akan memasuki bulan ramadhan, karena ada tradisi padusan (ziarah kubur) di pemakaman Islam kelurahan Tlogo pojok. Untuk meyambut datangnya bulan suci ramadhan.

C. Nilai dan Wujud Peradaban Islam Giri Kedaton.

Fungsi manusia. Sebagai makhluk bumi ciptaan Allah SWT (Tuhan). Maka manusia diberi otonomi akal dan hati nurani sehingga muncul kesan maupun pesan. Manusia merupakan makhluk yang sempurna dibandingkan makhluk-makhluk Allah yang lain.

Manusia sebagai khalifah (pemimpin) dengan fungsi yang dinamis, merupakan produk dari suatu proses sejarah. Awal dari pola pikir kreatif, tanpa harus meninggalkan nilai-nilai prinsip kehambaan manusia kepada Sang Maha Pencipta.

Otonomi akal, pola pikir, dan olah nalar itulah berbagai macam nilai hingga berwujud nyata. Itulah kehidupan hamba Allah yang bernama Sunan Prapen, beliau merupakan sosok manusia multi dimensi yang menembus batas dan sekat-sekat dalam kehidupan masyarakat.

Sunan Prapen banyak menghasilkan peradaban-peradaban yang punya nilai mulia (positif). Di dalam bidang keagamaan, Sunan Prapen berhasil mengawal peradaban saling menghargai terhadap peradaban lama tanpa merusak apalagi sampai menghancurkan peradaban-peradaban lama yang lebih dulu ada dan eksis.

Ketika masuk dimensi kubangan peradaban politik, Sunan Prapen dapat melewati hambatan dan tantangan dengan bermain cantik. Tanpa mengecewakan apalagi sampai menyakiti pihak-pihak yang telah kena konflik, demi berebut kekuasaan. Dalam bidang politik Sunan Prapen berperan sebagai seorang pendamai serta fasilitator penting tanpa membawa hasrat politik kepentingan abadi. Justru yang terjadi, Sunan Prapen memfungsikan dirinya sebagai orang netral yang punya sikap jujur dan adil di dalam manajemen konflik pertikaian antara kubu-kubu penguasa.

Begitu juga dalam peradaban rancangan tata ruang wilayah, Sunan Prapen mewujudkannya melalui kebijakan-kebijakannya sebagai raja. Memperluas tata ruang kota dan wilayah, munculnya fasilitas umum berupa pasar, tempat penginapan (hotel). Semata-mata untuk menyambut dan memanjakan para pedagang-pedagang dari luar negeri. Dengan begitu kebijakan-kebijakan Sunan Prapen ketika jadi raja selalu populer, meskipun zaman, ruang, dan waktunya berbeda.

Sebagai manusia punya cita rasa tinggi akan seni. Sunan Prapen mendalami dan mewujudkan seni ukir cungkup maupun seni lukis damar kurung dan juga seorang ahli seni arsitektur kota.

D. Runtuhnya Pengaruh Giri Kedaton.

Berawal dari hasil analisa politik yang tajam oleh Sunan Prapen tentang kejayaan kerajaan Mataram. “besok negara Mataram menjadi maharaja, seluruh Jawa akan tunduk setia“.[36] Rasional, hasil akal jernih pengamatan atau ramalan yang di ucapkan Sunan Prapen. Punya dampak politis yang sangat kuat.

Deklarasi kerajaan Mataram (1575-1601) oleh Sutowijoyo dengan gelar “panembahan senapati ing nglaga sayidin panatagama kalipatullah ing tanah Jawi“ dan sekaligus menandai berdirinya dinasti Keraton Mataram.[37]

Giri Kedaton di bawah bayang-bayang Keraton Mataram. Waktu pemerintahan Giri Kedaton di pimpin Panembahan Agung, Giri Kedaton mengalami masa uji coba penaklukan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo (Raden Rangsang) dari Mataram.ketika Giri akan bangkit kembali di bawah pimpinan Pangeran Puspohita (1660-1680 Masehi), Mataram bekerjasama dengan Belanda dan dinasti Husein dari Terung bekerja keras dan berhasil menaklukkan Giri. Selanjutnya pusat pemerintahan berpindah ke Grissee (Gresik). Pada saat itu, Grissee tempatnya berada di timur istana Giri Kedaton, maka nama istana berubah menjadi dalem wetan. Dalam bahasa Indonesia, wetan berarti timur, sedang dalem berarti istana atau rumah.[38]

Peristiwa tentang penaklukan Giri Kedaton. Pada awal permulaan abad ke 17, di Jawa Tengah muncullah Kerajaan Mataram. Kerajaan ini pada mulanya hanyalah sebuah kerajaan kecil dan berpusat di kota Gede dekat Jogyakarta. Semula oleh Adiwijaya Raja Pajang, wilayah Mataram ini di berikan pada Ki Gede Pamanahan. Ternyata kemudian Mataram bisa berkembang se-demikian pesatnya.

Panembahan Senapati Sutowijoyo (1575-1601 Masehi), adalah Raja Mataram yang turut membesarkan kerajaan itu. Sejak semula ia telah melihat bahwa kerajaan Soerabaia memiliki potensi sebagai saingan.

Karena itu Ia pun merencanakan bahwa suatu ketika Mataram harus bisa mengalahkan dan menguasai Soerabaia. Hal ini dilaksanakannya menjelang akhir kekuasaannya tetapi gagal, penggantinya Panembahan Krapyak juga bercita-cita sama tetapi juga tidak menunjukkan hasil.

Namun terhadap negeri Grissee yang kala itu di bawah kekuasaan Giri Kedaton lain lagi. Grissee harus dirangkul, bukannya di taklukkan. Sebab apapun juga nama Sunan Giri cukup membuat penguasa Mataram segan untuk berbuat macam-macam.

Lalu muncullah seorang pemuda. Nama aslinya Mas Rangsang. Ketika dinobatkan sebagai raja Mataram pada tahun 1613 Masehi, usianya baru 22 tahun, dan bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo. Sementara itu di negeri Grissee dibawah kekuasaan Giri, yakni Panembahan Kawis Guwo.

Begitu diangkat sebagai Raja Mataram menggantikan Sultan Hanyokrowati atau Panembahan Seda Krapyak, maka langkah pertama yang ia lakukan adalah membenahi manajemen kerajaan, diantaranya adalah dengan memperkuat bala tentaranya.

Waktulah yang kemudian membuktikan bahwa Sultan Agung adalah Raja Mataram terbesar. namanya sering di puji-puji baik oleh kawan maupun lawannya. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Mataram menjadi kerajaan yang terhormat dan disegani di seluruh pulau Jawa dan kerajaan-kerajaan pulau-pulau lain di Nusantara. Itu semua lantaran Sultan Agung melakukan ekspansi, perluasan wilayah kekuasaannya.

Sebagai pengikut dan pemeluk Agama Islam yang saleh, tentu saja Sultan Agung tidak ingin dikatakan oleh rakyatnya “memerangi“ sesama muslim. Ia tidak berani terang-terangan menyerang Giri karena mempelajari “Jas merah“.

Oleh karena itulah ia menggunakan pengaruh Pangeran Pekik, penguasa Soerabaia yang masih adik iparnya untuk menaklukkan Giri secara politis. Setelah Giri sebagai penguasa Grissee mau tunduk dan patuh pada Mataram, maka Sultan Agung pun mempunyai kewajiban moral untuk membina hubungan sebaik-baiknya dengan Giri Kedaton.

Tentang penaklukan Giri. Ada sedikit catatan yang menarik dan sangat kontradiktif dibandingkan dengan sumber-sumber dan laporan-laporan sejarah yang ada selama ini, seperti yang di laporkan oleh seorang opperkooplieden (pedagang kepala) di Grissee tanggal 27 Oktober 1625 Masehi berikut ini :

“Ulama’ tertinggi dari Giri yang mempunyai rakyat sama besarnya dengan Soerabaia, juga mengalami bahaya kelaparan yang cukup mengkhawatirkan. Hasil pertanian telah berkurang besar akibat perang. Sedangkan masuknya bahan makanan dengan perahu-perahu melalui laut dan sungai telah di hambat oleh prajurit Mataram. Akibatnya ribuan rakyat meninggalkan Giri. Akhirnya Raja Ulama’ itu di tinggalkan rakyatnya. Hal semacam itulah yang di inginkan Mataram“.[39]

Tidak cukup dan berhenti begitu saja, untuk mengikis sedikit demi sedikit serta pelan-pelan pengaruh Giri Kedaton di nusantara. Sedangkan wilayah kekuasaan Mataram bertambah luas serta pengaruhnya, kala itu tahun 1646 Masehi Raja Mataram yang masyhur, Sultan Agung Hanyokrokusumo (Raden Rangsang) wafat. Dan digantikan oleh Sunan Amangkurat I.

Berikut ini catatan yang ditulis oleh J.A.B. Wiselius dalam Historrich Onderzoek Naar Geestelijke Suprematie Van Grissee Opmiddenen Oost Java :

Sunan Amangkurat I yang menggantikan Sultan Agung (Raden Rangsang) benar-benar seorang raja yang lalim, hidupnya juga penuh dengan intrik, gaya hidup berlebih-lebihan. Pada tahun 1660 Masehi dengan sengaja ia telah mengganti gelar penguasa Giri kedaton dari panembahan menjadi pangeran. Sebagai penguasa di Giri kedaton diangkatlah pangeran Puspahita (1660-1680 Masehi). Sementara di Grissee sendiri diangkatlah seorang Bupati Naladika. Naladika itu bukan nama seseorang, tapi sebuah jabatan, yang arti harfiahnya kira-kira sama dengan pembesar. Dan sebagai puncaknya adalah Sunan Amangkurat I telah berhasil membunuh dan membantai 6000 orang ulama’, yang diantaranya juga berasal dari Grissee.[40]

Itulah gambaran peristiwa pertarungan (perang) saudara merebutkan kekuasaan (jabatan) dan dengan sangat lihai pihak kompeni Belanda memanfaatkan momen tersebut dengan peran politik benturkan.

Runtuhnya dan bergesernya peran Giri kedaton hingga terbenturnya antar peradaban, lantas munculnya peradaban pecah belah (devide et impera) atau peradaban adu domba dalam hal ini di perankan penuh oleh penjajah Belanda.

Dengan saling membenturkan kekuatan-kekuatan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara dengan Kerajaan Mataram. Termasuk di antaranya dengan Giri Kedaton.

Bab IV

Giri Kedaton Dalam Proses Pengembangan Peradaban Islam

A. Peradaban-peradaban Islam Masa Giri Kedaton.

Pengertian peradaban Islam menurut penulis adalah sebagai pusat struktur pusaran kehidupan sejarah manusia melalui dinamika pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan yang merefleksikan etika, estetika serta rasio yang bersifat religi (agama).

Sedangkan menurut yang lainnya, pengertian peradaban adalah lebih menekankan pada yang luhur-luhur dan halus-halus saja. Pengluhuran tersebut biasanya berlaku dalam bidang-bidang antara lain : Seni, moral, dan rasio yang akhirnya memuncak dalam bidang religi.[41]

Eksistensi peran manusia di alam raya ini, tak pernah lepas dari peran yang Maha eksis. Melalui interaksi manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia serta alam raya, sehingga menghasilkan pengetahuan mengerti dan faham sebagai kekuatannya.

Peradaban Islam yang ditinggalkan oleh pemerintahan Giri Kedaton, Sunan Prapen dan para pendahulunya tanpa dan bahkan tidak pernah merusak atau memperagakan peran-peran yang tidak akomodatif.

Hakikat peradaban. Sejarah manusia merupakan sejarah peradaban itu sendiri. Tidak mungkin bicara tentang (sejarah) perkembangan manusia yang membentang diseluruh peradaban, menjadi saksi bagi dua atau tiga generasi dari peradaban-peradaban yang saling berafiliasi dengan tenggelamnya satu peradaban dan diikuti oleh bangkitnya peradaban baru.[42]

Hubungan-hubungan antar peradaban yang paling signifikan dan dramatis terjadi ketika orang-orang dari satu peradaban menundukkan dan mengeliminasi atau menyingkirkan orang-orang dari peradaban lain.[43] Peradaban merupakan perkampungan-perkampungan, wilayah-wilayah, kelompok-kelompok, nasionalitas-nasionalitas, pelbagai kelompok keagamaan, seluruhnya memiliki perbedaan kultur pada tingkatan yang berbeda dari heterogenitas peradaban.

Seluruh peradaban Islam baik kemunculan, perkembangan, saling keterkaitannya, baik kemunduran dan kejatuhannya. Pelbagai peradaban telah tereksplorasi melalui sejarah. Peradaban Islam Giri kedaton, ditopang oleh keunggulan mereka dari segi nilai-nilai luhur akhlaqul karimah, organisasi, dan disiplin perjuangan.

Maka dari itu peradaban Islam Giri Kedaton yang terdiri dari nilai dan wujud peradaban. Sunan Prapen sebagai salah satu penerus dan pengawal peradaban Islam Giri Kedaton, sangat berperan dan berbagi demi perkembangan peradaban Islam.

Tampil sebagai seorang pemimpin Sunan Prapen, sangat berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama Islam. Akan tetapi di sisi dimensi persoalan duniawi, misalnya : politik, rancangan tata ruang wilayah, seni. Semua peran yang dilakukan Sunan Prapen hampir pasti tidak ditemui benturan antar peradaban yang dahsyat. Tapi justru yang terjadi adalah pembauran, percampuran dan bukannya hitam putihnya atau pun salah maupun benarnya dunia.

Sunan Prapen telah membangun moral bangsa Indonesia agar menghindari konflik (perang). Penyelesaian perang saudara sesama muslim dapat dihindari dengan cara diplomasi.

Kalau dilihat lebih jauh lagi peran Sunan Prapen yang tidak pernah menggunakan simbol-simbol sebagai klaim ke-Islaman. Kita bisa melihat di batu-batu nisan, seni arsitektur berupa gapura-gapura, cungkup-cungkup makam para wali semuanya tetap di pelihara dan di pertahankan dalam masyarakat. Dan Sunan Prapen punya sikap akomodatif, menghargai prinsip hubungan antar sesama manusia (memanusiakan manusia), hingga munculnya istilah sinkretisme, yang merupakan peradaban baru.

B. Pentingnya Sejarah Peradaban Bagi Pemerintah.

Di zaman peradaban teknologi yang serba cepat sekarang ini nilai-nilai sejarah manusia Indonesia. Secara pelan, perlahan-lahan menuju titik lupa. Pemerintahan negeri ini sudah banyak melupakan masa lalu perjalanan negeri ini, malahan yang ada, para pemimpin pintar negeri ini yang sering berkoar, “janganlah menengok ke belakang, tapi lihatlah masa depan”.

Negara Indonesia telah mengalami degradasi, akhlaq, sopan santun serta rasa dan jiwa kebangsaannya telah sirna. Akibatnya negeri ini telah mengalami kebangkrutan di segala lini kehidupan di ikuti pula seribu satu macam persoalan. Kelihatannya negeri ini telah mengalami zaman kemunduran.

Peradaban-peradaban senantiasa mengalami kemunduran sekaligus berkembang. Ia bersifat dinamis, bangkit dan jatuh, menyatu dan saling terpisah; dan sebagaimana halnya dengan apa yang oleh penulis dalam belajar sejarah, ia juga tenggelam dan masuk dalam jarum-jarum masa. Bahwa peradaban berkembang melalui, percampuran, pergerakan, perluasan, masa konflik, kekuasaan universal, keruntuhan dan invasi.

Peran seluruh komponen pemerintahan sangat penting, karena memiliki integrasi tertentu. Setiap bagiannya terumuskan melalui saling keterkaitan antara masing-masing bagian dengan wawasan nusantara nasionalisme suatu bangsa yang merdeka.

Sebenarnya zaman kemunduran, kebodohan, dan kegelapan telah lama sirna pada zaman pemerintahan Giri Kedaton. Sudah menjadi wajib pemerintahan sekarang melakukan langkah-langkah bercermin pada nilai-nilai peradaban manusia Indonesia, seperti zaman pemerintahan ulama’ Giri Kedaton.

Perubahan sebuah peradaban yang sedang berkembang merupakan suatu respons terhadap tantangan-tantangan atau konflik di dalam sebuah negara universal yang sedang berada diambang kehancuran dan disintegrasi.

Peradaban-peradaban tersebut merupakan nilai luhur sejarah manusia, dalam menghadapi zamannya.oleh karena itu marilah kita belajar bersama baik pemerintah maupun masyarakat, janganlah sekali-kali melupakan sejarah bangsa sendiri, dan mereka-mereka yang melupakan masa lalunya pasti akan melakukan kesalahan-kesalahan.

Bab V

Penutup

A. Kesimpulan.

Dari paparan dimuka dapat di simpulkan bahwa

1. Peradaban Islam sebelumnya sudah ada dan berperan melalui perdagangan yang di perjuangkan oleh Muslimah yang bernama Fatimah binti Maimun bin Hibatallah dan seorang Muslim bernama Syech Maulana Malik Ibrahim yang menjabat sebagai kepala pelabuhan (syahbandar).

  1. Setelah melalui proses peradaban oleh kaum pedagang yang telah membentuk masyarakat muslim. Kemudian terbentuknya peradaban Islam (pemerintah) Giri Kedaton. Berawal dari berdirinya sebuah pesantren (sekolah) dengan berbasiskan santri dan kalangan-kalangan elit yang memberikan pengakuan (legitimasi) pendirian pemerintahan ulama’ Giri Kedaton.
  2. Peran sebagai pemerintah Giri Kedaton, mengatur (membuat aturan) serta mempunyai kekuatan sebagai penguasa. Dan juga peran sebagai mediator pengakuan (legitimasi) disertai peran untuk mengembangkan peradaban Islam melalui kebijakan-kebijakannya dalam sifat pemerintahan ulama’ di Giri Kedaton.

B. Saran.

Jika di lihat dari akar sejarah manusia. Tulisan dalam skripsi ini banyak kekurangan-kekurangan, dengan begitu di perlukan adanya kepedulian dari berbagai pihak dan masyarakat akademik. Terlebih lagi pemerintah sebagai pemegang kebijakan-kebijakan untuk merawat, memelihara dan meneliti situs, prasasti, manuskrip, babad, lontar dan bukti-bukti data lain semuanya harus dilakukan secara berkesinambungan. Seperti yang dilakukan oleh lembaga-lembaga perguruan tinggi eropa maupun oleh negara-negara lain yang suka dan cinta pada perjalanan panjang sejarah peradaban umat manusia di bumi.



[1] Tim penulis Fakultas adab IAIN Sunan Kalijaga, sejarah peradaban Islam dari masa klasik hingga modern, (Yogyakarta: Lesfi bekerjasama fakultas adab IAIN Sunan Kalijaga 2003) hal, 10

[2] Kuntowijoyo, metodologi sejarah, (Yogyakarta : tiara wacana, 1994), hal, 111

[3] Ibid, hal, 113

[4] Soerjono Soekanto, sosiologi suatu pengantar (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002) hal, 243

[5] Sartono Kartodirjo, pendekatan ilmu sosial dalam metodologi sejarah (Jakarta, PT Gramedia Pustaka, 1993) hal, 8

[6] Tim peneliti IAIN Sunan Ampel, peradaban Islam dari kota kuno Giri kedaton Gresik Jawa Timur, (Surabaya, lembaga penelitian IAIN Sunan Ampel, 2002), tidak diterbitkan.

[7] Nugroho noto susanto, masalah penelitian sejarah kontemporer, (Jakarta, yayasan Indayu, 1978), hal, 11

[8] Ibid, hal, 38-39.

[9] Drs. Badri yatim, MA, Historiografi Islam, (Jakarta, Logos, 1997), hal, 3

[10]. Dukut Imam Widodo dan kawan – kawan, (Gresik, pemerintah kabupaten Gresik, 2004), Grisee Tempo doeloe hal, 104

[11] Wawancara di warkop dengan Bapak Achmad Jayadi.

[12] Ibid, Grisee Tempo doeloe, hal, 104

[13] Soekarman. B.Sc, Babad Gresik I terjemahan, (Radya Pustaka, Surakarta, 1990), hal, 1

[14] Situs internet, www.jawapalace.org

[15] Ibid, situs internet www.jawapalace.org

[16] Azyumardi Azra, Jaringan global dan lokal Islam nusantara, (Bandung, Mizan, 2002), hal, 29

[17] Wawancara dengan Mas Muchlas Sidomukti

[18] Sigar : di pisah atau di belah yang menunjuk pada benda atau suatu tempat.

[19] Wawancara dengan Bapak Achmad Jayadi, perangkat desa Leran

[20] DR. Hiroko Horikoshi, (penj : Umar Basalim dan Andi Muarly Sunrawa) Kyai dan perubahan sosial, (P3M, Jakarta, 1987), hal, 239, 240, 241, 246

[21] Umar Hasyim, Sunan Giri (Menara Kudus, Kudus, 1979) hal, 32-33

[22] Kementrian agama, Sejarah hidup K.H.A. Wakhid Hasyim (Panitia buku peringatan Alm. K.H.A. Wakhid Hasyim, Jakarta), hal, 21

[23] Ibid, Grisee Tempo doeloe. Hal, 14, 15, 16.

[24] Hasil Laporan balai pelestarian peninggalan purbakala Trowulan wilayah kerja propinsi Jawa Timur dengan dinas pendidikan dan kebudayaan pemerintah kabupaten Gresik tahun 2004, hal 93 tidak dterbitkan.

[25] Drs. Masyhudi. M.Ag, Tasawuf aliran kiri dalam naskah kuno dari Kedaton Giri, (Surabaya, laporan penelitian individu,1990), hal, 47-51. tidak di terbitkan.

[26] Ibid, hal, 52, 53.

[27] Wawancara dengan Bapak Ismail, juru Kunci makam.

[28] Soekarman. B Sc, Babad Gresik II terjemahan, (Radya Pustaka, Surakarta, 1990), hal 7

[29] Sugiarta sriwibawa, babad tanah jawa, (pustaka jaya, Jakarta, 1976), hal, 75-76.

[30] Tim peneliti (Lembaga penelitian IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2004). Manuskrip Islam pesantren di pondok Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan Jawa Timur, hal 79-82. tidak di terbitkan

[31] Ibid, hal, 83

[32] ibid, hal, 93-94

[33] Grisee tempo doeloe hal, 46

[34] Ibid, hal 52

[35] Ibid, hal, 115

[36] Tim peneliti (Lembaga penelitian IAIN Sunan Ampel, Surabaya). Manuskrip Islam pesantren di pondok Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan Jawa Timur, hal 77. tidak diterbitkan

[37] Sebuah artikel “Lain NU Lain PKB “ www.gusdur.net

[38] Ibid, Grissee tempo doeloe, hal, 44-45

[39] Ibid, Grissee tempo doeloe. Hal, 448 – 453

[40] Ibid, Grissee tempo doeloe, hal, 456 – 457 – 458

[41] Iskandar P. Nugroho dan Retno Prabandari, Sejarah Peradaban manusia zaman Mataram kuna, (PT Gita Karya, Jakarta, 1989) hal, 2

[42] Samuel.P. Huntington (penj, M. Sadat Ismail), benturan antar peradaban (Qalam, Yogyakarta, 2002) hal, 37 dan 54

[43] Ibid. hal, 55

0 comments:

Tempat Download Gratis

 

Eson Grisee Copyright © 2009 Community is Designed by Bie