27 December 2010

    Islam itu senyum

    Kritik Konsep Khilafah*

    Oleh: Abdul Mun’im Kholil ditulis ulang Oleh Abid Ali Ismaiel El-Adawy seorang santri di Al-Azhar. Mesir
    Prolog


    Dalam kosmos ini tak ada yang abadi selain perubahan, seorang Muslim harus mengimani hal itu. Proses atau perubahan adalah sunnatullah (hukum alam). Setiap manusia mengalami apa yang disebut proses, tak hanya fisik tapi pikiran dan semua dayanya berproses. Sejarah dan peradaban juga mengalaminya. Mula-mula, ia seperti bayi, anak kecil, tumbuh remaja, menginjak dewasa dan menua.

    Setiap fase dari ‘proses’ menuntut agar diberi sikap yang tak sama, karena memang situasinya berbeda. Penyeragamaan sikap hanya akan menghantar pada kebinasaan. Bolehlah nilai-nilai universal diabadikan sebagai sebuah identitas. Meski ia harus tetap berdialektika dengan perubahan, berdialog bahkan bernegosiasi dengan kemungkinan-kemungkinan.
    Saya tak yakin, apakah ada tipologi manusia yang sanggup bertahan dengan satu menu dalam kesehariannya. Secara psikis, manusia memang selalu merindukan proses dan perubahan. Dalam tataran yang lebih ekstrim, perubahan akan terus ‘menghantui’ manusia baik ia suka maupun terpaksa.



    Dunia klasik jelas tak sama dengan modern, sebagaimana dunia modern berbeda dengan pos-modern atau kontemporer. Manusia, yang oleh sarjana klasik kerap dideskripsikan sebagai objek telah mengalami pergeseran paradigma; sarjana modern tak mau lagi dijadikan objek. Sudah waktunya manusia modern mengambil sikap berbeda dengan menjadi subjek. Sehingga apa yang di masa lampau dipahami sebagai sesuatu yang terberi, pada era modern mulai ditanya “bagaimana”.

    Manusia modern bersifat aktif dan kritis (tidak tenang dan lamban), mencari perubahan (tidak sekedar pemahaman), senang dengan rasa skeptis dan penasaran (bukan kepastian), tertarik dengan kejelasan dan kausalitas (bukan ketidakjelasan dan hal yang menyenangkan), mengejar hak-hak (bukan hanya kewajiban), penyokong seni yang kreatif (bukan imitatif), pencipta (bukan pencemooh) kehidupan, pengelola (bukan cuma pemakai) dunia.

    Sikap, sebagai sebuah respon terhadap perubahan bisa berupa mekanisme dan sistem yang sesuai dengan konteksnya. Apa yang dulu dipahami sebagai sistem Tuhan yang angkuh telah mengalami transformasi nilai. Manusia modern mulai berpikir kritis dengan bertanya “apakah sistem Tuhan akan selamanya melangit dan anti-penafsiran”. Sementara risalah ilahi yang turun ke bumi tak bisa dimengerti tanpa mengalami dialektika dengan dimensi kemanusiaan. Sistem Tuhan akan ‘impoten’ bila manusia tak sanggup menginterpretasi secara jernih. Interpretasi akan dinamis ketika manusia tetap kukuh pada dimensinya, dengan tetap berupaya agar risalah mendapat tempat dalam dunia modern. Tentu tanpa memakai “nama Tuhan” sebagai legalitas interpretasi yang dianggap final dan anti perubahan.
    Identitas Muslim Modern
    Jauh sebelum tahun 50-an, ketika orang Mesir ditanya asal-usulnya, mereka akan menjawab “ana Muslim Mashry” (saya Muslim dari Mesir). Namun kini berbeda, cobalah anda bertanya tentang asal-usul mereka. Jawabannya pasti berbeda “ana Mashry” (saya orang Mesir).

    Sebenarnya, ini bukan sebuah obrolan sederhana namun memiliki banyak makna. Seperti yang saya sebut di atas bahwa perubahan adalah kemestian. Dari obrolan itu nampak jelas bagaimana perubahan nilai tak sanggup dihindari oleh masyarakat yang sangat agamis sekalipun. Jawaban orang Mesir sebelum tahun 50-an memberi informasi bahwa agama memiliki posisi istimewa dalam komunitas masyarakat Mesir. Namun pasca 50-an ketika teriakan nasionalisme semakin menggema maka secara perlahan agama disubordinatkan. Identitas agama hanya perlu disebut jika ada pertanyaan selanjutnya. Agama memiliki ruangnya sendiri, sehingga tak perlu diumbar sana-sini. Fenomena semacam ini tak bisa disimpulkan sebagai “pengkebirian agama” atau “anti-agama” seperti dipahami kalangan fundamentalis.

    Masyarakat dunia saat ini sudah tak bisa lagi dibatasi ruang geraknya hanya gara-gara status agama. Sehingga agama bukan alasan untuk menerima perlakuan istimewa atau diskriminatif dari pihak lain. Masyarakat dunia menyadari untuk menjalin hubungan harmonis dengan siapapun tanpa melihat status agamanya. Agama bukan alasan untuk bersikap ekslusif apalagi anti perubahan. Masyarakat modern seakan hidup dalam satu “kotak pandora” sehingga kebersamaan lebih mereka rasakan dari kesendirian, alienasi apalagi ketertindasan.

    Adanya jaringan ekonomi internasional, perusahaan-perusahaan multi-nasional, media yang 'bejibun' dan internet, tak memungkinkan suatu negara mengisolasi diri. Kalau di Amerika terdapat 5 juta Muslim dan di Eropa 10pt juta Muslim, apakah masih pantas kita sebut "dunia Islam" sebagai lawan "Barat"? tak ada alasan bagi seorang Muslim untuk menganggap dirinya lebih berhak dari pengikut agama lain, apalagi sampai merasa hak-haknya ditindas. Sebab kita hidup bersama dalam satu kosmos, bumi.

    Kita sepakat kalau masyarakat Muslim pasca kolonial memang masih sibuk mencari identitas, memupuk kemandirian dan menentukan sikap. Namun di era kontemporer, identitas itu tak perlu lagi dicari. Karena era ini merubah segalanya, setiap unsur masyarakat dunia dituntut agar bisa saling merangkul untuk mewujudkan kedamaian dan peradaban manusia yang utuh. Pencarian identitas yang terlalu dipaksakan hanya membuat umat Islam tertinggal dari gerak peradaban dunia yang semakin dinamis. Inklinasi berlebih pada identitas hanya akan melahirkan sikap angkuh dan egoisme berlebih pula. Komunitas semacam itu akan menjadi “benalu” bagi laju peradaban. Belum lagi perasaan inferior yang kerap menghantui umat Islam, yang akan menghantar mereka pada sikap skeptis-pesimis terhadap bangsa lain. Ini jelas akan sangat membahayakan keseimbangan peradaban yang dibangun.

    Muslim modernis adalah pribadi yang sanggup menyerap nilai-nilai positif dari modernitas dan membuang sisi negatifnya. Selama ini masyarakat Muslim telah berhasil membuktikannya. Islam sebagai agama terbesar kedua dunia bisa diterima di belahan dunia manapun. Islam akan sanggup bersanding mesra dengan modernitas selama ajarannya ditafsirkan sesuai konteks dan realitas.

    Pada pemaparan selanjutnya, penulis akan mencoba mengolaborasi konsep dan sistem yang dirasa oleh beberapa kalangan fundamentalis ekstrim Islam sebagai sistem paling ideal, sistem khilafah. Khilafah disinyalir sebagai satu-satunya sistem yang melampaui jaman dan tempat, bahkan untuk dipraktekkan pada era kontemporer ini. Dalam makalah ini, saya akan berusaha seobjektif mungkin untuk menghadirkan fakta sejarah, konsep dan praktek sistem khilafah. Apakah benar sistem ini sanggup bergandengan dengan modernitas, sebagai sebuah nilai yang dikukuhi masyarakat dunia masa kini.
    Konsep Khilafah; Kajian Historis-Geneologis
    Awalnya, saya berpikir untuk ‘menapak tilasi’ konsep khilafah dari buku primer al-Nabhani (1914-1977 M), pendiri Hizbut Tahrir (HT), sebagai ormas pengusung khilafah abad ini. Tapi kemudian saya mengurungkan niat dengan pertimbangan bahwa HT masih dalam tataran konsep dan belum praktek. Selain itu, ada banyak konsep yang ditawarkan HT yang saya anggap “primitif” dan tak mungkin bisa berjalan beriring dengan nilai-nilai modernitas. Belum lagi, bentuk-bentuk penafsiran yang dipaksakan, didistorsi dan di#cc9900uksi; menggenaralisir penafsiran seakan hanya memiliki satu wajah. Fenomena ini hanya semakin menegaskan satu alasan: ide organisasi ini sulit diterima oleh masyarakat Muslim modern karena tak realistis dan beberapa sudut pandang yang menyalahi jumhur.

    Saya kemudian tahu bahwa rujukan paling otoritatif untuk mengenal nalar politik Islam terutama konsep khilafah adalah buku al-Ahkâm al-Sulthâniyah karya al-Mawardi, yang ditulis pada 450 H. Buku ini telah diterjemah ke dalam berbagai bahasa dunia, termasuk Jerman dan Perancis. Pada pertengahan abad 19 buku ini sempat menjadi perbincangan hangat di kalangan sarjana Eropa. Karl Brockelmann berkomentar sinis “Buku itu hanya paparan teoritis belaka dalam ruang sempit al-Mawardi”. Namun Hamilton Gibb menyambutnya dengan antusias sebagai buku yang paling representatif di bidangnya.

    Nalar politik Islam sebenarnya bisa diidentifikasi melalui beberapa buku sejarah, semisal Târikh Thabary. Di sana di sebutkan beberapa ayat atau hadist yang dipahami oleh umat Islam awal sebagai pemantik naluri politik, contohnya QS: Annur, ayat 55 “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merobah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik”. Ayat tersebut dan yang sejenis kemudian diinterpretasi oleh al-Thabary (310ptH/922 M) sebagai janji Allah Swt. bagi kaum beriman tentang tanah taklukan Islam, dan kaum Muslimin akan menjadi penguasa di sana.

    Selain itu, ada beberapa ungkapan yang dinisbatkan ke sahabat nabi Saw. maupun tabi’in. semisal ungkapan Umar bin Khattab “Keluarlah menuju bumi-bumi Allah yang dijanjikan. Allah akan memenangkan agamaNya, memulyakan penolong agamaNya”. Atau orasi Amir bin Syarahbil di depan Rustum sebelum perang Qâdisiyah “Allah sudah mewariskan tanah, harta dan anak-anak kalian buat kami”. Terma khilafah sendiri disebut dalam Qur’an sekitar 14 kali dengan bentuk berbeda.

    Dari paradigma umum yang berkembang masa itu, kemudian mereka membangun nalar politik bahwa bangsa Arab akan menjadi pengganti risalah kenabian setelah sebelumnya didominasi bangsa Israel. Mereka mendeklarasikan diri sebagai pencerah bagi bangsa-bangsa sekitar, Persia dan Romawi. Khalifah, dalam arti sederhana dipahami sebagai pengganti estafet dakwah Nabi Saw. Maka siapapun yang diputuskan mengganti posisi (diplomatik) Nabi Saw. ia disebut “khalifah rasulillah”.

    Meski dalam perkembangannya, terma khalifah mengalami pe#cc9900uksian makna semenjak kaum khawârij mengeluarkan diktum “La Hukma Illa Lillah” (tak ada yang berhak menghukumi selain Allah) yang ternyata banyak mempengaruhi frame berpikir penguasa untuk mendapat semacam legalitas. Para penguasa yang mendaku khalifah, sepeti Mu’awiyah (w 78 H/680 M), tanpa ragu mendeklarasikan diri sebagai “khalifah Allah” (wakil Tuhan, bukan lagi wakil Rasul) demi menyingkirkan lawan politiknya. Simak penegasan Mu’awiyah berikut “Ini bumi Allah… saya adalah khalifah (wakil) Allah, apa yang aku ambil alih maka menjadi milikku dan apa yang aku biarkan maka hak kalian”. Ungkapan serupa pernah keluar dari mulut Abu Jakfar al-Manshur (w 775 M), penguasa dinasti Abbasiah ke II, “Wahai sekalian manusia, kami adalah pemimpin kalian. Kami menjadikan hukum Allah sebagai peraturan, maka kami adalah wakil-wakil Allah di muka bumi”.

    Awal kemunculan nalar politik Islam tak bisa disebut sebagai nalar politik ideologis yang bertendensi agama. Pasalnya, meski kita sadari bahwa Rasul Saw. melakukan sejumlah langkah-langkah politis dan diplomatik tapi hal itu bukan sekedar politisasi agama. Ia semata upaya duniawi untuk terciptanya stabilitas kota Madinah. Lihat misalnya rekonsiliasi antara Muhajirin (warga Muslim pendatang), Anshâr (warga pribumi) dan Yahudi di Madinah:”Ini perjanjian antara kaum muslimin Qureisy dan semua warga Yatsrib (Madinah)… mereka semua satu bangsa saling tolong menolong merapatkan barisan. Dan Yahudi Bani ‘Auf satu bangsa dengan kaum muslimin, masing-masing mengukuhi agamanya….” Dalam teks ini secara tegas mengumumkan sebuah konvensi yang disepakati atas dasar politik bukan agama. Karena di dalamnya Yahudi Madinah juga terlibat. Kalau konvensi tersebut dipahami sebagai politik agama yang diajarkan oleh Rasul, maka semestinya bangsa Yahudi tak boleh masuk dalam satu negara bangsa dengan kaum muslimin karena mereka tak meyakini Muhammad Saw. sebagai Rasulullah.

    Perjanjian ini kemudian dikenal dengan “piagam Madinah” yang diantaranya bertujuan: mengakomodasi seluruh elemen masyarakat yang majemuk dengan tetap memberi kebebasan setiap pemeluk agama melakukan ritual dan adatnya, membentuk peraturan yang dipatuhi bersama, mewujudkan perdamaian antar sesama, membangun kerja sama yang baik dan saling menguntungkan dalam ekonomi maupun keamanan. Di sini ketaatan pada hukum harus dilaksanakan oleh setiap warga Madinah. Namun sekali lagi, ini bukan ketaatan ideologis tapi semata-mata kontrak politik. Orang banyak mengira bahwa piagam Madinah merupakan titik tolak berdirinya negara Islam, yang dalam kaca mata agama wajib dilanjutkan oleh pemeluknya. Asumsi semacam itu tidak tepat. Bahwa kemudian Rasulullah bertindak layaknya pemimpin negara modern memang benar tapi itu tak berarti beliau pemimpin negara Islam.

    Di sini, penulis tak menafikan bila sebuah komunitas masyarakat yang madani tetap butuh pada pemimpin yang ditopang oleh sistem tertentu, namun Islam sebagai agama tak butuh untuk dilembagakan. Islam bisa tumbuh dan berkembang dengan dan tanpa adanya negara. Karena Islam memang agama yang sesuai dengan fitrah manusia, maka ia mudah diterima di mana dan kapanpun. Contoh paling kongkret Indonesia. Islam masuk ke Nusanatara tanpa adanya lembaga apalagi negara, ia diperkenalkan oleh beberapa pedagang dan saudagar yang menyeberangi selat Malaka melalui jalur Sutera.
    I
    Sejatinya perdebatan mengenai khilafah atau imamah sudah mulai menghiasi lembar sejarah Islam sejak wafatnya Rasul. Pemakaman nabi sempat ditunda sampai dua hari karena polemik ini. Pembesar sahabat berkumpul di Saqîfah bani Sa’idah untuk merapatkan siapa yang akan mengganti kepemimpinan Rasul selanjutnya.

    Dari sini, intelektual Muslim awal abad 20, kemudian mulai memperdebatkan tentang relasi antara kenabian dan negara, relasi agama dan negara. Mereka mulai mempertanyakan apakah nabi Saw. sempat mendirikan sebuah negara atau sekedar berpolitik layaknya masyarakat madani? Di masa lalu, sekte Syiah secara tegas mengatakan bahwa imamah merupakan rukun iman. Sementara khawârij menolak adanya pemimpin dalam Islam karena yang berhak seutuhnya hanya Allah. Barangkali jawaban Sayyidina Ali Ra. ketika mendengar diktum “La Hukma Illa Lillah” bisa menjadi pencerah bagi polemik yang tak berkesudahan ini “pemegang otoritas hukum memang Allah, namun komunitas masyarakat selalu membutuhkan pemimpin—terkadang adil terkadang lalim— untuk menghindari pertikaian, menyatukan pendapat, membagi devisa, menjaga stabilitas keamanan dst…” .

    Bila anda amati statemen di atas, maka tampak bahwa imamah atau khilafah adalah kebutuhan manusiawi untuk menyelesaikan urusan duniawi masyarakat. Dari sana, tertangkap jelas peran seorang pemimpin di tengah masyarakatnya. Namun sekali lagi, sayyidina Ali Ra. tetap menyadari sistem kepemimpinan (apapun bentuknya) sebagai konsekuensi masyarakat madani bukan tuntutan agama. Seperti itulah iklim politik Islam primordial, mereka sadar seutuhnya bahwa Islam tak harus dilembagakan layaknya Zoroaster yang dijadikan agama resmi negara dinasti Sasaniyah-Iran ketika berkuasa. Karena faktanya, agama yang dilembagakan semacam itu tak akan berumur panjang; saat dinasti itu runtuh maka agama resmi akan segera ikut memudar.
    II
    Ketika ditanya apakah Rasul Saw. mewariskan sistem atau format tertentu tentang khilafah? Hampir semua pengkaji sepakat bahwa Rasul menyerahkan sepenuhnya pada Sahabat. Sepertinya Rasul ingin mengajarkan umatnya untuk menumbuhkan semangat berijtihad secara inovatif tentang hal-hal yang bersifat duniawi. Dari mulai Abu Bakar sampai Ali radiyallahu anhum tak ada satu konsep baku mengenai sistem khilafah yang dibangun. Bahkan seandainya peristiwa di Saqîfah Bani Saidah dianggap sebagai sistem pemilihan pemimpin yang terbaik, niscaya Abu Bakar sendiri akan meniru sistem tersebut. Nyatanya, Abu Bakar lebih memilih untuk membaiat Umar secara langsung –kemudian diikuti Sahabat lainnya—sebelum beliau wafat. Begitupula ketika Umar terluka akibat penusukan Ibnu Muljam, beliau lebih memilih 6 orang pembesar sahabat untuk menjadi kandidat khalifah setelahnya, dan begitu seterusnya.

    Tak ada konsep baku dalam pemilihan khalifah. Ia terus mengalami perubahan dari satu sistem ke sistem lainnya. Sebagai bentuk ketegasan bahwa konsep khilafah adalah urusan furu’-ijtihadi, yang suatu saat akan [pasti] mengalami perubahan. Bagi penikmat sejarah, akan tahu bahwa konsep khilafah hanya satu dari sekian sistem yang pernah dipraktekkan dalam peradaban manusia. Tentunya ia bukan sistem Tuhan seperti diwacanakan kalangan konservatif Islam. Sistem khilafah sama dengan sistem lainnya: kesepakatan manusia yang kemudian membentuk konsep, yang barangkali ideal pada masa tertentu. Khilafah, atau apapun namanya, merupakan salah satu temuan yang mencoba mewujudkan kemaslahatan dan keadilan di dunia.
    III
    Saya sepakat dengan beberapa pengkaji bahwa khilafah telah menyerap nilai-nilai (syariat) Islam untuk diadopsi menjadi sistem. Meski nilai-nilai Islami tadi terus dikontekstualisasikan agar bisa senyawa dengan jaman. Lantas apakah agama selalu diuntungkan dalam hal ini? Mari kita telisik kebenarannya: al-Mawardi dalam karya kanoniknya memberi definisi khilafah sebagai kelanjutan tugas nubuwah untuk melestarikan agama dan mengurusi segala urusan duniawi. Sepertinya al-Mâwardi banyak terpengaruh oleh anomali Ustman Ra. yang pernah berucap “terkadang Allah menjadikan pedang lebih ampuh dari Qur’an”. Bahkan tak berlebihan kalau di sana ada korelasi tak terbaca antara definisi di atas dengan ungkapan Aradsyir bin Babik (228-241 M), pendiri dinasti Sasaniyah, yang diterjemah ke dalam bahasa Arab pada akhir runtuhnya Umawiyah “agama dan negara (kerajaan) ibarat saudara kembar yang tak bisa dipisahkan, agama ibarat rumah dan negara penjaganya”.

    Untuk mengidentifikasi kapan terjadinya infiltrasi politik ke dalam agama, anda bisa membaca sejarah terkait peristiwa arbitrasi di perang Shiffîn. Diangkatnya Qur’an di atas pedang menjadi titik awal penyusupan politik negara ke dalam agama.

    Sementara infiltrasi politik ke dalam kultur keagamaan rakyat secara umum, bisa anda lihat bagaimana setiap kelompok masyarakat mencari legitimasi, justifikasi dan legalitas pada Qur’an maupun hadist untuk merealisasikan hasrat politiknya, tanpa perduli apakah harus memakan korban.

    Sebelumnya saya sudah menyinggung bahwa Islam tak butuh dilembagakan, karena memang negara tak selalu menguntungkan bagi agama, bahkan yang terjadi sebaliknya; agama sering dijadikan bamper untuk memuluskan ambisi pribadi maupun kelompok dan golongannya. Dinasti Umawiyah (662-750 M) berdiri dengan mengatasnamakan “kehendak Tuhan”. Abbasiyah (750-1258 M) yang berhasil merebutnya kemudian berdalih sebagai kerabat terdekat nabi Saw. tentu mereka akan bisa mengemban amanat lebih dari yang lainnya. Sementara Saljukiyah dan Ustmaniyah yang kemudian menguat mengatakan mereka lebih berhak ditahbiskan sebagai khilafah resmi karena berjasa mengamankan negara-negara bagian Islam dari tentara Salibis dan Tar-tar.

    Jadi jelas, bahwa fakta sejarah mengatakan agamalah yang sebenarnya melestarikan khilafah, bukan sebaliknya. Di mana setiap khalifah dan pemimpin negara, masing-masing mencari justifikasi dari agama agar dianggap sebagai pemerintahan yang legal. Akibatnya, kaum muslimin terpecah belah, ada yang mengambil sikap pro-pemerintah, ada pula yang bersikap oposisi. Syiah dan khawarij yang pada awal kemunculannya dibangun atas kepentingan politik, akhirnya mereka berubah haluan sebagai madzhab keagamanaan: sebagai reaksi atas kebijakan penguasa yang mentahbiskan madzhab tertentu sebagai madzhab resmi negara.

    Saat itulah konflik internal kaum muslimin tak terhindarkan. Maka tak heran kalau Imam al-Asy’ari (324 H) dalam Maqâlât al-Islamiyyin menyimpulkan “Pedang tak akan terhunus dalam sejarah umat ini kecuali disebabkan imamah (politik kepemimpinan), baik secara langsung maupun tak langsung.” Selain korban jiwa yang tak terhitung, politisasi agama telah mencederai kesakralan agama itu sendiri. Berapa banyak ayat-ayat Qur’an yang diinterpretasi secara serampangan, atau hadist-hadist maudlu’ yang diciptakan demi kekuasaan.
    Praktek Syariat; Definisi dan Upaya Domestifikasi
    Dalam pemaparan selanjutnya, penulis ingin menghadirkan fakta bahwa tak semua kebijakan khulafa rasyidûn (Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali) sekalipun bisa ditafsirkan sebagai manifestasi Tuhan, yang selalu benar. Bahkan bisa diambil konklusi bahwa ada beberapa kebijakan khulafa rasyidûn yang tak ada relasi (benar-salah) dengan agama, karena semata kebijakan politik. Hal ini saya anggap perlu dihadirkan untuk mempertegas bahwa sistem khilafah ada dalam lingkup furu’-ijtihadi dan tak semuanya bisa diperaktekkan dalam dunia modern, termasuk piagam Madinah yang diestimasi kelompok konservatif sebagai konvensi paling ideal. Untuk masa itu, saya berani katakan bahwa piagam Madinah adalah kebijakan jenius dan paling ideal. Bahkan jika pembaca mau memperhatikannya secara jernih, akan tampak bahwa sebenarnya Pancasila sendiri banyak terinspirasi oleh piagam Madinah. Terutama terkait akomodasi Pencasila terhadap semua aspirasi rakyat, dan kebebasan beragama.

    Banyak kalangan mengira bahwa keputusan Abu Bakar memerangi kaum murtaddin (dianggap keluar dari agama Islam karena tak mau bayar zakat) sebagai keputusan keagamaan. Padahal sesungguhnya itu adalah kebijakan politik an sich. Abu Bakar mempertimbangkan gejala tersebut sebagai ‘percikan api’ perpecahan yang akan mengancam kesatuan negara pasca wafatnya Rasul Saw. Sebelum api tersebut membesar, beliau harus segera mengambil tindakan. Memahami kebijakan harburriddah (perang terhadap kaum yang dianggap murtad) sebagai konsekuensi logis agamis tidaklah tepat, sebab Umar Ra. sendiri sempat protes “Bagaimana bisa anda mau memerangi orang yang masih menghadap kiblat (shalat)?”

    Alasan lainnya, karena memang zakat termasuk salah satu devisa terbesar negara waktu itu, selain harta rampasan. Kebijakan Abu Bakar kemudian dilanjutkan oleh Umar setelahnya. Namun di masa Ustman, zakat tak lagi diurus oleh negara tapi diserahkan sepenuhnya pada individu kaum muslimin tanpa intervensi negara sedikitpun. Di sini, penamaan harburriddah bisa dipahami sebagai “tendensi politik”, karena murtad dan tidaknya seseorang memang tak ada yang tahu selain Allah Swt. Bisa jadi keputusan Bani Tamîm yang tak mau bayar zakat pada negera dilatar belakangi kepentingan politik karena pemimpin kaum muslimin terpilih berasal dari Qureisy, Abu bakar. Yang terpenting dari kasus ini, bahwa Abu Bakar mengajarkan kita bagaimana seorang pemimpin harus mengerahkan semua kemampuannya untuk berijtihad terkait maslahat umat.

    Khalifah kedua, Umar bin Khattâb, juga demikian. Khalifah yang terkenal pemberani ini selalu mencoba melakukan terobosan dan fragmentasi ijtihad untuk kemaslahatan umat. Bahkan Umar dalam banyak kasus sering melabrak teks-teks qath’i (hukum pasti), semisal kebijakannya untuk tidak memotong tangan pencuri tatkala masa paceklik, atau kebijakan Umar yang tak mau memberi jatah orang-orang muallaf karena keislaman mereka yang masih opurtunistik. Belum lagi, jasa Umar dalam birokrasi dan kemiliteran. Di balik sosoknya yang garang, khalifah Umar termasuk ‘alim yang tak terkungkung oleh teks-teks keagamaan, ia juga tak segan-segan mengadopsi sistem pemerintahannya dari peradaban lain, atas dasar nabi Saw. pernah melakukannya saat penggalian khandak (parit) waktu perang Ahzâb.
    I
    Saya tak mau bertanya apakah kita akan memperaktekkan syariat atau tidak? Karena di sana tak ada pilihan bagi seorang Muslim. Yang perlu saya tanyakan: apakah hanya dengan praktek syariat semua problematika umat akan selesai? Apakah syariat itu “wajah” Islam seutuhnya? Apakah syariat itu asl (sumber/pijakan) Islam? Setidaknya jawaban Seikh Mahmud Syaltut berikut bisa dijadikan pertimbangan: “Akidah adalah pijakan Islam yang akan dibangun di atasnya syariat. Syariat mengikuti akidah. Tak ada syariat tanpa akidah. Akan pincang, membangun syariat tanpa akidah.”

    Bagi yang membaca sejarah nabi Saw. akan nampak bagaimana seorang Muhammad Saw. selama 13 tahun berjuang untuk menumbuhkan iman kaum muslimin di Mekah. Sebelum kemudian mengajarkan praktek syariat agama di Madinah. Kenapa kita terlalu silau dengan adagium “praktek syariat” seperti diteriakkan kalangan fundamentalis Islam, sementara syariat yang mereka teriakkan bersifat parsial. Seharusnya mereka lebih mendahulukan pemupukan akidah yang kokoh. Apalagi, yang sering mereka teriakkan tentang syariat hanya hukum negatifnya saja. Sementara hukum positif seperti hak dan kewajiban Muslim terhadap Allah, Rasul, saudara sesama Muslim atau non-Muslim atas dasar sesama makhluk Allah terlupakan. Hukum positif lebih penting untuk disuarakan sehingga tercipta tatanan masyarakat yang sesuai dengan cita-cita Qur’an.

    Bagi kalangan fundamentalis Islam, syariat hanya terejawantahkan dalam hukum negatifnya saja. Sehingga orang seperti Sayid Qutub misalnya, menganggap kafir pemerintah yang tak memperaktekkan hukum negatif, bahkan wajib diperangi. Sebenarnya kasus Sayid Qutub dan yang sejenis, menjadi tugas kalangan fuqahâ sebagai pemegang otoritas syariat agar bisa mendialogkan hukum-hukum fiqh, yang selama ini dianggap sebagai manifestasi syariat Allah, dengan perkembangan dan realitas jaman.

    Hukum negatif tak boleh dihadirkan secara ‘telanjang’, namun perlu dihadirkan kajian kesejarahannya (Tarîkh Tasyrî’) sehingga ia bisa terus dikontekstualkan. Para pakar fiqh perlu melakukan domestifikasi terhadap setiap hukum syariat. Karena tak semua teks-teks syariat bisa diperaktekkan begitu saja tanpa penalaran ijtihadi mendalam. Upaya semacam ini pernah dilakukan oleh Ibnu Hazm dengan mengatakan “potong tangan boleh dilaksanakan ketika warga sudah merasa cukup sandang dan pangannya; dalam arti memiliki rumah sendiri, makan dan minum tersedia, memiliki kendaraan untuk kebutuhannya.” Pendek kata, sejahterakan rakyat terlebih dahulu, barulah anda boleh bicara hukum negatif. Domestifikasi syariat tak akan terwujud tanpa penguasaan yang memadahi terhadap semua disiplin ilmu syariat. Islam bukan agama “hukuman” bagi pelanggar tapi ia agama yang memiliki risalah agung untuk mengarahkan manusia pada jalan terang. Jangan sekali-kali kau hadirkan Islam dengan wajah yang menyeramkan. Domestifikasi syariat yang saya maksud: adalah upayan dialektis antara syariat dengan kondisi civil society (masyarakat madani) di mana syariat itu akan dipraktekkan. Dari sini, saya berkesimpulan bahwa adopsi sistem manapun sah-sah saja, asalkan keadilan dan kesejahteraan rakyat terjamin. Karena itulah isensi syariat.
    Khilafah, Demokrasi dan Sekulerisme; Sebuah Epilog
    Semua sistem yang pernah [dan sedang] dipraktekkan di dunia adalah bagian sejarah. Membincang relasi antara ketiga sistem; khilafah, demokrasi dan sekularisme, memang agak rumit, karena definisi demokrasi dan sekulerisme dinamis dan butuh untuk terus ditafsirkan. Demokrasi, yang dianggap sebagai sistem paling matang dekade ini, telah menuai reaksi beragam dari seluruh penduduk dunia. Masyarakat Barat dengan mudah menerimanya, karena seperti disinggung Huntington memang sesuai dengan lingkungan di sana. Namun tidak demikian dengan Islam (Timur). Trauma imperialisme masih menyisakan kepedihan sehingga apa yang datang dari Barat dianggapnya “Iblis”, terlepas benar dan salah.

    Demokrasi yang dalam pandangan banyak pengamat memiliki pijakan kuat di masa kontemporer untuk mewujudkan kebebasan, persamaan hak, keadilan dan kesejahteraan, harus dipribumisasikan. Demokrasi ala Barat, bagaimanapun prestisiusnya, mungkin tak bisa sepenuhnya bisa sesuai dengan Indonesia (sebagai misal). Indonesia sendiri secara tegas mempraktekkan “Demokrasi Pancasila”; artinya adopsi demokrasi ke tanah air tak utuh seperti pemahaman Barat, ia sudah mengalami proses pribumisasi.

    Bahkan sekularisme yang dalam pengertian masyarakat Barat sebagai pemisahan total dimensi agama dan negara, tak bisa dimengerti jika dipaksa untuk dipraktekkan di Timur. Ia hanya sanggup menyingkirkan sistem teokrasi dan oligarki maupun yang sejenis dari negara-negara Islam. Sementara pemisahan gereja dan negara secara konstitusi seperti yang terjadi di Barat hanya akan meresahkan warga. Cukuplah pengalaman Turki untuk dijadikan pelajaran. Sekularisme total bagi negara berpenduduk mayoritas Islam tak akan bertahan lama, karena tak sesuai dengan kultur Islam itu sendiri. Semua sistem –termasuk khilafah, demokrasi dan sekulerisme— harus disesuaikan dengan kultur masyarakat lokal. mengadopsi sistem tertentu tak akan bisa efektif tanpa mengalami akulturasi dengan budaya setempat. Allahu a’lam.


    *Artikel ini disadur dari Jurnal HIMMAH PPMI Mesir Edisi IX Desember-Januari 2010-2011
    **Mahasiswa Tingkat III Fak. Ushuludin Dep. Akidah-Filsafat Al-Azhar University


    Referensi:
    1. Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, Mizan, cet I, 2002
    2. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVII, Mizan, cet III, 1995
    3. Gus Dur, Islamku, Islam Anda dan Islam Kita, The Wahid Institute, cet I, 2006
    4. Ridwan Assayed, al-Jama’ah wa al-Mujtama’ wa al-Dawlah. Dar al-Kitab al-Araby, Libanon, cet II, 2007
    5. Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyah wa al-Wilâyât al-Diniyah, Dar Ibnu Qutaibah, Kuwait, cet I, 1989
    6. Musthafa Assyak’ah, Islam Bila Madzahîb, Maktabah Usrah, Kairo, cet II, 2005
    7. Muhamad Sa’ed al-Asymawi, al-Islam al-Siyasi, Muassasat al-Intisyar al-Araby, Beirut, cet V, 2004
    8. Farag Faudah, al-Haqîqah al-Ghâibah, Dar al-Fikr li al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tawzi’, Kairo, cet II, 1988
    9. Nasr Hamid Abu Zaid, Naqdu al-Khitab al-Dini, Sina li al-Nasyr, Kairo, cet II, 1994
    10pt. Abu Ishaq al-Syatibi, al-I’tishâm, Maktabah Usrah, Vol II, 2009
    11. Ali Abdurazik, al-Islam wa Ushul al-Hukm, Maktabah Usrah, 2007
    12. Muhamad M. al-Madani, Nadzarât Fi Fiqh al-Fârûq Umar bin Khattab, Wizarat al-Auqaf, Kairo, 2010pt
    13. Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidatan wa Syari’atan, Dar al-Shorouk, Kairo, cet XVIII, 2001
    14. Fahmi Huwaidy, Al-Qur’an wa al-Sultân, Dar al-Shorouk, Kairo, cet VI, 2009
    15. Khalid Muhamad Khalid, Difâ an Dimikratiyah, Dar Tsâbit, Kairo, cet I, 1985
    16. Carl W. Ernst, Following Muhammad; Rethinking Islam in The Contemporary World, William R. Kenan Jr. Fund of The University of North Carolina Press, 2003
    17. Robert W. Hafner, Civil Society Muslims and Democratization in Indonesia, Princeton University Press, 2000
    18. Bassam Tibi, Islam Between Culture and Politics, Palgrave, New York, 2001

    10 December 2010

    Do'a-doa yang membebaskan

    MENEMBUS BATAS NALAR PINGGIRAN INTERAKSI


    Kemarin saya dengan 3 teman saya begitu hangat mengobrol santai dalam satu bangku panjang dengan di temani 3 cangkir kopi plus makanan ringan (godo : Gresik). Disitu ada macam namanya godo gedang, roti goreng, godo tempe. Sebagai selingan dalam obrolan saya serta teman-teman dan kelompok-kelompok lain yang sama melakukan obrolan namun beda tema maupun topik apalagi judulnya. Sesekali antar mereka saling bersahutan nimbrung tanpa sekat, tanpa ruang gelap yang biasa kita sepakati dengan nama “rahasia”, kita pagi itu menemukan kebebasan, kejujuran bahkan kepolosan-kepolosan interaksi sosial warung kopi.


    Disitulah kebebasan kita temukan bersama-sama. Di warung kopi, namun dalam perspektif yang berbeda, keesokan harinya saya dan teman-teman saya masih tetap bertemu, namun kali ini dengan ruang yang agak sedikit berbeda pula dengan sekat-sekat yang populer bernama jejaring sosial (friendster, mirc, facebook, nimbuzz, dll). Tapi tetap dapat merasakan nikmatnya kopi hitam cangkir di masing-masing tempatnya. Sebuah perubahan telah terjadi, merubah segala aspek kehidupan sosial masyarakat. Perubahan cara pandang, perubahan cara berpikir, perubahan cara kerja, hampir semua bidang “terinfeksi” virus perubahan baru, perubahan instant yang bernama internet (maya world), sebuah dunia yang mengkreasi manusia mempunyai dunianya sendiri-sendiri, namun tetap dengan formasi kebebasan melalui sekat yang bernama Transmission Control Protocol/Internet Protocol tersebut. Makhluk yang bernama bebas tapi “terkurung”. Walaupun tanpa kehadiran teman-teman saya tadi, dan secara langsung interaksi kita “terpaksa” integral bersama mereka dan juga dengan mereka.


    Multiplisitas bukan hanya bekerja dalam tatanan psikis melainkan melahirkan suatu bentuk sosial yang melampaui individualitas. Bentuk sosial ini dimaksudkan untuk menunjukkan bagaimana sebuah pengetahuan merupakan produk dari sosial.

    Bentuk sosial ini diproduksi melalui penerjemahan realitas kedalam yang natural. Sedangkan dibalik yang natural adalah produksi dari penguasaan pada alam ketika alam direproduksi sebagai yang kultural. Dalam konteks ini realitas terbangun dari relasi kuasa sehingga realitas sendiri bukan sesuatu yang bebas nilai.

    Tubuh kita integral sebuah representasi, bagaimana kekuasaan menyentuh permukaan dan menusuk hingga kedalam ketidaksadaran manusia. Ketidaksadaran yang sempurna sehingga kesadaran yang dimunculkan merupakan bentuk dari ketidaksadaran itu sendiri (ilusi).


    Kesadaran dan ketidaksadaran menempatkan subyek sebagai lokasi kekuasaan berkerja. Subyek melihat dunia sebagai yang natural. Sedangkan penguasaan yang terjadi pada cara pandang dimaknai sebagai yang begitu adanya sebagaimana terpraktekkan dalam kebudayaan sehari-hari.


    Bergerak-gerak, berlari tunggang langgangnya ideologi kebebasan yang “menusuk” kesadaran merupakan penciptaan dari ketidaksadaran. Dengan demikian kesadaran yang ditampakkan pada keseharian manusia merupakan produk dari ketidaksadaran yang bergerak melalui ideologi (Louis Althusser).


    Mereka kampanye “kebebasan” bicara tentang sebuah kebebasan yang dipertentangkan dengan kehidupan riil yang terbatasi dan dipersepsi sebagai yang terberi. Dalam hal ini merujuk pada pengertian yang natural dan cultural. Sementara dengan adanya sentuhan reproduksi teknologi mekanis akan kehadirannya, agen memiliki keluasan yang berbeda dengan yang riil. Yang dimaksudkan berbeda secara riil ialah tidak dijumpainya kesatuan yang dapat menyatukan agen secara normatif dan moralistik. Dalam hal ini penyatuan manusia secara normatif dan moralistik dihubungkan dengan pengertian Durhkeim tentang solidaritas mekanik dan solidaritas organik.


    Perubahan-perubahan gaya hidup, gaya bicara maupun lelaku teman-teman saya tadi setelah 1 minggu kemarin berkumpul kembali di tempat sama nan tak berubah, namun halus terasa terjadi pada teman serta orang-orang di sekitar saya, baik yang integral dalam kelompok-kelompok penikmat kopi maupun para lalu lalang tak beraturan. Mari kita saksikan bersama-sama orang-orang paling dekat di sekitar kita. Mereka sudah memiliki apa yang dinamakan kebebasan tadi, namun kiranya sedikit masih bisa kita belokkan pada keteraturan.


    Bagaimanapun pergerakan perubahan selalu bergerak-gerak mengisi serta menyesuaikan tempat dan ruang gerakannya hampir pasti mirip seperti sifat air dan itu pasti.


    Perubahan-perubahan tentang “hal” merujuk pada bagaimana subyek ditata melalui ke normalan dalam yang sosial. Dalam konteks ini subyek dikenali secara sosial berdasarkan bagaimana yang sosial mengenalnya. Dengan demikian yang menjadi tolok ukur adalah bagaimana lingkungan sosial ini membaca serta mengenal sifatnya (air).


    Pergerakan perubahan, secara sosial secara samar-samar dapat menunjukkan bagaimana kuasa dari yang sosial menciptakan aturan dalam penciptaan realitas secara natural. berproses menjadi natural ini kemudian ditransformasikan jadi kultural. Agen hendak menunjukan bagaimana subjektifitas, memiliki kekuatan - dalam bentuk dan berat - dalam kekuatan yang kemudian dapat dirujukan pada konsep akan kuasa subjek.


    Sisi lain menjadi bentuk permainan dan tontonan (just a game), yang ilusif dan kontradiktif. Dengan adanya bentuk pengorganisiran tata kata dan bahasa, hingga memungkinkan adanya kekuatan yang mengkonstruk psikis. Bagaimana subjektifitas agen, menjadi rapuh dalam arena sosial.


    Sementara itu, secara kultural pengorganisiran tata kata dan bahasa tersebut, ditransformasikan untuk menunjukkan bahwa yang natural dapat dipergunakan untuk menyatakan apa yang dimaksudkan oleh yang sosial sebagai yang tidak mungkin. Maksudnya adalah sebagai yang tidak mungkin bagi subyek untuk melawan kodratnya. Kodrat yang dibangun dalam relasi kuasa/pengetahuan. “be realistic” dipergunakan untuk menekankan makna yang menghadirkan pemaknaan pada subyek mengenai keterbatasannya.


    Hanya melalui bahasa do’a sekat-sekat tersebut tersambung dengan wajah kebaikan, kejujuran maupun kepolosan lantas mengisi relung-relung kosong jiwa maupun raga esensi kemanusiaan. Do’a sapu jagat Rabbana atina fiddunya chasanah wafil akhirati chasanah waqina adzabannar. Di dalam do’a ini kalimat pertamanya carilah rizki duniawi yang baik (halal), mencari dunia untuk mencapai atau tanggung jawab pada akhirat kelak.


    Tentang do’a ini pun sebenarnya manusia atau siapa pun sangat di anjurkan dan diperkenankan oleh Tuhan. Bahkan manfaat akan do’a tersebut tidak diragukan lagi. Alexis Carrel, seorang ahli bedah Perancis yang meraih dua kali hadiah nobel, menegaskan bahwa kegunaan do’a dapat dibuktikan secara ilmiah sama kuatnya dengan pembuktian dibidang fisika. Oliver lodge secara halus menyindir mereka yang tidak melihat manfaat do’a “kekeliruan mereka, karena menduga bahwa do’a berada di luar fenomena alam. Do’a harus diperhitungkan sebagaimana memperhitungkan sebab-sebab lain yang dapat melahirkan suatu peristiwa. Hanya saja sebagian dari permohonan kita itu mungkin tidak memenuhi syarat do’a, karena tidak jarang terasa bahwa permohonan yang kita panjatkan bagaikan laporan kepada Tuhan yang disampaikan dengan bangga dan panjang lebar. Kita bagaikan berpidato dihadapanNya, padahal kita diperintahkan agar bermohon dengan rasa rendah diri dan dengan suara yang lembut (QS : 7, 55), dengan begitu sering timbul pertanyaan di dalam benak kita, apakah kenyataan diatas menunjukkan bahwa kita masih perlu belajar berdo’a, di mulai dari keharusan membarengi do’a dengan ketabahan berusaha, sampai pada etika berdo’a dan materi harapan yang dipanjatkan? Apakah kenyataan diatas merupakan rahasia mengapa. Dan kalau berdo’a dan caranya pun masih perlu kita pelajari, maka sungguh parah penyakit kita, dalam hal berdo’a pun bangsa kita belum pandai (Quraish Shihab).


    Aktifitas do’a itu tetap dan wajib kita lakukan seperti wajibnya kita melakukan sembahyang 5 waktu, orang-orang tua kita selalu bilang jangan LAMCING : habis salam melencing (baca : pulang). Dan saya sendiri sangat yaqin akan ampuhnya do’a-do’a tersebut walau manusia-manusia modern meletakkan do’a tersebut di pinggiran sajadah masjid.


    Ilahi anta maqsudi wa ridhaka matlubi “Ya Allah, Engkaulah yang kami Maksud dan Ridha Mu adalah dambaanku”.

    20 November 2010

    NU-Makassar

    WAJAH BARU NU PASCA MUKTAMAR MAKASSAR

    Kaum pinggiran yang selalu tersingkir, bukan berarti kalah tapi mengalah. Meminjam istilah Gus Ali Mashuri Tulangan Sidoarjo (sing waras ngalah) memang identifikasi kaum pinggiran mengarah pada kaum tradisionalis, dan itulah bentukan dari opini-opini yang mengerucutkan sasaran sehingga sangat tepat pada sasaran .
    Dominasi modernis yang telah tepat sasaran, mengakibatkan berubahnya orientasi pandangan serta tingkah laku masyarakat yang pada akhirnya terbawa arus untuk mengikuti pola berpikir modernis dan meminggirkan jas merah (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah), budaya lama (kuno budho) yang pada akhirnya memunculkan bermacam-macam opini tuduhan yang dialamatkan kepada kaum tradisionalis, TBC (takhayul, bid’ah, churafat), oportunis, kuno, kolot, syirik. Tayangan media elektronik sekarang ini banyak mempertontonkan yang ingin meng-empiriskan apa yang dinamakan takhayul sehingga dapat masuk ke alam logika otak.
    Sebenarnya tindakan, pikiran kaum tradisionalis didasarkan pada, Al qur’an, hadits, Ijma’, qiyas. Di ijma’, qiyas inilah biasanya banyak merujuk pada kitab-kitab klasik aswaja (kitab kuning) sehingga dalam bertindak serta berfikirnya kaum tradisionalis selalu bersikap hati-hati, luwes dan memilih jalan tengah atau jalan ketiga (the third away), meminjam istilah Anthony Giddens, sehingga keputusan-keputusan dalam bahtsul masail selalu up to date.
    Maka dari itu NU sebagai ormas yang berpijak pada ajaran-ajaran ASWAJA dalam minhajul fikr, idealnya tidak terlalu jauh terseret di wilayah politik praktis berpartai, karena dampak negatifnya lebih banyak daripada dampak positifnya bagi organisasi masyarakat seperti NU.
    NU hadir ditengah-tengah sosial masyarakat sebagai ormas pengayom bagi semua agama, golongan, suku. NU hadir di Indonesia sebagai gerakan cinta damai, karena dalam sejarah pergerakan revolusi bangsa tidak pernah sekalipun NU melakukan pemberontakan seperti yang dilakukan oleh ormas atau organisasi lain yang dalam sejarahnya pernah makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    Dalam keputusan Muktamar NU XVIII di Krapyak Yogyakarta tahun 1989 memutuskan Pedoman Berpolitik Warga NU yang terdiri atas 9 butir :
    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945;
    Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integritas bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat;
    Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama;
    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama;
    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlaq al karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah;
    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apa pun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan;
    Perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap terjaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama;
    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.
    Dengan semangat keputusan MUKTAMAR di Semarang marilah bersama-sama mengembalikan kiprah berpolitik NU di negeri kembali ke tengah (At-Tawassuth), karena pasca NU mendirikan partai kebangkitan bangsa, kekuatan NU yang selalu berada di tengah sudah terlalu jauh terseret pusaran deras arus politik praktis, dan bahkan yang terjadi di Gresik NU telah di jadikan kendaraan politik, secara ceto welo-welo (terang-terangan) melalui keputusan pleno (politis) "pengurus" NU cabang Gresik. Idealnya urusan pilkadal menjadi spacenya partai politik bukan organisasi masyarakat seperti NU cabang Gresik. Tapi biarlah sejarah yang mencatat anomali perilaku seperti NU cabang Gresik.
    Terpilihnya KH Sa'id Aqil Siradj di muktamar ke 32 di Makassar memberikan harapan titik tolak semangat isu Khittah 1926 serta keputusan muktamar NU ke 28 di pesantren Krapyak Yogyakarta, karena slogan Kang Said "kembali ke pesantren" merupakan cermin kejenuhan warga NU yang selama ini terseret atau diseret oleh politisi-politisi yang pada akhirnya terpilihnya Kang Said sebagai ketua PBNU yang baru.
    Disitu dapat kita lihat kecerdasan muktamirin di muktamar ke 32 dengan memilih KH. Said Aqil Siradj sebagai ketua PBNU yang baru, karena memang Kang Said mempunyai karakter kuat untuk mengembalikan "barokah" NU ke tempat asalnya yaitu politik kebangsaan, satu lagi wilayah yang selama ini belum tergarap dengan intens yaitu perekonomian dan industrialisasi (Nahdlatut Tujjar).
    Dengan demikian kita semua yaqin bahwa wajah NU pasca muktamar ke 32 di Makassar akan menampilkan wajah NU yg baru yaitu wajah NU dengan mimik politik kebangsaan dengan idiom baru yaitu NU-KU, NU-ANDA, NU-KITA, NU-nya bangsa Indonesia.
    Wallahu a'lam bi showab
    nur achmad fathoni
    Anggota Ikatan Alumni IAIN Sunan Ampel

    22 April 2010

    NU & Politik Praktis

    WAJAH BARU NU PASCA MUKTAMAR MAKASSAR

    Kaum pinggiran yang selalu tersingkir, bukan berarti kalah tapi mengalah. Meminjam istilah Gus Ali Mashuri Tulangan Sidoarjo (sing waras ngalah) memang identifikasi kaum pinggiran mengarah pada kaum tradisionalis, dan itulah bentukan dari opini-opini yang mengerucutkan sasaran sehingga sangat tepat pada sasaran .
    Dominasi modernis yang telah tepat sasaran, mengakibatkan berubahnya orientasi pandangan serta tingkah laku masyarakat yang pada akhirnya terbawa arus untuk mengikuti pola berpikir modernis dan meminggirkan jas merah (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah), budaya lama (kuno budho) yang pada akhirnya memunculkan bermacam-macam opini tuduhan yang dialamatkan kepada kaum tradisionalis, TBC (takhayul, bid’ah, churafat), oportunis, kuno, kolot, syirik. Tayangan media elektronik sekarang ini banyak mempertontonkan yang ingin meng-empiriskan apa yang dinamakan takhayul sehingga dapat masuk ke alam logika otak.
    Sebenarnya tindakan, pikiran kaum tradisionalis didasarkan pada, Al qur’an, hadits, Ijma’, qiyas. Di ijma’, qiyas inilah biasanya banyak merujuk pada kitab-kitab klasik aswaja (kitab kuning) sehingga dalam bertindak serta berfikirnya kaum tradisionalis selalu bersikap hati-hati, luwes dan memilih jalan tengah atau jalan ketiga (the third away), meminjam istilah Anthony Giddens, sehingga keputusan-keputusan dalam bahtsul masail selalu up to date.
    Maka dari itu NU sebagai ormas yang berpijak pada ajaran-ajaran ASWAJA dalam minhajul fikr, idealnya tidak terlalu jauh terseret di wilayah politik praktis berpartai, karena dampak negatifnya lebih banyak daripada dampak positifnya bagi organisasi masyarakat seperti NU.
    NU hadir ditengah-tengah sosial masyarakat sebagai ormas pengayom bagi semua agama, golongan, suku. NU hadir di Indonesia sebagai gerakan cinta damai, karena dalam sejarah pergerakan revolusi bangsa tidak pernah sekalipun NU melakukan pemberontakan seperti yang dilakukan oleh ormas atau organisasi lain yang dalam sejarahnya pernah makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    Dalam keputusan Muktamar NU XVIII di Krapyak Yogyakarta tahun 1989 memutuskan Pedoman Berpolitik Warga NU yang terdiri atas 9 butir :
    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945;
    Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integritas bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat;
    Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama;
    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama;
    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlaq al karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah;
    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apa pun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan;
    Perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap terjaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama;
    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.
    Dengan semangat keputusan MUKTAMAR di Semarang marilah bersama-sama mengembalikan kiprah berpolitik NU di negeri kembali ke tengah (At-Tawassuth), karena pasca NU mendirikan partai kebangkitan bangsa, kekuatan NU yang selalu berada di tengah sudah terlalu jauh terseret pusaran deras arus politik praktis, dan bahkan yang terjadi di Gresik NU telah di jadikan kendaraan politik, secara ceto welo-welo (terang-terangan) melalui keputusan pleno (politis) "pengurus" NU cabang Gresik. Idealnya urusan pilkadal menjadi spacenya partai politik bukan organisasi masyarakat seperti NU cabang Gresik. Tapi biarlah sejarah yang mencatat anomali perilaku seperti NU cabang Gresik.
    Terpilihnya KH Sa'id Aqil Siradj di muktamar ke 32 di Makassar memberikan harapan titik tolak semangat isu Khittah 1926 serta keputusan muktamar NU ke 28 di pesantren Krapyak Yogyakarta, karena slogan Kang Said "kembali ke pesantren" merupakan cermin kejenuhan warga NU yang selama ini terseret atau diseret oleh politisi-politisi yang pada akhirnya terpilihnya Kang Said sebagai ketua PBNU yang baru.
    Disitu dapat kita lihat kecerdasan muktamirin di muktamar ke 32 dengan memilih KH. Said Aqil Siradj sebagai ketua PBNU yang baru, karena memang Kang Said mempunyai karakter kuat untuk mengembalikan "barokah" NU ke tempat asalnya yaitu politik kebangsaan, satu lagi wilayah yang selama ini belum tergarap dengan intens yaitu perekonomian dan industrialisasi (Nahdlatut Tujjar).
    Dengan demikian kita semua yaqin bahwa wajah NU pasca muktamar ke 32 di Makassar akan menampilkan wajah NU yg baru yaitu wajah NU dengan mimik politik kebangsaan dengan idiom baru yaitu NU-KU, NU-ANDA, NU-KITA, NU-nya bangsa Indonesia.
    Wallahu a'lam bi showab
    nur achmad fathoni

    11 April 2010

    NU & MANUSKRIP PESANTREN

    NU dan Manuskrip Islam Pesantren

    Oman Fathurahman

    Tulisan ini terbit di Harian Seputar Indonesia, Jumat, 9 April 2010.


    Tampilnya KH Said Aqil Siradj sebagai Ketua Tanfidziyah NU dalam Muktamar di Makassar lalu memberikan harapan baru pemberdayaan dan penguatan kembali pesantren sebagai aset kultural bangsa Indonesia. Pada hari KH Said Aqil Siradj terpilih, saya kebetulan sedang berada jauh dari Makassar, tepatnya di Pesantren Sabilil Muttaqin (PSM) Takeran, Magetan, Jawa Timur. Saya, bersama-sama tim dari Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA) dan Islamic Manuscript Unit (ILMU) PPIM UIN Jakarta, sedang ‘bercengkerama’ dengan tidak kurang dari 50an bundel tebal naskah kuno tulisan tangan (manuscript) koleksi Pesantren, yang berisi hampir seratusan teks.

    Selama tiga malam kami membersihkan dan kemudian mengalihmedia digitalkan naskah-naskah kuno berusia ratusan tahun tersebut yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Harapannya, teks-teks digital tersebut kelak dapat membantu ‘memperpanjang’ usia teks yang terkandung di dalamnya, kendati mungkin fisik naskahnya tidak dapat diselamatkan lagi!

    Beruntung, dalam waktu yang sangat pendek itu kami dapat memastikan bahwa koleksi naskah kuno PSM Takeran merupakan warisan berharga leluhur dan pendiri Pesantren sendiri, sebagian adalah buah tangan pendirinya, KH Imam Mursyid, yang ironisnya belum mendapatkan perhatian sepatutnya, bahkan dari keluarga ahli warisnya sekalipun.

    Agenda ‘kembali ke pesantren’ yang diusung KH Said Agil Siradj tiba-tiba mengingatkan saya betapa pesantren sesungguhnya mewarisi dan memiliki khazanah naskah tulisan tangan, yang menurut Undang-undang no. 5 tahun 1992, dapat dikategorikan sebagai benda cagar budaya! Hanya orang memang lebih sering menyebut, pasti karena ketidaktahuannya, arca, masjid, makam, atau artefak lain belaka ketimbang naskah kuno, ketika menyebut soal benda cagar budaya nasional itu. Padahal, dari segi jumlah saja, naskah kuno, yang berisi rekam jejak berbagai aspek kehidupan dan tradisi masa lalu kita itu, berlipat-lipat jauh lebih banyak dalam beragam bahasa dan aksara, serta lebih rentan musnah karena bahan kertas yang digunakannya.

    Sebelum PSM Takeran, tiga pesantren lain di Jawa Timur, yakni Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Tarbiyyah al-Talabah Lamongan, dan Pesantren Tegalsari Ponorogo juga diketahui menyimpan sekitar 300an bundel naskah, yang telah dialihmediakan oleh Tim MIPES dari Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM) Surabaya pimpinan Amiq Ahyad. Umumnya, naskah-naskah koleksi pesantren ini ditulis dalam bahasa Arab dengan terjemah antarbaris dalam bahasa Jawa dan aksara Pegon.

    Saya merasa sangat yakin, jika terus ditelusuri, masih banyak lagi pesantren-pesantren salafiyah, termasuk di luar pulau Jawa, yang menjadi ‘gudang’ penyimpanan naskah-naskah kuno bernafaskan keagamaan. Masalahnya, siapa yang peduli? Salah satunya harusnya adalah NU.

    Mengapa NU?
    Tradisi tulis di kalangan masyarakat Nusantara telah terbentuk sejak ratusan tahun lalu. Kedatangan Islam telah memperkaya peradaban tulis menulis, terutama karena adanya kebutuhan pengadaan bahan ajar agama. Dan, pilihan paling mungkin saat itu adalah dengan menyalin tangan kitab-kitab rujukan berbahasa Arab, serta menyadur atau menerjemahkannya ke dalam bahasa lokal setempat. Tidak heran kemudian jika kitab-kitab, yang belakangan dikenal sebagai ‘kitab kuning’, tersebut kini banyak dijumpai dalam versi tulisan tangannya, baik sebagai milik perorangan maupun lembaga semisal pesantren.

    Nah, keluarga besar NU jelas mewarisi tradisi ini. Kitab kuning adalah pilar utama yang tidak dapat dipisahkan sebagai identitas Jamaah Nahdliyin, dan sejumlah besar substansi dari kitab kuning, khususnya dalam bahasa-bahasa lokal, seperti Melayu, Jawa, atau Sunda, terdapat dalam bentuk naskah-naskah kuno tersebut.

    Dalam konteks keilmuan Humaniora, naskah kuno adalah objek utama kajian filologi dan kodikologi. Telaah atas satu atau sekumpulan naskah sering ditempatkan dalam konteks upaya preservasi, yakni pemeliharaan dan pelestarian artefak budaya, baik preservasi fisik naskahnya maupun kandungan isinya. Seiring dengan era digital, upaya preservasi teks naskah kuno itu dilakukan melalui digitisasi, yang kemudian dilanjutkan dengan pengolahannya dalam sebuah perpustakaan naskah digital (digital manuscript library).

    Trend perpustakaan digital jelas telah memikat hasrat masyarakat internasional, hingga UNESCO pun meluncurkan Program The World Digital Library (WDL) pada 2009 untuk mempromosikan sikap saling memahami dan empati terhadap budaya masing-masing suku bangsa (international and intercultural understanding) melalui teknologi digital.

    Di sinilah salah satu agenda pemberdayaan pesantren oleh NU dapat diletakkan. Pesantren, sebagai salah satu kekuatan civil society, dapat memberikan kontribusi besar terhadap dunia akademik khususnya dengan unjuk kekayaan khazanah intelektualnya, dan memfasilitasi tersedianya akses digital tak terbatas melalui pengembangan perpustakaan naskah digital.

    Belakangan, di kalangan facebookers bahkan telah muncul sebuah account dengan nama ‘Nahdlatul Ulama Manuskrip’, yang secara sporadis menampilkan penggalan-penggalan foto manuskrip asal komunitas ini. Tentu saja, upaya lebih serius dan terorganisasi perlu dilakukan, bukankah santri NU mengenal ajaran al-haqq bila nizam sayuglabu bil bathil ma’an nizam (kebaikan yang tidak terorganisasi akan kalah pamor oleh keburukan yang terorganisasi)?

    Saya yakin, haqqul yaqin, dengan semakin terbukanya akses terhadap pesantren, terhadap khazanah keilmuannya, dan terhadap karakteristik keragaman mazhabnya, maka gagasan-gagasan multikulturalisme dan pluralisme yang memang menjadi karakter utama pesantren akan semakin dikenal khalayak nasional dan internasional, sehingga pesantren tak melulu dicurigai sebagai sarang terorisme yang mengajarkan kekerasan.

    Tentu saja NU bukan satu-satunya ahli waris pesantren salafiyah yang mewarisi khazanah naskah kuno tulisan tangan. Masih ada lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional lain yang memiliki kemiripan tradisi dan ideologi. Pesantren Sabilil Muttaqin Takeran di atas adalah salah satunya. Konon, PSM, yang mengaku mengembangkan penggabungan ideologi tradisionalisme dan modernisme Islam ini, memiliki sekitar 99 cabang di seluruh Indonesia.

    Dalam jamuan makan siang menjelang keberangkatan kami kembali ke Jakarta, Pimpinan PSM Takeran, Ir. H. Miratul Mukminin, MM, atau yang lebih akrab dipanggil ‘Pak Amik’, berbisik bahwa ia sebetulnya masih menyimpan lebih banyak lagi naskah-naskah kuno yang sengaja dipisahkan di kamar pribadinya, karena khawatir dipelajari sembarang orang. Tuh, kan!

    -----------------
    Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/316503/
    Oman Fathurahman, Dosen UIN Jakarta, Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara.

    Berpuisi

    Puisi- puisi

    Ingat-ingatlah bahwa kita hanya manusia batas.
    Ingat-ingatlah bahwa kita selalu menemui sang waktu.
    Ingat-ingatlah bahwa kita hidup berjalan diatas kaki berpijak bumi.
    Ingat-ingatlah bahwa kita makhluk moral jujur seimbang.
    Ingat-ingatlah bahwa kita melihat merasa mencium mendengar meraba.
    Ingat-ingatlah bahwa kita diantaranya sadar sama sekali palsu.
    Ingat-ingatlah bahwa kita siapa aku kamu semuanya cobalah usahalah.
    Ingat-ingatlah bahwa kita hidup sekali merentang waktu menuju maut.

    By Fathoni Grisee

    Serat-Seret

    Serat Candrarini

    Karya sastra Jawa klasik, berbentuk puisi tembang macapat berbahasa Jawa baru. Ditulis pada hari kamis, 7 Jumadilakir tahun be 1792 Jawa oleh Raden Mas Ranggawarsita, atas perintah Paku Buwana IX di Surakarta. Tokoh-tokoh yang ditampilkan adalah para istri Arjuna, yakni : 1. Sumbadra 2. Dewi Ulupi 3. Ratna Gandawati 4. Dewi Manohara dan 5. Srikandi. Tokoh yang ditampilkan berperangi positif, sebab para istri arjuna tersebut mempunyai karakter yang berlainan.Dilihat dari segi isinya merupakan ajaran yang ditujukan kepada kaum wanita, khususnya wanita jaman dulu yang mengabdikan hidup pada perkawinan poligami.
    Didalamnya termuat contoh-contoh sifat dan tingkah laku yang dimiliki oleh kelima orang wanita ( istri ) Arjuna. Dari kelima istri Arjuna itu, yang tiga orang merupakan anak seorang raja, yang berarti mempunyai pengaruh positif kepada pemerintahan dan kehidupan duniawi. Yang dua orang istri lainnya merupakan anak pendeta atau biksu yang berarti memiliki karakter dan pribadi yang luhur. Selain memiliki karakter yang berbeda, kelima istri tersebut selalu menghargai kepada temen-temen selir, dan menganggapnya sebagai saudara sendiri yang saling hidup berdampingan dengan rukun dan damai sebagai wanita yang dikatakan berhasil dalam perkawinan, mereka memiliki sifat sabar “ rela “ dan narima “ menerima dengan bersyukur. Disebutkan pula bahwa sebagai wanita apabila dalam perkawinannya mengalami kegagalan maka rasa kewanitaannya tersebut telah hilang. Seorang istri yang dapat disebut berhasil dalam perkawinan adalah seorang wanita yang pasrah terhadap apa saja yang akan terjadi pada dirinya. Walaupun dimadu seorang istri hendaknya dapat memelihara dirinya agar tetap cantik, bertingkah laku manis, penuh pengabdian, berbakti, setia, dan taat kepada suaminya.
    Diantara sesama selir harus saling bersahabat dan menganggapnya sebagai saudara, oleh karena itu meraka harus saling memberi dan saling mendidik. Selain memiliki sifat-sifat diatas, untuk menjadi wanita yang berbudi luhur haruslah beriman. Janganlah sampai putus dalam berdoa agar mendapatkan wahyu dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Untuk mencapi kesempurnaan hidup, sebagai mahkluk individu dan sosial seseorang diwajibkan untuk berguru agar mendapatkan pengetahuan didalam kehidupan, baik secara makro maupun mikro. Sebagai penyampai pesannya adalah dewi Manohara, sebagai seorang wanita Jawa yang rela berkorban demi suami yang amat dicintainya, wara Sembadra membuktikan dirinya. Sebagai bukti akan kesetiannya, ia menolak keinginan Burisrawayang ingin memperistri dirinya dengan cara menculik, wara Sembadra memilih bunuh diri dan akhirnya mati daripada harus melayani laki-laki yang bukan suaminya. Dilukiskan pula mengenai tingkah laku wara Srikandhi yang berbakti terhadap mertua, yaitu dewi Kunthi. Ia mampu dan berusaha memenuhi apa saja yang menjadi keinginan mertuanya. Sebagai seorang menantu ternyata ia sangat setia, selalu berbuat yang baik demi keutuhan keluarga, ia tidak hanya menerima suaminya saja sebagai pendamping akan tetapi menerima keluarga yang lain sebagai satu ikatan keluarga. Selain berbakti kepada mertua, sebagai istri ia juga harus tetap cinta kepada saudara-saudaranya sendiri, walaupun di antara mereka saling berjauhan tempat. Selain itu digambarkan juga keindahan dan kecantikan terhadap setiap tokoh misalnya :
    1. Wara Sembadra digambarkan sebagai seorang wanita yang mempunyai kesamaan dengan bidadari.
    2. Dewi Manohara digambarkan tentang kelebihan kecantikannya bagaikan lukisan yang indah. Wajahnya bagai bunga pandan, ibarat matahari yang tertutup tipisnya awan. Bentuk lambung yang kecil rapi dan ramping bagaikan kumbang besar yang mengitari bunga. Bibirnya yang kecil, merah, bagus bagaikan buah manggis yang merekah.
    3. Dewi Ulupi liriknya digambarkan bagai teratai biru yang bersinar.
    4. Ratna Gandawati digambarkan berambut hitam, sinom “ anak rambut “ banyak, berleher indah, berdada lebar kuning bagaikan kelapa gading yang masih muda, bila ia berjalan amat pelan bagaikan teratai yang melenggang di air.
    5. Wara Srikandhi digambarkan ibarat wanita dari bulan, suara menggema bagaikan suara kilat yang diatur dan berbunyi bersama-sama, kulitnya kuning bagaikan kencana yang digosok.

    Fathoni Grisee

    21 March 2010

    WAWANCARA

    WAWANCARA IMAJINER DENGAN GUS DUR (1)

    "Assalamu'alaikum Gus. Ini Hikam," Sambil salaman, cium tangan, saya uluk salam

    "Eee.. Salaam, piye Kang, waras..?" Jawab Gus Dur, khas.

    "Alhamdulillah, Gus."

    "Wis madhang, sampean?" (sudah makan sampean?)

    "Suwun Gus, sudah, tadi di rumah."

    "Piye, mBakyu, waras?" GD tak pernah lupa menanyakan kabar istri saya setiap kali ketemu

    "Alhamdulillah, masih sibuk di LIPI."

    "Alhamdulillah, alhamdulillah..." Kata GD

    "Gini Gus, soal Muktamar NU di Makassar... " Saya mulai mancing.

    "Ah... gak perlu dipikirin Kang.., paling ya begitu aja dari dulu.." GD memotong

    "Lho gimana to Gus, kan ini momen penting untuk memperkuat PBNU supaya gagasan kembali ke Khittoh njenengan dulu bener-bener jalan." Saya ngeyel...

    "Lha wong dituturi ya gak ngerti-ngerti, termasuk Kyai-Kyai itu banyak yang sudah lupa bagaimana susahnya memperjuangkan supaya kembali ke Khittah. Sekarang karena NU ora karu-karuan, baru berwacana lagi mau balik Khittah. Lha memangnya latihan baris-berbaris, tah?" Gus Dur mulai semangat.

    "Ngaten nggih Gus. Kan semua sekarang sepakat NU harus di luar politik praktis...."

    "Alaah.. itu kan katanya. Sampean kayak gak tahu saja siapa yang sekarang di PBNu, nanti yang ganti ya orang-orang itu juga. Kalau soal retorika, NU kan gudangnya Kang. Sekarang ini NU sudah kayak pasar malem, isine wong dodolan mbek copet tumplek bleg...hehehehe.." Kata GD sambil tertawa ngakak..

    "Hahaha.. Kan Kata Gus Hasyim memang di NU itu spektrum warganya luas, Gus, mulai dari qori' sampai korak (preman).." Saya menimpali sambil tertawa..

    "Mending, Kang.. kalau koraknya masih taat kepada Ulama masih bagus... Lha sekarang bagian qori' saja sudah dodolan politik gitu gimaaaana!?"

    "Kok GD pesimis ya, biasanya njenengan orang paling optimis di dunia, sampai saya saja rada ngeri dengan optimisme njenengan. Kadang-kadang.." Saya coba komentar

    "Ini kenyataan Kang. Setelah saya tidak di PBNU, miris saya melihat perkembangan. NU di Indonesia makin kehilangan kekuatan riilnya karena pimpinan-pimpinannya pada pengen jadi Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota... Untungnya camat itu kok masih diangkat. Kalau dipilih, pasti kroyokan juga. Mending kalau padha punya kemampuan oragisatoris atau teknis sebagai pejabat, lha wong pengalaman nul puthul kok. Karep saya kan NU kalau mau begitu, salurkan ke parpol. Kan ada PKB, kalau gak suka ya Golkar, PDIP, dll. NU ikut menguji kelayakan mereka saja dan mengawasi ketika sudah jadi pejabat. Kalau semua mau nyalon, akhirnya tabrakan dan saingan gak karu-karuan. Hasilnya, malah podho ora dadi kabeh!."

    "Tapi kan masih ada yang bagus to Gus..." Saya coba membela diri

    "Kalau ada itu pasti ada. Tapi sekarang NU kan juga sudah kena kontaminasi money politics. Bukan cuma NU, bahkan Fatayat, Muslimat, Ansor, IPNU, IPPNU, semua kalau Kongres gak ada yang terpilih tanpa ngglontorkan uang. Coba saya, tiga kali jadi PBNU tidak sepeserpun pake money politics. Kyai-kyai di Muktamar NU Cipasung dicoba dibayar sama Pak Harto supaya gak milih saya. Pinter-pintere Kyai, duit diterima, saya juga yang dipilih... Hahaha.. sampeyan sendiri di sana toh waktu itu?"

    "Inggih.. Gus. Jadi ini rada kurang menarik ya Gus, Muktamar NU di Makassar?"

    "Oooo.. menarik, pasti menarik... Banyak tangan, kan pasti ya tarik-tarikan.... hehehe.." GD masih tertawa-tawa

    "Tapi saya mau datang Gus, meskipun belum dapat undangan sampai hari ini. Insya Allah nanti dapat juga, paling tidak pas penutupan saja. Doakan ya Gus semoga sukses."

    "Saya juga lihat dari Arasy sini, Kang. Saya doakan semoga NU segera ketemu pemimpin yang tidak hanya mementingkan diri sendiri, bersedia berkorban demi NU dan peduli dengan rakyat, gak memandang NU atau bukan, Islam atau bukan. Sudah jadi niat MBah Hasyim dkk membuat NU agar menjadi rahmat bagi semua."

    "Suwun Gus, pareng, saya pamit dulu." Setelah salaman dan cium tangan, saya pun undur diri.

    http://www.facebook.com/pages/Pamulang-Indonesia/THE-GUSDURIANS-FORUM-PECINTA-PENERUS-PENGEMBANG-PEMIKIRAN-GUS-DUR/325076982590#!/note.php?note_id=378140062286&comments

    19 March 2010

    Muktamar 32 Makassar

    NU di Persimpangan Jalan
    Jumat, 19 Maret 2010 | 04:44 WIB

    Oleh Mohammad Bakir

    Selang 100 hari setelah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur wafat, dalam pertemuan di Pasuruan, Jawa Timur, Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga Kacung Maridjan mendapat pertanyaan dari sejumlah ulama. Para ulama mempertanyakan perbedaan pluralitas dan pluralisme.

    Setelah mendapat penjelasan, para ulama tidak mempersoalkan pluralitas karena merupakan kodrat dari Tuhan. Tentang pluralisme, mereka masih terus bertanya karena fatwa Majelis Ulama Indonesia telah mengharamkan.

    ”Meski saya menerangkan berkali-kali, mereka masih belum sepenuhnya paham. Mungkin bahasa saya tak cocok. Yang bisa menjelaskan itu dengan mudah dan langsung diamini ulama pedesaan, ya, Gus Dur. Saya belum lihat ada elite NU sekarang yang punya keterampilan seperti itu,” katanya.

    Untuk mengubah pemahaman ulama tersebut, menurut tokoh NU Halim Mahfudz, tidak bisa dilakukan lewat seminar. ”Mereka tak mungkin datang ke seminar hanya untuk mendengar ceramah tentang pluralisme. Yang paling mungkin, didatangi satu per satu, diajak mengobrol dalam bahasa mereka. Dan, yang bisa melakukan itu, ya, hanya Gus Dur,” papar Halim.

    Membuat yang rumit menjadi gampang dicerna itulah salah satu kelebihan Gus Dur. Dialah yang selama ini menjembatani hampir semua persoalan kehidupan beragama dan berbangsa dari dan keluar NU. Hanya Gus Dur pula yang bisa menjelaskan gagasan membumikan Islam tanpa menimbulkan gejolak di pesantren tradisional (salaf). Untuk memuluskan gagasannya, Gus Dur menggunakan metode ushul fiqh (filsafat hukum) yang juga diajarkan di pesantren.

    Pada Musyawarah Nasional Alim Ulama di Bandarlampung tahun 1992, Gus Dur dan para ulama progresif NU membuat terobosan; antara lain mengubah cara pengambilan hukum yang selama ini berpegang pada pernyataan imam mazdhab (istinbat qauli) menjadi istinbat manhaji, yaitu memakai metode yang dipakai imam mazdhab.

    Dengan pendekatan baru itu ulama dituntut lebih mendalami ushul fiqh agar dapat memahami konteks sehingga fatwa yang dihasilkan lebih membumi. Namun, istinbat manhaji ini belum berjalan baik.

    Kecenderungan ini yang secara langsung atau tidak membuat sebagian nahdliyin terjebak pada pragmatisme dan terkesan oportunis.

    Kemandirian

    Muktamar NU di Makassar nanti sangat penting untuk memikirkan agar NU kembali punya kemandirian sikap dalam bermasyarakat dan berbangsa, seperti juga diungkap para kandidat Ketua Umum PB NU, seperti Masdar F Mas’udi, Ali Maschan, dan Salahuddin Wahid. Ada tuntutan untuk tetap berpegang pada Khittah 1926, yaitu NU tetap menjadi organisasi sosial keagamaan dan tak terlibat politik praktis.

    Sejak menjadi lokomotif pengendali NU, Gus Dur, demikian Kacung Marijan, telah berusaha membawa semangat Khittah 1926. Namun, yang lebih mengemuka adalah gerakan moderat Islam dan kebangsaan.

    Upaya membawa NU sebagai gerakan ekonomi rakyat belum membawa hasil bermakna. Padahal, kemandirian sikap itu hanya dapat dicapai melalui kemandirian ekonomi. Begitu pentingnya mencapai kemandirian ekonomi sehingga Kacung Marijan menganggap hal itu sebagai persoalan utama NU agar menjadi organisasi masyarakat sipil yang mampu melakukan fungsi kontrol dan penyeimbang bagi pemerintah.

    Siapa pun nanti yang memimpin NU, kemandirian itu harus dicapai dengan memperbaiki organisasi, memiliki pengurus yang menyerap aspirasi warga, dan dapat memotivasi nahdliyin aktif berorganisasi dengan fokus mengatasi kesenjangan ekonomi, sosial, dan pendidikan. Jumlah anggota yang diklaim sekitar 40 juta orang adalah peluang mencapai kemandirian.

    Saat ini, banyak nahdliyin memanfaatkan NU tanpa memikirkan warga NU yang sebagian besar hidup dalam kemiskinan. Inilah salah satu tantangan NU ke depan apabila tidak ingin NU besar dalam jumlah, tetapi lemah kekuatan tawarnya. (NMP/BUR)

    http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/19/04443980/nu.di.persimpangan.jalan

    Tempat Download Gratis

     

    Eson Grisee Copyright © 2009 Community is Designed by Bie