18 December 2011

    Dur Gus

    Catatan A. Umar Said


    Suara keras Gus Dur



    Ketika negeri dan rakyat kita sekarang sedang menghadapi berbagai masalah politik, ekonomi, sosial, moral dan agama yang parah, maka suara keras dan berani yang dikeluarkan oleh Gus Dur seperti yang berikut ini patut mendapat perhatian yang besar dari kita semua. Suara keras dan berani ini tercermin dalam berita yang disiarkan Tempo Alternatif tanggal 30 Desember 2007, yang berbuyi sebagai berikut :

    “Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa Abdurrahman Wahid menyatakan Indonesia kehilangan orientasi pembangunan nasional. Akibatnya, rakyat tidak percaya pada pemerintah yang berkuasa saat ini.

    "Orientasi pembangunan kita nggak jelas. Kita harus mampu membuat orientasi pembangunan nasional secara tepat," katanya dalam orasi catatan akhir tahun di Hotel Santika, Minggu (30/12).

    Orasi akhir tahun Gus Dur tersebut dihadiri oleh beberapa tokoh nasional dan politik. Di antaranya Franz Magnis-Suseno, H.S. Dillon, Agum Gumelar, Soetrisno Bachir, dan Mohammad Sobari.

    Selama ini, pembangunan ditujukan untuk kalangan atas. Akibatnya, jumlah rakyat miskin bertambah dan pengangguran tetap tinggi. "Pemerintahan SBY didikte oleh super power. Sama seperti pemerintahan orde baru yaitu pembangunan untuk kalangan atas saja," katanya.

    Pemerintahan Yudhoyono-Kalla mengukur hasil pembangunan berdasarkan pertumbuhan atau growth. Sehingga, pembangunan selama ini dinilai sukses. Angka kemiskinan pun tinggal 16 persen. Sedangkan, angka pengangguran 49 persen. Seharusnya, dia menambahkan, pembangunan diukur berdasarkan pemerataan. "Yang kaya, tambah kaya. Yang melarat, tambah melarat," ujarnya.

    Hilangnya orientasi pembangunan, katanya, tak lepas dari pengaruh Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan Organisasi Perdagangan Dunia. Selama ini, dia melanjutkan, tiga organisasi dunia itu memaksa Indonesia berutang. Sehingga, nilai utang luar negeri saat ini mencapai US$ 600 miliar. Bahkan, ujarnya, ada pihak yang berpendapat nilai utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 1,3 triliun. "Pemerintah lupa bahwa yang harus membayar utang adalah anak cucu kita," ujarnya.

    Utang luar negeri itu, ujarnya, dibiayai dengan penjualan komoditas ke luar negeri. Padahal, komoditas Indonesia dibeli dengan harga murah. Ketidakseimbangan itu, dia menambahkan, akibat dari globalisasi perdagangan. "Nilai-nilai dasar yang kita anut pun berubah," katanya. Dampak susulan dari perubahan itu adalah lahirnya golongan fundamental atau radikal yang ingin mempertahankan nilai-nilai Islam.

    Gus Dur punmenyoroti soal kekerasan yang masih digunakan untuk menyelesaikan masalah. Tindak kekerasan itu diterapkan dengan mengatasnamakan agama. "Ini harus dibongkar habis-habisan," ujarnya.

    Menurut dia, konstitusi menjamin kebebasan berpikir dan berpendapat warga negara Indonesia. Aturan itu seharusnya menjadi landasan kehidupan berbangsa. Majelis Ulama Indonesia pun berkontribusi atas tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama. Selama ini, ujarnya, MUI mengeluarkan fatwa yang dijadikan landasan bagi sebagian besar umat Islam di Indonesia. "MUI jangan sembarangan berpendapat tentang Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Saya minta MUI tidak menggunakan kata sesat," ujarnya.

    Persoalan Ahmadiyah, katanya, sebaiknya ditangani oleh PAKEM (penganut aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa). Alasannya, dalam PAKEM terdapat unsur kepolisian dan kejaksaan agung. Selain Ahmadiyah, orang-orang yang tergabung dalam gerakan shalawatan Wahidiyah di Tasikmalaya Jawa Barat pun dinyatakan sesat oleh pengurus MUI setempat. "Orang sudah melupakan Republik Indonesia bukan negara Islam tapi nasional," katanya.

    Dia meminta MUI dibubarkan karena mengeluarkan fatwa sembarangan. Apalagi, ujarnya, MUI bukan satu-satunya organisasi massa Islam yang ada di Indonesia. "Bubarin ajalah MUI kalau begini. MUI bukan satu-satunya ormas Islam karena itu jangan gegabah mengeluarkan pendapat yang bisa membuat kesalahpahaman," ujarnya. (kutipan dari Tempo Interaktif selesai).

    Pukulan keras bagi pemerintah SBY

    Dari berita tersebut di atas dapat kiranya diangkat berbagai hal penting, karena justru diungkapkan oleh seorang tokoh politik nasional dan sekaligus juga agamawan Islam yang besar. Karena itu, ketika ia mengatakan bahwa “Indonesia sudah kehilangan orientasi dalam pembangunan nasional, dan karenanya rakyat tidak percaya pada pemerintah yang berkuasa saat ini” maka bisa diartikan bahwa ucapannya ini merupakan pukulan yang berat sekali terhadap pemerintah SBY-JK.

    Pukulan keras yang diucapkan Gus Dur terasa lebih keras lagi ketika ia juga mengatakan : “Selama ini, pembangunan ditujukan untuk kalangan atas. Akibatnya, jumlah rakyat miskin bertambah dan pengangguran tetap tinggi. Pemerintahan SBY didikte oleh super power. Sama seperti pemerintahan Orde Baru yaitu pembangunan untuk kalangan atas saja," katanya.

    Sebab, dengan mengatakan yang demikian itu Gus Dur menunjukkan degan jelas-jelas bahwa pembangunan yang digembar-gemborkan selama ini hanya menguntungkan kalangan atas. Dan pembangunan yang menguntungkan kalangan atas itu sudah berlangsung sejak pemerintahan Orde Baru, seperti yang kita saksikan dewasa ini. Banyaknya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, yang dilakukan kalangan atas, merupakan bagian dari pembangunan yang salah orientasi, yang membikin rakyat miskin bertambah miskin dan jumlah pengangguran sangat tinggi.

    Pernyataan Gus Dur yang lain yang sangat penting sebagai tokoh politik nasional dan tokoh terkemuka ummat Islam ialah ketika ia mengatakan bahwa pemerintahan SBY didikte oleh super power dan bahwa hilangnya orientasi pembangunan tak lepas dari pengaruh Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan Organisasi Perdagangan Dunia. Selama ini tiga organisasi dunia itu memaksa Indonesia berutang, sehingga ada yang mengatakan bahwa utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 1,3 triliun. “Pemerintah lupa bahwa yang harus membayar utang adalah anak cucu kita”, ujarnya

    Adalah juga sangat penting (dan menarik sekali ! ) yang dikatakan Gus Dur bahwa pemerintahan SBY didikte oleh superpower dan bahwa hilangnya orientasi pembangunan tak lepas dari pengaruh Bank Dunia, Dana Moneter Internasional dan Organisasi Perdagangan Dunia, Ini menunjukkan bahwa pandangannya mengenai hal-hal ini adalah sejalan dengan pandangan berbagai tokoh negeri kita, dan seiring dengan kegiatan-kegiatan atau aksi-aksi bermacam-macam gerakan yang menentang neo-liberalisme dan globalisasi, baik yang di Indonesia maupun yang ada di banyak negeri di dunia. Patutlah diingat bersama bahwa kesadaran umum terhadap akibat-akibat buruk dari banyaknya operasi modal besar asing di Indonesia akhir-akhir ini makin membesar, terutama di kalangan generasi muda.

    Bubarkan saja Majlis Ulama Indonesia

    Di samping hal-hal penting itu semua, ucapannya mengenai berbagai masalah yang berkaitan dengan ummat atau agama Islam di Indonesia mempunyai arti yang amat besar bagi situasi negeri kita dewasa ini. Gus Dur menyoroti soal kekerasan yang masih digunakan (oleh kalangan Islam) untuk menyelesaikan masalah. Tindak kekerasan itu diterapkan dengan mengatasnamakan agama. "Ini harus dibongkar habis-habisan," ujarnya.

    Kecaman yang tajam sekali telah dilontarkan oleh Gus Dur terhadap Majlis Ulama Indonesia (MUI) yang telah mengeluarkan fatwa yang dijadikan landasan bagi sebagian ummat Islam Indonesia, antara lain bahwa Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Dia meminta MUI dibubarkan karena mengeluarkan fatwa sembarangan. Apalagi, ujarnya, MUI bukan satu-satunya organisasi massa Islam yang ada di Indonesia. "Bubarin ajalah MUI kalau begini. MUI bukan satu-satunya ormas Islam, karena itu jangan gegabah mengeluarkan pendapat yang bisa membuat kesalahpahaman," ujarnya.

    Sebagai tokoh besar golongan Islam, ucapan Gus Dur yang seperti itu mempunyai bobot dan arti penting tersendiri. Ketika banyak tokoh-tokoh Islam lainnya hanya diam (atau takut-takut) saja terhadap aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh sebagian kalangan Islam, maka apa yang dikatakan oleh Gus Dur mengenai hal ini merupakan keberanian yang menyejukkan hati bagi sebagian besar kalangan masyarakat.

    Sebagai tokoh nasional yang terkemuka, pandangan Gus Dur mengenai negara, konstitusi, kebebasan berfikir dan kehidupan berbangsa juga amat penting untuk dicermati oleh kita semua, dan terutama oleh golongan Islam. Menurut dia, konstitusi menjamin kebebasan berpikir dan berpendapat warga negara Indonesia. Aturan itu seharusnya menjadi landasan kehidupan berbangsa. . "Orang sudah melupakan Republik Indonesia bukan negara Islam tapi nasional," katanya.

    Gus Dur dihormati kalangan internasional

    Dari apa yang diucapkan oleh Gus Dur seperti tersebut di atas nyatalah bahwa pandangannya mengenai berbagai masalah penting negara kita mencerminkan ketidakpuasan atau kekecewaan, dan menghendaki perubahan besar demi kepentingan rakyat banyak. Dan berlainan dengan para pejabat atau “tokoh-tokoh” kita yang kebanyakan masih berilusi tentang “kebaikan” sistem yang dianut oleh neo-liberalisme, maka ia menyatakan bahwa justru karena ulah Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan Organisasi Perdagangan Dunia yang membkin rakyat kita yang miskin tambah miskin dan yang kaya makin kaya.

    Berbagai pandangan Gus Dur yang positif tersebut di atas perlu sekali diketahui dan disebar-luaskan sebanyak mungkin di kalangan rakyat, dan terutama di kalangan Islam. Memang, pandangan yang hampir serupa atau searah dengan pandangan Gus Dur sudah juga muncul di sana-sini, terutama di kalangan muda Islam, umpamanya di kalangan Ikatan Pelajar NU (IPNU), Kaum Muda NU (KMNU), Jaringan Islam Liberal (JIL), Syarikat Indonesia, Santri Kiri, PMII dll dll. Dengan kadar berbeda-beda, dan pendekatan yang tidak sama, pada umumnya kelompok-kelompok atau kalangan tersebut di atas menyuarakan hal-hal yang berbeda (bahkan bertentangan sama sekali) dengan kalangan Islam lainnya yang dekat dengan FPI, Majlis Mujahidin, Komando Jihad, Jamaah Islamiah dan lain-lain kelompok atau organisasi yang sehaluan dan searah.

    Berbagai pandangan Gus Dur mengenai persatuan nasional dan persaudaraan Islam digolongkan oleh banyak orang sebagai pandangan yang mengutamakan kebebasan dan toleransi antara berbagai golongan, termasuk golongan minoritas. Itu sebabnya, ketokohan Gus Dir juga diakui dan dihormati di dalam negeri dan di kalangan internasional.

    Kita perlu banyak tokoh seperti Gus Dur

    Banyak peristiwa-peristiwa dalam masyarakat yang disebabkan tindakan atau kegiatan sebagian kalangan Islam (semacam FPI, Komando Jihad dll), yang dibantu oleh kekuatan-kekuatan gelap dari sisa-sisa Orde Baru, telah menimbulkan citra yang jelek bahwa kalangan-kalangan itu umumnya bersikap tidak toleran terhadap adanya perbedaan keyakinan, mempunyai pandangan picik dan menyukai kekerasan.

    Menghadapi kekisruhan atau kekacauan yang ditimbulkan oleh anasir-anasir yang tidak toleran seperti tersebut di atas itu semunya, terasalah pentingnya bagi negeri kita mempunyai banyak tokoh seperti Gus Dur. Kita butuhkan tokoh-tokoh yang mempunyai gagasan-gagasan besar untuk memajukan bangsa, dan bukannya orang-orang yang menggiring bangsa kita ke arah kemunduran.

    Dan kalau kita lihat bahwa bangsa-bangsa lain di berbagai bagian dunia sudah mengalami perubahan-perubahan besar demi kemajuan rakyatnya (contohnya : Tiongkok, Vietnam, India, Kuba, Venezuela, Bolivia, Argentina, bahkan juga akhir-akhir ini negara-negara di Eropa Timur) maka keterpurukan negara kita Indonesia kelihatan makin sangat menyedihkan.

    Bukan hanya karena korupsi yang merajalela di seluruh negeri saja, tetapi juga karena kemiskinan dan pengangguran yang menimpa sebagian besar sekali rakyat kita. Pembusukan moral terjadi dimana-mana, termasuk di kalangan agama. Penderitaan rakyat yang sudah sangat berat itu ditambah lagi dengan adanya bencana alam, gempa bumi, dan banjir.

    Dengan latar belakang itu semuanya maka nyatalah bahwa suara Gus Dur yang dilontarkan dalam orasi akhir tahunnya itu mempunyai arti dan bobot yang perlu mendapat perhatian dari kita semuanya, termasuk (bahkan, terutama ! ) dari kalangan Islam.

    Tetap GD

    MUSUH RAKYAT BUKANLAH GUS DUR, MELAINKAN SISA-SISA ORDE BARU ! ! !


    A. Umar Said*)

    Dengan diterimanya laporan Pansus Buloggate dan Bruneigate oleh sidang pleno DPR, maka makin nyatalah bahwa bahaya sedang mengancam rakyat Indonesia. Ketika kita semua sedang terus dibanjiri berbagai berita, kupasan, atau analisa tentang kritik-kritik terhadap kesalahan dan kelemahan Gus Dur, maka ada satu hal yang perlu jelas di fikiran kita semua, yaitu bahwa bahaya bukan hanya mengancam Gus Dur saja, melainkan juga mengancam rakyat kita. Untuk lebih jelasnya, marilah sama-sama kita renungkan dan kita telaah dalam-dalam hal-hal sebagai berikut :

    Setelah mengalami masa-masa gelap Orde Baru selama kurun waktu yang panjang (lebih dari 30 tahun), maka di bawah kepemimpinan Presiden Abdurahman Wahid rakyat Indonesia bisa menaruh harapan untuk bisa hidup dalam sistem politik yang baru. Yaitu, sistem politik yang lebih demokratis, lebih menghargai Hak Asasi Manusia, lebih bersih dari KKN, lebih mementingkan kepentingan rakyat yang luas, lebih toleran terhadap perbedaan suku, ras, agama dan adat, lebih memperkuat persatuan bangsa dan kesatuan negara, lebih merakyat. Dan lebih beradab!

    Dengan segala kekurangannya atau kesalahannya - yang selama ini sudah sama-sama kita dengar atau kita baca - kita lihat pada sosok Gus Dur seseorang yang bisa diharapkan untuk melaksanakan reformasi. Artinya, me-reformasi begitu banyak aspek buruk dan destruktif yang sudah diwariskan oleh Orde Baru. Sebab, pada dirinya tercermin sikap seorang pemimpin bangsa yang demokratis, humanis, terbuka, toleran terhadap perbedaan agama atau ideologi. Satu hal yang amat penting pada sosok Gus Dur adalah bahwa ia telah membuktikan selama ini sebagai pemimpin Islam yang pandangan-pandangannya memberikan kesejukan di hati banyak golongan dan kalangan, baik secara nasional mau pun internasional. Dan sifat-sifat inilah yang, pada dewasa ini, sulit didapatkan pada “pemimpin-pemimpin” lainnya. (Mohon jawab sendiri, apakah seorang seperti Amien Rais, Akbar Tanjung, Hamzah Haz, Fuad Bawazir, Yusril Mahendra, dll dsb itu mempunyai sifat-sifat yang seperti itu!)

    Sekarang ini, dengan adanya memorandum “DPR” (harap diingat bahwa sekitar 60 sampai 70 % komposisi DPR hasil pemilu yang lalu masih didominasi oleh orang-orang yang masih berfikiran dengan pola Orde Baru) tentang Bulogggate dan Bruneigate, kedudukan Gus Dur sebagai presiden sedang menghadapi ancaman. Bahkan Ketua MPR, Amien Rais, sudah terang-terangan menyatakan akan merencanakan diselenggarakannya secepat mungkin SI MPR, dengan tujuan untuk mencopot (melengserkan) Gus Dur dari kedudukannya sebagai presiden.

    BENCANA BESAR SEDANG MENGANCAM

    Akhir-akhir ini, masalah apakah Gus Dur akan tetap menjadi presiden, ataukah tidak, bukan saja telah menjadi persoalan yang ramai dibicarakan oleh banyak orang di Indonesia, melainkan juga menjadi perhatian pers luarnegeri. Pers Asia, juga Amerika, Australia dan Eropa sering muat berita atau artikel tentang perkembangan situasi di negeri kita. Ini adalah wajar. Sebab, sesudah jatuhnya rezim militer Suharto dkk, yang dikenal oleh opini dunia sebagai diktatur militer yang penuh dosa-dosa dan kejahatan terhadap kemanusiaan, maka muncul harapan bahwa rakyat Indonesia bisa mulai menikmati kehidupan yang demokratis di bawah pemerintahan yang bersih. Bisalah kiranya dikatakan bahwa pada umumnya, opini internasional menaruh harapannya kepada kepemimpinan Gus Dur.

    Sekarang ini, seperti yang juga dicemaskan oleh banyak orang di Indonesia, harapan ini makin menipis dengan adanya tanda-tanda bahwa Gus Dur akan digulingkan oleh kombinasi atau aliansi berbagai kekuatan anti-Gus Dur yang bersekutu dengan sisa-sisa kekuatan Orde Baru. Dari perkembangan situasi politik negeri kita sejak Gus Dur menjabat sebagai presiden sampai diputuskannya “memorandum” oleh DPR tanggal 1 Februari yl, maka makin jelaslah bahwa berbagai politik mendasar Gus Dur adalah bertentangan secara fundamental dengan kepentingan aliansi anti-Gus Dur itu. Partai-partai yang tergabung dalam poros-tengah, yang tadinya berusaha dengan segala cara untuk menjadikan Gus Dur sebagai presiden, sekarang menjadi musuhnya. Pada awalnya, Gus Dur telah mereka jadikan presiden untuk mencegah naiknya Megawati. Tetapi, karena Gus Dur ternyata mengambil langkah-langkah politik yang tidak menguntungkan mereka, maka sekarang mereka berusaha sekuat-kuatnya (dan dengan berbagai cara) untuk menggusurnya dan melikwidasi perannya dari dunia politik negeri kita.

    Kalau (sekali lagi: kalau!) rencana aliansi kekuatan anti-Gus Dur yang bersekutu dengan dengan sisa-sisa Orde Baru ini terlaksana, maka ini merupakan bencana baru bagi bangsa dan negara kita. Di antara berbagai persoalan yang bisa sama-sama kita coba menelaahnya adalah yang sebagai berikut.

    MENGAPA HANYA BULOGGATE DAN BRUNEIGATE ?

    Sekarang ini, kekuatan anti-Gus Dur ( reformis gadungan, partai-partai “poros tengah”) bersama-sama kekuatan sisa-sisa Orde Baru (GOLKAR, sebagian TNI-AD, sebagian kalangan Islam) sedang menggerakkan dan membeayai demo-demo dan berbagai aksi-aksi anti-Gus Dur. Karena sisa-sisa kekuatan Orde Baru ini mempunyai dana yang luarbiasa besarnya dan juga jaring-jaringan yang amat luas, maka mereka berhasil menciptakan opini umum tentang “kebusukan” politik dan kesalahan-kesalahan Gus Dur. “Keberhasilan” mereka ini dapat dilihat dari banyaknya massa atau golongan-golongan yang bisa dipengaruhi (atau “dibeli”), dan dikuasainya media massa (pers dan televisi).

    Dengan menggunakan (lebih tepatnya : menyalahgunakan) peristiwa Buloggate dan Bruneigate sebagai senjata, mereka berusaha menyingkirkan Gus Dur dari tampuk pimpinan negara, dengan tujuan untuk merebut kekuasaan politik. Menyingkirkan Gus Dur dari percaturan politik adalah penting bagi sebagian dari mereka (terutama pejabat-pejabat tinggi Orde Baru yang bergelimang dengan berbagai lumpur kejahatan) untuk mencegah pengusutan dan pemeriksaan di depan pengadilan. Bagi sebagian lainnya (para reformis gadungan, termasuk kalangan-kalangan Islam tertentu) tersingkirnya Gus Dur dari percaturan politik akan memudahkan mereka untuk naik di panggung kekuasaan.

    Digunakannya Buloggate dan Bruneigate sebagai senjata untuk menjatuhkan Gus Dur menunjukkan bahwa mereka betul-betul memang sudah bertekad “all out” (sekuat tenaga) untuk menyingkirkan Gus Dur dari percaturan politik, bukan demi dituntaskannya reformasi, dan bukan pula demi pemberantasan KKN, apalagi, bukan juga demi penegakan hukum, seperti yang sering mereka uar-uarkan dengan lantang. Sebab, kalau betul-betul mereka berjuang untuk reformasi, pembrantasan KKN dan penegakan hukum, mengapa mereka justru “diam seribu bahasa” atau tidak “galak” terhadap kasus-kasus KKN dan pelanggaran hukum lainnya, yang notabene jauh lebih besar yang dilakukan oleh penjahat-penjahat kakap besar selama Orde Baru.? (antara lain : kasus Pertamina, kasus dana reboisasi yang dipakai untuk IPTN, kasus skandal Bank Bali, kasus skandal BLBI, kasus dana Taperum yang menyangkut Akbar Tanjung, kasus kroni-kroni Suharto seperti Texmaco dan Fuad Bawazir dll).

    Gus Dur diungkit-ungkit dan digugat karena ada masalah penggunaan dana Bulog sebesar RP 35 milyard (sekitar 4 juta US$) yang digunakan oleh orang dekat Gus Dur, dan sumbangan dari Sultan Brunei sebesar 2 juta US$. Tetapi, kasus-kasus korupsi besar lainnya tidak dipersoalkan (harap diingat bahwa BPK telah mencanangkan penemuan korupsi sebesar Rp 138,5 triyun!!!), padahal kasus-kasus itu telah membikin terpuruknya perekonomian negara secara parah sekali.

    PENGGANTI GUS DUR TIDAK AKAN LEBIH MAMPU

    Karena hebatnya kampanye anti-Gus Dur yang dijalankan oleh kekuatan sisa-sisa Orde Baru dan para reformis gadungan, maka cukup banyak orang (termasuk kalangan mahasiswa) yang termakan olehnya. Mereka yang terpengaruh ini berilusi bahwa dengan digantikannya Gus Dur oleh orang lain (termasuk oleh Megawati) maka berbagai masalah ruwet akan bisa diatasi, atau situasi ekonomi dan politik akan bisa lebih baik. Mereka yang berfikiran demikian itu tidak mengerti atau tidak melihat bahwa siapa pun yang menggantikan Gus Dur akan tetap menghadapi berbagai kesulitan-kesulitan besar yang diwariskan oleh Orde Baru.

    Ditambah lagi, kalau yang menggantikan Gus Dur itu adalah orang yang masih belum “talak tiga” dengan Orde Baru, maka besarlah kemungkinan bahwa segala kebusukan Orde Baru tidak akan mungkin diberantas olehnya, melainkan melestarikannya, dan, bahkan, membikinnya lebih parah lagi! Dengan perkataan lain, reformasi yang menjadi dambaan kita semua akan menjadi impian belaka. Sekali lagi, perlu sama-sama kita ingat satu hal yang fundamental, yaitu bahwa reformasi (yang sungguh-sungguh, yang total) tidak mungkin dilaksanakan oleh orang (atau orang-orang) yang masih ada kaitannya yang kuat dengan Orde Baru. Reformasi (yang sungguh-sungguh) hanyalah bisa dilakukan dengan membersihkan segala cara berfikir, segala praktek, segala konsep politik, yang bersifat Orde Baru. Oleh karena itu, reformasi tidak bisa dilakukan dengan tuntas dan secara total oleh GOLKAR beserta pendukung-pendukung setianya.

    Seandainya (sekali lagi : seandainya!) Gus Dur terpaksa digantikan oleh Megawati pun, tidak berarti bahwa krisis yang multi-dimensional dewasa ini akan mudah diselesaikan. Bahkan, bisa sebaliknya. Makin menjadi-jadi dan bertambah ruwet. Sebab, mereka yang sekarang ini memusuhi Gus Dur, bukanlah berarti secara otomatis akan tetap mendukung Megawati. Mereka memusuhi Gus Dur dan menjatuhkannya, dengan menggembol agenda mereka sendiri, atau dengan tujuan mereka yang lain. Sebab, dulu mereka juga menentang Megawati karena pertimbangan politik atau karena ideologi, atau karena pertimbangan-pertimbangan lainnya (masalah perempuan dll). Seandainya Megawati juga berkeras untuk sungguh-sungguh menjalankan reformasi, membrantas KKN, pastilah mereka akan melakukan juga perlawanan, penggoyangan atau sabotase. Bahkan, juga menggulingkannya.

    Jadi, seandainya (!!!) Gus Dur digantikan oleh Megawati, kesulitan yang akan dihadapi oleh putri Bung Karno ini juga akan cukup banyak dan juga cukup besar. Sebab, seperti halnya kesulitan yang dihadapi oleh Gus Dur, aparat pemerintahannya masih akan tetap dikangkangi oleh sisa-sisa kekuatan Orde Baru, di mana GOLKAR masih punya jaring-jaringannya yang luas, baik di tingkat Pusat sampai ke daerah-daerah, bahkan sampai ke tingkat desa. (harap dicatat bahwa lebih dari 70 % bupati atau walikota di seluruh Indonesia masih ada sangkut-pautnya dengan Golkar). Karenanya, seperti halnya kesulitan Gus Dur, politik Megawati akan tetap menghadapi sabotase, rongrongan, atau penjegalan dari orang-orang atau kalangan yang tidak menghendaki adanya reformasi total.

    Jadi, adalah ilusi besar yang menyesatkan, kalau ada anggapan bahwa - dalam konteksi situasi seperti yang kita hadapi dewasa ini - dengan menggantikan Gus Dur dengan orang lain, berbagai krisis yang sedang melanda negeri kita akan bisa diselesaikan dalam tempo yang singkat. Bahkan, sebaliknya, berbagai bencana politik, sosial dan ekonomi yang lebih serius bisa makin berkecamuk.

    HANCURKAN SISA-SISA KEKUATAN ORDE BARU

    Dari pengamatan kita bersama di bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan (termasuk moral), maka makin jelaslah bahwa walaupun resminya Orde Baru sudah tumbang sejak lengsernya Suharto, tetapi sisa-sisa kekuatannya masih sangat besar di berbagai bidang. Kekuatan ini tercermin, antara lain, dalam hasil pemilu yang lalu, yang walaupun secara relatif bisa dikatakan lebih demokratis dari selama 30 tahun Orde Baru, tetapi masih juga mencerminkan hebatnya kerusakan-kerusakan moral yang diwariskan oleh rezim militer. Pemilu yang demikian itulah yang menghasilkan DPR (dan MPR) yang kualitasnya sedang dipersoalkan oleh banyak orang dewasa ini.

    Karena itulah maka banyak orang mengatakan bahwa sekarang ini reformasi sudah macet sama sekali, tanpa mengerti secara jernih bahwa kemacetan itu justru disebabkan oleh masih banyaknya tokoh-tokoh penting Orde Baru yang bercokol di berbagai bidang, baik di kalangan eksekutif, legislatif maupun judikatif. Mereka ini pernah menikmati berbagai fasililitas yang “terbuka” atau “tertutup”, kesempatan yang sah atau tidak, pemupukan kekayaan secara halal atau haram, dan berbagai penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan, di atas penderitaan rakyat banyak dan atas kerugian negara yang tidak sedikit. Orang-orang inilah yan sebenarnya masih merindukan datangnya kembali Orde Baru, walaupun dalam bentuknya yang baru. Orang-orang ini pulalah yang pada hakekatnya menentang reformasi, walaupun mereka berteriak-teriak lantang menyuarakan lagu palsu “reformasi”.

    Dari kacamata yang ini pulalah kita bisa melihat dengn jelas mengapa begitu banyak koruptor kelas kakap masih belum juga ditindak, walaupun sudah jelas-jelas merampok kekayaan negara secara besar-besaran. Juga mengapa reformasi hukum tidak berjalan semestinya, dan mengapa pelurusan sejarah belum dilakukan (umpamanya, antara lain : peristiwa 65), atau mengapa sebagian kalangan Islam masih leluasa menyebarkan permusuhan yang bersifat SARA.

    Singkat-padatnya adalah berikut : reformasi tidak akan mungkin dilaksanakan dengan baik, tanpa menghancurkan sisa-sisa kekuatan Orde Baru. Inti-dasar reformasi adalah berarti menentang atau menolak sistem politik Orde Baru. Dan, tiang penyangga utama Orde Baru adalah Golkar dan TNI-AD. Bahkan, untuk lebih jelasnya : Orde Baru adalah Golkar. Oleh karena itu, demi reformasi, GOLKAR perlu dihancurkan secara politik. Perlulah kiranya kita cengkam bersama-sama (termasuk kalangan mahasiswa) bahwa reformasi tidak akan jalan, tanpa menhancurkan GOLKAR (secara politik!!!) Tanda seru di sini dicantumkan untuk menegaskan bahwa yang dimaksudkan bukanlah penghancuran secara fisik terhadap orang-orangnya atau tokoh-tokohnya. (Jadi, ini berlainan sama sekali dengan praktek pendiri-pendiri Orde Baru, yang telah menghancurkan PKI dengan jalan membunuh jutaan manusia tidak bersalah dan memenjarakan ratusan ribu orang dalam jangka lama tanpa proses pengadilan).

    GALANG KEKUATAN ANTI ORDE BARU !

    Mengingat hal-hal tersebut di atas, maka makin jelaslah kiranya bahwa demi bisa dilancarkannya reformasi (yang sungguh-sungguh!) maka seluruh kekuatan pro-demokrasi dan pro-reformasi perlu menggalang bersama-sama front rakyat untuk melawan bahaya lahir-kembalinya Orde Baru. Untuk mencegah “come back”-nya Orde Baru, perlu sekali melawan dan menggembosi GOLKAR, yang merupakan pengejawantahan Orde Baru dengan topeng dan baju baru (Mohon diperhatikan bahwa Golkar dewasa ini suka menampilkan diri dengan topeng “paradigma baru” atau bahkan berani bicara juga tentang “reformasi” . Keterlaluan, bukan?).

    Adalah menggembirakan bahwa dalam sebagian terbesar demo-demo yang dilakukan oleh berbagai kalangan mahasiswa di banyak tempat, masalah reformasi, penegakan hukum dan pembrantasan KKN menjadi salah satu tuntutan utama mereka. Agaknya, perlulah jelas bagi kita semua bahwa pembrantasan KKN hanya bisa dilakukan secara tuntas, kalau reformasi bisa jalan dengan baik. Selama aparat pengadilan dan kejaksaan (atau kepolisian dan Mahkmah Agung) masih dipenuhi oleh tokoh-tokoh yang bersimpati kepada Orde Baru, maka hukum atau “keadilan” masih akan bisa terus saja “dibeli” oleh para penjahat elite yang berdasi (dan berpeci!).

    Memang, sampai sekarang masih sulit diramalkan apa yang akan terjadi dalam waktu dekat ini selanjutnya. Tetapi, apa pun yang akan terjadi, satu hal adalah sudah jelas, yaitu bahwa Gus Dur bukanlah musuh rakyat Indonesia. Musuh rakyat Indonesia adalah Orde Baru, yang telah membantai jutaan orang tidak bersalah dalam tahun 65, dalam peristiwa Aceh, peristiwa Lampung dan Tg Priok, dan yang telah membunuh demokrasi selama lebih dari 30 tahun serta melecehkan Panca Sila atau melikwidasi penciptanya (Bung Karno). Musuh rakyat Indonesia adalah Orde Baru, yang para pendukung setianya telah membikin kerusakan-kerusakan besar di bidang eksekutif, legislatif dan judikatif. Musuh rakyat Indonesia adalah Orde Baru, yang telah membikin rusaknya moral begitu banyak pejabat dan tokoh-tokoh masyarakat (kalangan swasta), termasuk para elite ekonomi.

    Oleh karena itu, dalam kaitan itu semua, seruan bersama yang dikeluarkan oleh 51 LSM di Jakarta tanggal 2 Februari 2001 mempunyai arti amat penting. Dalam seruan bersama itu dinyatakan antara lain:” Perkembangan politik saat ini amat mungkin merugikan gerakan reformasi dan kepentingan rakyat. Pertarungan intraelite sudah mengarah pada situasi gawat yang cenderung mengadu domba kelompok masyarakat. Hal tersebut makin membuka peluang bagi kekuatan Orde Baru (Orba) yang sangat agresif untuk kembali mengambil posisi strategis dalam kelembagaan negara”

    Seruan bersama terseebut dibacakan oleh Ketua PBHI Hendardi didampingi antara lain oleh Romo Sandyawan Sumardi (Sanggar Ciliwung), Emmy Hafidz (Walhi), Zoemrotin (YLKI), Tri Agus Siswomihardjo (Solidamor), Binny Buchori (Infid), Ifdhal Kasim (Elsam), dan Sekjen Komnas HAM Asmara Nababan.

    Ke-51 LSM tersebut mengajak masyarakat untuk merapatkan barisan dan menyelamatkan reformasi total, yakni dengan mengadili penjahat politik Orde Baru, menghapus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), membubarkan Dwifungsi TNI dan sistem teritorialnya, serta mengadili Soeharto dan kroninya.

    Selain LSM di atas, lainnya adalah AJI, Bina Desa, Fakta, LBH Jakarta, YLBHI, Kontras, ISJ, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Yayasan Nadi, Urban Poor Consortium, Forsola, Yayasan Komunikasi PGI, Pijar, LPIST, LSAF, Pasticide Action Network, Komnas Perempuan, Lentera, Kalyanamitra, Mitra Perempuan, Front Aksi Perempuan Indonesia, Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan, Kelompok Perempuan Salsabila, Koalisi Perempuan Indonesia, dan Lapmi.

    Selain itu ada pula TAH Irja, Tapak Ambon, Yasanti Yogyakarta, Yayasan Bimbingan Kesejahteraan Sosial Solo, Yayasan Alfa Omega Kupang, Yappika, YPMD Papua, Yayasan Geni Nastiti, Yayasan Swagiri Bogor, Yayasan Pengembangan Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Hidup Papua, Flower Aceh, dan Forum LSM Aceh.

    GD

    GUS DUR TELAH DIJATUHKAN, TETAPI PERJUANGAN MELAWAN ORBA JALAN TERUS

    (Oleh : A. Umar Said)

    Adalah wajar sekali bahwa berita tentang dijatuhkannya Gus Dur oleh Sidang Istimewa MPR dari kedudukannya sebagai Presiden RI pada tanggal 23 Juli tahun 2001 ini diterima dengan berbagai macam perasaan oleh banyak orang, baik yang di tanah-air maupun yang di luarnegeri. Demikian juga dengan naiknya Megawati sebagai Presiden RI yang kelima. Sebab, peristiwa ini adalah peristiwa yang akan mempunyai dampak besar kepada perjalanan sejarah bangsa Indonesia di kemudian hari.

    Tulisan singkat kali ini bukanlah dimaksudkan untuk menceritakan kembali secara detail tentang sejarah hiruk-pikuk atau perdebatan yang terjadi selama berbulan-bulan sekitar asal mula - atau proses yang “ruwet” - mengenai pertentangan antara Gus Dur dengan musuh-musuh politiknya. Tetapi, dimaksudkan untuk mengajak para pembaca mencoba melihat persoalan-persoalannya dari segi yang lain, dan juga merenungkan hal-hal yang mungkin terjadi di kemudian hari. Adalah penting sekali bagi kita semua untuk memikirkan bersama-sama, tentang apa saja yang bisa - dan perlu - dilakukan oleh seluruh kekuatan pro-demokrasi dan pro-reformasi dalam menghadapi situasi yang baru, sejak dijatuhkannya Gus Dur dari kedudukannya sebagai kepemimpinan nasional.

    Tanpa berpanjang-panjang lagi, kiranya bisalah dirumuskan secara singkat dan sederhana, bahwa, pada intinya, latar-belakang dasar pertentangan antara Gus Dur dkk dengan lawan-lawan politiknya, adalah pertentangan antara gerakan pro-demokrasi/reformasi melawan kekuatan Orde Baru. Dengan apa yang terjadi tanggal 23 Juli yang lalu, nyatalah dengan jelas bahwa dalam pertentangan ini, gerakan pro-demokrasi dan pro-reformasi, yang dalam berbagai hal diwakili oleh Gus Dur, telah dikalahkan dalam pertempuran, untuk kali ini (!).

    PERANG MELAWAN ORDE BARU JALAN TERUS

    Bagi seluruh kekuatan pro-reformasi, perlu diyakini bahwa kekalahan dalam pertempuran kali ini, bukanlah akhir perjuangan. Perjuangan melawan sisa-sisa kekuatan Orde Baru adalah sesuatu yang terpaksa dilakukan dan harus (!!!) dilakukan terus oleh berbagai komponen bangsa, kalau kita ingin menyelamatan kehidupan kita sebagai bangsa dari segala penyakit parah dan kerusakan-kerusakan besar, yang telah dibikin oleh Orde Baru/GOLKAR selama lebih dari 32 tahun. Diteruskannya perlawanan terhadap sisa-sisa Orde Baru adalah sesuatu yang tidak terhindarkan, apalagi setelah Gus Dur dijatuhkan oleh aliansi yang pada dasarnya adalah terdiri dari kekuatan-kekuatan yang didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang anti-reformasi.

    Dilihat dari satu sisi, bisalah kiranya diterima anggapan sejumlah orang (yang terdapat di berbagai kalangan dan komponen masyarakat) bahwa dijatuhkannya Gus Dur dari kedudukannya sebagai presiden, merupakan set-back (kemunduran) bagi barisan pro-reformasi. Kemunduran ini bisa menimbulkan berbagai akibat buruk. Tetapi, dari sisi lain, perlulah juga direnungkan tentang benarnya pendapat bahwa “kemenangan” aliansi kekuatan anti-reformasi kali ini, juga mempunyai berbagai hikmah, yang pada akhirnya, akan menguntungkan perjuangan gerakan pro-reformasi. Kalimat ini bukan sekedar sesuatu yang berbunyi muluk-muluk dan berbau slogan kosong dan bombastis saja. Bukan pula untuk sekadar menghibur diri atau menenteramkan hati para pejuang reformasi, yang mungkin, untuk sementara, terlalu kecewa dengan apa yang terjadi akhir-akhir ini

    Sejarah akan membuktikan – dan mungkin tidak lama lagi !!! - kebenaran tentang berbagai “hikmah” yang diantarkan oleh kemenangan (sementara!) aliansi berbagai kekuatan anti-reformasi, yang mereka bangun sejak jauh sebelum terjadinya Sidang Istimewa MPR. Salah satu di antara hikmah-hikmah itu adalah munculnya kenyataan – dan secara jelas pula – bahwa sisa-sisa kekuatan Orde Baru masih kuat sekali. Seperti kita saksikan bersama, sisa-sisa kekuatan Orde Baru ini bukan saja termanifestasi dalam DPR dan MPR, melainkan juga di Mahkamah Agung, dalam aparat-aparat pemerintahan (terutama TNI dan Polri), dan bahkan juga dalam media massa (cetak atau elektronik) dan di kalangan “elite” berbagai komponen bangsa. Kenyataan ini sangat berguna bagi seluruh kekuatan pro-reformasi - tidak peduli dari kalangan yang mana pun juga – untuk selanjutnya mengatur barisan masing-masing dan mengelola perjuangan-bersama ini lebih baik lagi dari pada yang sudah-sudah. Sebab, hukum perkembangan secara objektif sudah “memerintahkan” atau “mengharuskan” adanya perjuangan terhadap sisa-sisa kekuatan Orde Baru ini (tentang soal ini ada tulisan tersendiri). Apapun dan siapapun, fihak yang manapun, tidak akan bisa menghalangi timbulnya perlawanan ini, yang tentunya akan mengambil berbagai cara dan bentuk, sesuai dengan situasi yang memungkinkan.

    APAKAH SITUASI AKAN LEBIH BAIK BAGI REFORMASI ?

    Hikmah lainnya adalah akan munculnya bukti-bukti yang nyata, dan secara jelas pula tidak lama lagi (!), bahwa di bawah pemerintahan Megawati, yang hasilnya akan tetap merupakan “kompromi” (bahasa kasarnya : persekongkolan) yang dibarengi sekaligus oleh pertentangan-pertentangan kepentingan antara berbagai kekuatan anti-reformasi, banyak penyakit parah yang diwariskan oleh sistem politik dan kultur Orde Baru, tidak akan mudah dan secara cepat dibrantas. KKN akan berjalan terus, penegakan hukum akan menjadi omong-kosong saja, koruptor-koruptor kakap bahkan akan tetap lengggang-kangkung dan senyum-senyum aman saja, kebebasan demokratis akan dibatasi (untuk tidak mengatakan “dicekek”), pelanggaran HAM akan tetap muncul dimana-mana. (Tentang soal ini akan ada tulisan tersendiri)

    Bahkan, ada kemungkinan yang besar sekali, bahwa karena kompromi-kompromi yang dilakukan oleh Megawati terhadap berbagai kepentingan sisa-sisa kekuatan Orde Baru, maka Megawati dkk menjadi “tawanan” yang lebih menyedihkan lagi dari pada Gus Dur. Gus Dur, yang sejak permulaan pemerintahannya terpaksa mengadakan kompromi-kompromi terhadap berbagai kekuatan Orde Baru, akhirnya telah menjadi korban. Tanpa memasuki secara panjang lebar lagi berbagai kesalahan dan “kelemahan” Gus Dur, maka jelaslah bahwa Gus Dur telah dijatuhkan oleh operasi terbuka dan tertutup anasir-anasir pro-Orde Baru atau koruptor-koruptor dan pelanggar HAM (terutama dari TNI-AD). Gus Dur dijatuhkan, karena banyak langkah-langkahnya yang tidak menguntungkan mereka itu semuanya.

    Adalah sayang sekali kalau Megawati yang tadinya diharapkan oleh banyak orang - terutama rakyat kecil dan mereka yang pernah diperlakukan secara tidak adil selama lebih dari 32 tahun oleh Orde Baru - untuk mengadakan pembaruan-pembaruan terhadap kerusakan-kerusakan parah di berbagai bidang kehidupan bangsa, nantinya akan tunduk (atau bahkan bersekutu) dengan kekuatan-kekuatan yang selama 32 tahun sudah membuktikan diri mereka sebagai kekuatan-kekuatan yang anti-rakyat, anti-demokrasi, tidak berperi-kemanusiaan, korup dan busuk, yang terdapat dalam lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan judikatif.

    Perkembangan akhir-akhir ini sudah menunjukkan tanda-tanda ke arah itu. Dan perkembangan ini telah membawa hikmah lainnya yang penting, yaitu terjadinya kristalisasi dan penyaringan. Kristalisasi akan terus terjadi dimana-mana, baik di PDI-P, maupun di partai-partai lain, dan juga di kalangan komponen-komponen bangsa lainnya (termasuk di kalangan yang tadinya memperjuangkan reformasi). Krisis multi-dimensional besar dan parah yang dihadapi oleh pemerintahan Megawati (yang sebagian besar diwariskan oleh Orde Baru) adalah banyak sekali. Tidak lama lagi akan nyatalah bagi banyak orang, bahwa adalah ilusi besar saja, kalau menganggap bahwa lewat persekutuan dengan golongan-golongan pro-Orde Baru, perbaikan-perbaikan mendasar bisa diciptakan. Bahkan sebaliknya!

    Singkatnya, selama sisa-sisa Orde Baru masih kuat bercokol dalam DPR, MPR, Mahkamah Agung dan lembaga-lembaga peradilan lainnya, serta dalam aparat-aparat pemerintahan, dan kalau pemerintahan di bawah Megawati tidak berani melawan kekuatan-kekuatan ini, maka situasi tidak akan mungkin bisa diperbaiki, karena reformasi tidak akan jalan. Sebab, latar-belakang persoalan yang paling pokok adalah yang berikut : sisa-sisa Orde Baru adalah pada dasarnya penentang reformasi! (soal ini akan ada tulisan tersendiri). Reformasi yang sungguh-sungguh, hanya bisa dilaksanakan dengan menghancurkan kekuatan sisa-sisa Orde Baru, yang masih terwakili secara nyata oleh Golkar, dan juga yang sedang menelusup di berbagai partai dan golongan (termasuk dalam kalangan militer). BAGAIMANA PERJUANGAN REFORMASI SELANJUTNYA?

    Menghadapi situasi sesudah jatuhnya Gus Dur dan naiknya Megawati sebagai presiden, amat wajarlah kiranya bahwa banyak orang di kalangan barisan pro-reformasi yang memikirkan tentang sikap apa yang harus diambil dan apa yang selanjutnya harus dikerjakan bersama-sama. Ada yang berpendapat bahwa apa pun yang terjadi, adalah tugas seluruh kekuatan pro-reformasi untuk mendorong terus berkembangnya kekuatan masyarakat madani (civil society), bersama-sama membantu makin kuatnya LSM atau Ornop di berbagai bidang, mendukung makin maraknya gerakan-gerakan rakyat (mahasiswa, buruh, tani, pemuda, perempuan, pengusaha kecil, ex-tapol dll dll). Pendapat ini benar.

    Sebab, kita sudah sama-sama menyaksikan, dengan pedih hati pula, bahwa rakyat sudah tidak boleh lagi menggantungkan harapan HANYA dan MELULU kepada DPR, partai-partai politik, dan pemerintah saja. Praktek-praktek yang terjadi selama Orde Baru, yang juga muncul akhir-akhir ini, membuktikan dengan jelas, bahwa kebanyakan di antara para “elite” itu tidak mengurusi kepentingan rakyat, melainkan hanya mengutamakan kepentingan diri masing-masing atau golongan masing-masing. Masyarakat madani, Ornop atau berbagai gerakan-gerakan extra-parlementer, adalah senjata atau wahana yang amat penting bagi rakyat, dalam membela kepentingan mereka atau menyuarakan aspirasi mereka.

    Di kemudian hari, adalah sudah semestinya kalau seluruh kekuatan pro-reformasi mendukung politik atau program pemerintahan di bawah Megawati yang jelas-jelas menguntungkan pelaksanaan reformasi di berbagai bidang. Langkah-langkahnya untuk menjaga kebebasan demokratis dan memperkuat perlindungan HAM juga perlu dibela bersama-sama. Segala usaha beraninya untuk membrantas KKN tanpa pandang bulu perlu didorong terus, demikian juga politiknya untuk menegakkan hukum demi kepentingan umum, dan memperbaiki kehidupan rakyat. Tentunya, kita semua mengharapkan bahwa pemerintahan di bawah Megawati akan bisa melaksanakan itu semua, demi kepentingan rakyat dan negara. Tetapi, pertanyaannya, adalah : apakah pemerintahannya mau dan bisa melaksanakannya?

    Sebab, kalau tidak, atau kalau yang dilakukan bahkan bertentangan dengan apa yang menjadi harapan begitu banyak orang, maka tidak ada jalan lain bagi seluruh kekuatan pro-reformasi kecuali melakukan perlawanan sekuat-kuatnya dan sebisa mungkin, dalam berbagai bentuk dan cara. Untuk menghadapi situasi yang buruk yang mungkin saja akan terjadi di masa depan, sudah benarlah bahwa sejak sekarang kekuatan pro-reformasi mulai mempersiapkan barisan, menyediakan payung dan “tameng”. (tentang soal ini ada tulisan tersendiri).

    Singkatnya, bagi seluruh gerakan pro-reformasi, perjuangan masih bisa dan perlu diteruskan bersama-sama, dalam situasi baru sekarang ini. Dalam perjuangan bersama ini, mungkin akan diperlukan aliansi baru, untuk menghadapi lawan-lawan baru pula, dan mungkin juga dengan cara-cara dan program baru. Situasi sudah berobah, dan akan berobah terus. Tetapi perjuangan utama akan tetap sama, yaitu menghancurkan sisa-sisa kekuatan Orde Baru. Sebab, hanya dengan menghancurkan sisa-sisa kekuatan yang selama 32 tahun telah membikin kerusakan, penderitaan, dan kebusukan itulah Indonesia Baru akan bisa dibangun. Jalan lain tidak ada.

    Tempat Download Gratis

     

    Eson Grisee Copyright © 2009 Community is Designed by Bie