25 January 2009

    Saling Menghargai itu penting

    ISLAM DAN HAM (Hak Asasi Manusia)

    Pada hakekatnya Islam tidak bertentangan dan Hak Asasi Manusia, ia bahkan sangat menghormati hak dan kebebasan manusia. Jika prinsip-prinsip dalam al-Qur’an disarikan maka terdapat banyak poin yang sangat mendukung prinsip universal hak asasi manusia. Prinsip-prinsip itu telah dituangkan dalam berbagai pertemuan umat Islam se-dunia.
    Membicarakan sekaligus mensosialisasikan Hak Asasi Manusia (HAM) selalu penting. Dan ia menjadi semakin penting ketika realitas sosial kita tengah memperlihatkan wajah-wajah yang tidak lagi menghargai martabat manusia, seperti yang banyak terlihat pada saat ini di banyak tempat di dunia ini, dan lebih khusus lagi di negeri kita tercinta.
    Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri setiap orang sejak ia dilahirkan. Ia berlaku universal (berlaku bagi semua orang di mana saja dan kapan saja). Hak ini merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Karena sifatnya yang demikian, maka tidak ada kekuatan apapun yang bisa mengurangi atau mencabut hak tersebut.
    Pertanyaan yang sering muncul berkaitan dengan isu ini adalah apakah Islam sejalan dengan HAM?. Apakah HAM adalah produk Barat dan dengan missi Barat yang non muslim?.
    Membaca sumber Islam paling otoritatif : al Qur-an akan banyak ditemukan teks-teks yang menjelaskan penghargaan dan penghormatan terhadap manusia. Beberapa di antaranya adalah :
    “Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka di daratan dan lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik serta Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan ciptaan Kami”.(Q.S. al Isra, 70).
    Al Qur-an juga menyebutkan tentang kesetaraan manusia : “Wahai manusia Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa kepada-Nya”.(Q.S. al Hujurat, 13).
    Dua ayat di atas dan masih banyak lagi teks-teks yang lain menjelaskan tentang kemuliaan dan kesetaraan martabat manusia tanpa melihat latarbelakang asal usulnya, warna kulit, jenis kelamin bahasa dan sebagainya. Ini adalah konsekwensi logis dari doktrin Kemahaesaan Allah. Semua manusia dengan berbagai latarbelakangnya itu pada ujungnya berasal dari sumber yang tunggal ciptaan Tuhan. Keunggulan yang dimiliki manusia satu atas manusia yang lain hanyalah pada aspek kedekatannya dengan Tuhan.
    Pernyatan paling eksplisit lainnya mengenai kesetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dinyatakan dalam al Qur-an surah al Ahzab, 35 : “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memlihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyedikan ampunan dan pahala yang besar”. Demikian juga dalam al Nahl, 97, Ali Imran, 195, al Mukmin 40, dan lain-lain.
    Pernyataan-pernyataan al Qur-an dan hadits Nabi saw. di atas selanjutnya menjadi dasar Nabi saw untuk mendeklarasikan apa yang dikenal dengan “Shahifah Madinah”, “Mitsaq al Madinah” atau Piagam Madinah, pada tahun 622 M. Isinya meliputi kesepakatan-kesepakatan tentang aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat Madinah. Para ahli sejarah menyatakan bahwa Piagam Madinah ini adalah naskah otentik yang tidak diragukan keasliannya. Sebagian menyatakannya sebagai deklarasi HAM pertama di dunia. (Isi lengkap Shahifah/Piagam Madinah dapat dibaca di lampiran).
    Pesan-pesan kemanusiaan Islam yang diungkap dalam begitu banyak teks-teks suci Islam di atas kemudian diformulasikan secara sangat mengesankan oleh Imam Abu Hamid Al Ghazali (w. 1111 M) dan dikembangkan lebih lanjut oleh antara lain Abu Ishaq al Syathibi (w. 790 H). Al Ghazali, pemikir muslim sunni klasik terbesar mengatakan bahwa tujuan agama adalah kesejahteraan sosial (kemaslahatan). Al Ghazali selanjutnya menjelaskan : “kemaslahatan menurut saya adalah mewujudkan tujuan-tujuan agama yang berisi lima bentuk perlindungan. Yaitu perlindungan terhadap ; agama (hifzh al din), jiwa (hifzh al nafs), akal-pikiran (hifzh al ‘aql), keturunan (hifzh al nasl) dan harta benda (hifzh al maal). Segala cara yang dapat menjamin perlindungan terhadap lima prinsip ini adalah kemaslahatan dan mengesampingkannya adalah kerusakan (mafsadah), menolak kerusakan adalah kemaslahatan” (Al Mustashfa min Ilm al Ushul, I, 286).
    Apa yang diformulasikan Imam al Ghazali sebagai tujuan agama (maqashid al Syari’ah) tersebut tidak lain merupakan ringkasan belaka dari prinsip-prinsip kemanusiaan dalam Islam yang berarti kalau di kontekstualkan pada zaman sekarang berarti menggunakan istilah yang populer yaitu HAM.
    Deklarasi Kairo (Cairo Declaration)
    Isu tentang HAM tidak lepas dari perhatian ummat Islam, apalagi mayoritas negara-negara Islam adalah tergolong dalam barisan negara-negara dunia ketiga yang banyak merasakan ketidakadilan negara-negara Barat dengan atas nama HAM. Dalam pandangan negara-negara Islam HAM barat tidak sesuai dengan ajaran Islam yang telah ditetapkan Allah SWT. Berkaitan dengan itu, negara-negara Islam yang tergabung dalam organization of the Islamic Confrence (OIC/OKI) pada tanggal 5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi tentang kemanusiaan sesuai syari’at Islam di Kairo.
    Konsep hak-hak asasi manusia hasil rumusan negara-negara OKI, berisi 24 pasal tentang hak asasi manusia berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah (hadits Nabi) yang dalam penerapan dan realitasnya memiliki beberapa persamaan dengan pernyataan semesta hak-hak asasi manusia (The Universal Declaration of Human Rights/UDHR) yang dideklarasikan oleh PBB tahun 1948.
    Berikut ini pasal-pasal yang terdapat dalam deklarasi Kairo, antara lain :
    1) Hak persamaan dan kebebasan
    Pasal ini berdasarkan pada :
     Surat Al-Israa’ ayat 70 (hijrah Nabi Dari Makkah ke Madinah, Piagam Madinah)
     Surat An-Nisaa’ ayat 58, 105, 170, 135 (Keadilan Gender)
     Surat Al Mumtahanah ayat 8
    2) Hak hidup
    Pasal ini berdasarkan :
     Surat Al-Maidah ayat 45
     Surat Al-Isra’ ayat 33
    3) Hak memperoleh perlindungan
    Pasal ini berdasarkan :
     Surat Al-Balad ayat 12-17
     Surat A-Taubah ayat 6
    4) Hak kehormatan pribadi
    Pasal ini berdasarkan :
     Surat At-Taubah ayat 6
    5) Hak menikah dan berkeluarga
    Pasal ini berdasarkan :
     Surat Al-Baqoroh ayat 221
     Surat Ar-Ruum ayat 21
     Surat An-Nisaa’ ayat 1
     Surat At-Tahrim ayat 6
    6) Hak wanita sederajat dengan pria
    Pasal ini berdasarkan :
     Al-Baqoroh ayat 228
    7) Hak-hak anak dari orang tua
    Pasal ini berdasarkan :
     Surat Al-Baqoroh ayat 233
     Surat Al-Israa’ ayat 23-24
    8) Hak memperoleh pendidikan dan berperan serta dalam perkembangan ilmu pengetahuan
    Pasal ini berdasarkan :
     Surat At-Taubah ayat 122
     Surat Al-Alaq ayat 1-5
    9) Hak kebebasan memilih agama
    Pasal ini berdasarkan :
     Surat Al-Baqoroh ayat 256
     Surat Al-Kahfi ayat 29
     Surat Al-Kafiruun ayat 1-6
    10) Hak kebebasan bertindak dan mencari suaka
    Pasal ini berdasarkan :
     Surat An-Nisa’ ayat 97
     Surat Al-Mumtahanah ayat 9
    11) Hak-hak untuk bekerja
    Pasal ini berdasarkan :
     Surat At-Taubah ayat 105
     Surat Al-Baqoroh ayat 286
     Surat Al-Mulk ayat 15
    12) Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama
    Pasal ini berdasarkan :
     Surat Al-Baqoroh ayat 275-278
     Surat An-Nisaa’ ayat 161
     Surat Ali Imron ayat 130
    13) Hak milik pribadi
    Pasal ini berdasarkan :
     Surat Al-Baqoroh ayat 29
     Surat An-Nisaa’ 29
    14) Hak menikmati hasil atau produk ilmu
    Pasal ini berdasarkan :
     Surat Al-Ahqof ayat 19
     Surat Al-Baqoroh ayat 164
    15) Hak tahanan dan narapidana
    Pasal ini berdasarkan :
     Surat Al-Mumtahanah ayat 8.
    Adalah menarik untuk mengemukakan sebuah deklarasi Hak Asasi yang dikeluarkan di Kairo pada tahun 1990. Deklarasi kairo ini merupakan dokumen hak asasi manusia di tingkat regional yang secara khusus ditujukan buat negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam atau OKI. Dengan statusnya yang demikian deklarasi ini bukan merupakan pengganti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), melainkan dapat melengkapinya dengan semangat yang sama. Karena itu ia merupakan deklarasi Hak Asasi Manusia menurut Islam.
    Ketentuan itu jelas merupakan langkah maju yang sungguh menggembirakan. Ini mengingat bahwa subyek ini masih masih menjadi kontroversi di kalangan kaum muslimin sampai hari ini.
    Deklarasi Kairo juga memperlihatkan kemajuan yang lain di mana perempuan memiliki kebebasan untuk memperoleh hak-haknya yang selama ini dalam ajaran-ajaran Islam perempuan selalu menjadi warga muslim muslim kelas 2(dua), karena memang selama ini budaya-budaya patriarki masih mengakar dalam masyakarat muslim.
    Masih banyak negeri-negeri muslim yang telah melakukan ratifikasi atas deklarasi Universal HAM, yang dikumandangkan oleh perserikatan bangsa-bangsa (PBB) dalam tahun 1948 dalam deklarasi itu, Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa Hak-hak Asasi Manusia menurut DUHAM antara lain mencakup:
    1. Hak persamaan dan kebebasan dari diskriminasi jenis apapun
    2. Hak untuk kehidupan kemerdekaan dan keamanan pribadi
    3. Hak atas kebebasan dari penganiayaan dan perlakuaan merendahkan
    4. Hak persamaan di depan hukum dan hak untuk mendapatkan keadilan
    5. Hak atas kebebasan keyakinan dan agama
    6. Hak ikut dalam pemerintahan
    7. Hak untuk bekerja
    8. Hak untuk memiliki standar kehidupan yang cukup untuk kesehatan dan kesejahteraan
    9. Hak untuk memperoleh pendidikan
    Sudah tercantum dengan jelas bahwa berpindah agama adalah Hak Asasi Manusia. Dan hak berpindah agama tersebut juga disebut di salah satu butir deklarasi Kairo tantnag perpindahan agama. Padahal fiqh/hukum Islam sampai hari ini masih berpegang pada ketentuan, bahwa berpindah dari agama Islam ke agama lain adalah tindak kemurtadan (apostasy), yang patut dihukum mati. Kalau ini diberlakukan di negeri kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang berpindah agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965, haruslah dihukum mati. Adapatkah hal itu dilakukan? Sebuah pertanyaan yang tidak akan ada jawabnya, karena jika hal itu terjadi merupakan kenyataan yang demikian besar yang mengguncang perasaan kita.
    Dengan demikian, mau tidak mau kita harus menemukan mekanisme untuk merubah ketentuan Fiqh/hukum Islam, yang secara formal sudah berabad-abad diikuti. Tetapi disiilah terletak kebesaran Islam, yang secara sederhana menetapkan keimanan kita hanya kepada Allah dan utusan-Nya sebagai sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Beserta beberapa hukum muhkamat lainnya, kita harus memiliki keyakinan akan kebenaran hal itu. Apabila yang demikian itu juga dapat diubah-ubah maka hilanglah ke-Islaman kita.
    Sebuah contoh menarik dalam hal ini tentang perbudakan (slaves), yang justru banyak menghiasi al-Qur’an dan al-Hadits (tradisi kenabian). Sekarang, perbudakan dan sejenisnya tidak diakui lagi oleh bangsa muslim manapun, hingga secara tidak terasa ia hilang dari perbendaharaan pemikiran kaum muslimin. Praktek-praktek perbudakan, kalau pun masih ada, tidak diakui lagi oleh negeri muslim manapun dan paling hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok muslimin yang kecil tanpa perlindungan negara. Dalam jangka waktu yang tidak lama lagi, praktek-praktek semacam itu akan hilang dengan sendirinya.
    Sebagai muslim kita harus mampu melihat dari berbagai macam sudut, dalam hal ini kepada mereka yang mengalami kontroversi ke agama lain. Ini merupakan keharusan, kalau kita ingin Islam dapat menjawab tantangan masa kini dan masa depan. Firman Allah Swt dalam al-Qur’an, “semuanya akan binasa dan yang tetap hanya Dzat Tuhanmu (kullu man ‘alayha fanin. Wa yabqo wajhu rabbika)” (QS. Ar-Rahman [55]: 26-27) menunjukkan hal itu dengan jelas ketentuan ushul fiqh (Islamic legal theory) “hukum agama sepenuhnya tergantung kepada sebab-sebabnya, baik ada ataupun tidak adanya hukum itu sendiri (al-hukmu yaduru ma’a’illatihi wujudan wa’ adaman)” jelas menunjuk kepada kemungkinan perubahan diktum itu.
    Reinterpretasi Teks
    Pertanyaan-pertanyaan di atas sudah seharusnya dijawab dengan tenang dan tidak emosional. Pertama, dengan menegasikan (menafikan) bentuk-bentuk diskriminasi antar manusia, termasuk dalam hal relasi. Ini karena diskriminasi bertentangan dengan prinsip Tauhid (Ke-Esaan Tuhan). Kedua, dengan menghindarkan kontradiksi-kontradiksi dalam teks-teks suci. Hal ini karena al Qur-an sendiri menyatakan : “la ya’tihi al bathilu min baini yadaihi wa la min khalfih, tanzilun min hakimin hamid/yang tidak datang kepadanya (al Qur-an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana, Maha Terpuji”.(Q.S. fusshilat, 42). Demikian pula hadits-hadits Nabi Muhammad saw.
    Oleh karena itu cara terbaik untuk itu semua adalah dengan membaca kembali teks-teks suci ; al Qur-an dan hadits Nabi saw. maupun teks-teks kitab klasik karangan para ulama melalui cara-cara yang memungkinkan kita untuk mampu mengatasi keadaan yang tampaknya saling bertentangan terebut di atas. Beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan antara lain adalah : pertama, memandang seluruh teks-teks al Qur-an maupun Hadits Nabi saw. sebagai kitab-kitab petunjuk bagi manusia untuk mencapai suatu tujuan yang tidak lain adalah mewujudkan kerahmatan (kasih sayang dan cinta) bagi seluruh manusia. Tujuan ini secara jelas dikemukakan dalam al Qur-an : “wa ma arsalnaka illa rahmatan li al ‘alamin/Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) kecuali agar menjadi rahmat bagi alam semesta”.
    Di samping tujuan tersebut seluruh keputusan hukum perlu mengacu pada maksud hukum itu sendiri (maqashid al syari’ah). Para ulama Islam, khusunya para ahli fiqh, sepakat dalam pernyataan mereka bahwa teks (nash) baik al Qur-an maupun hadits memiliki dua sisi makna, makna tersurat dan makna tersirat. Dalam teks ada ruh, jiwa, spirit atau semangat. Semuanya ini adalah sesuatu yang hidup dan abadi. Di atas landasan ini pemaknaan atas teks harus dibuat. Tujuan-tujuan ini harus menjadi landasan utama bagi setiap tindakan manusia baik dalam hubungan antar pribadi maupun dalam hubungan sosial dan kemanusiaan.
    Sejalan dengan pemikiran inilah, para ulama Islam menuangkan jiwa syari’at itu dalam bahasa hukum yang berbeda-beda sesuai dengan konteksnya masing-masing. Untuk konteks kita sekarang agaknya perlu ditelaah kembali apakah keputusan hukum yang dihasilkan para imam mujtahid di masa lalu dan di tempat mereka masing-masing masih relevan untuk mendukung tujuan tersebut, mengingat kondisi dan situasinya yang berbeda. Jika ia tidak lagi menunjukkan ruh kemaslahatan tersebut, maka kita perlu mencarinya atau membuat redaksi hukum yang relevan dengan ruh syari’ah tersebut.
    Kedua, teks-teks yang mengungkapkan tentang hubungan kemanusiaan yang masih timpang, termasuk ketimpangan yang terjadi dalam relasi interaksi perilaku sosial kemasyarakatan, perlu dilihat dari latarbelakang sejarahnya. Setiap teks yang secara redaksional menunjuk pada kasus atau peristiwa tertentu.
    sesungguhnya tidak bisa lepas dari setting sejarah dan konstruksi sosial pada saat teks tersebut diturunkan atau disampaikan. Ini juga terjadi dalam teks-teks partikulatif dalam al Qur-an maupun hadits nabi saw. Soal relasi yang masih menunjukkan adanya ketimpangan dalam relasi laki-laki dan perempuan, seperti yang terdapat dalam al Qur-an dan al Sunnah tidak selamanya difahami menurut makna literalnya. Teks-teks tersebut benar adanya, akan tetapi perlu difahami sebagai cara reformasi bertahap dari sejarah sosial waktu itu. Dalam arti lain ketentuan-ketentuan yang ada dalam al Qur-an mengenai posisi manusia yang tidak sejajar, menurut ukuran manusia tersebut, merupakan upaya maksimal paling arif. Diharapkan sesudah itu ada upaya yang terus menerus oleh generasi sesudahnya untuk melanjutkan proses ke arah tujuan yang hendak dicapai sebagaimana yang menjadi cita-cita Islam. Atau dengan kata lain ia bukan merupakan upaya dan keputusan yang berhenti dan final selama-lamanya..
    Ketiga, untuk keperluan itu pula, perlu dilakukan penelitian kembali terhadap hadits-hadits nabi saw yang bias jender, atau makna-makna yang menunjukkan ketertindasan mereka di hadapan laki-laki. Ini banyak dijumpai dalam literatur klasik kaum muslimin. Satu contoh dapat disebutkan misalnya dalam kitab “Uqud al Lujain”. Kitab ini menguraikan hak-hak dan kewajiban suami dan isteri. Di dalamnya terdapat banyak hadits nabi saw. yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah di hadapan laki-laki, bahkan juga ketertindasan mereka.
    Keempat, pernyataan-pernyataan baik dalam ayat-ayat al Qur-an, hadits-hadits nabi maupun pikiran-pikiran para ulama mengenai suatu persoalan tentu mengandung logika rasional, logika hukum atau logika kepentingan, mengapa, untuk apa dan ada rahasia apa pernyataan itu perlu dikeluarkan. Dalam bahasa fiqh logika hukum tersebut dikenal dengan ‘illat’ dan hikmah. Jadi ada aspek kausalitas di dalamnya. Melalui penelitian atas aspek ini perubahan bisa dilakukan. Kaedah fiqh misalnya menyebutkan: “al hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman/hukum ditetapkan berdasarkan illat (rasio legis/kausalitas) nya”. Hal ini berkaitan dengan fakta-fakta dan realitas-realitas yang menyertai teks-teks tersebut. Jadi perlu upaya kita melakukan penelitian ilmiyah baik berdasarkan logika rasional maupun berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan. Sulit untuk dapat ditolak bahwa realitas-realitas atau peristiwa-peristiwa kehidupan selalu berkembang dan berubah. Keniscayaan perkembangan dan perubahan ini dengan begitu meniscayakan pula perubahan keputusan-keputusan. Al Syahrastani pernah mengatakan dalam bukunya “al Milal wa al Nihal” : “al nushush idza kanat mutanahiyah wa al waqai’ ghair mutanahiyah wa ma la yatanaha la yadhbathuhu ma yatanaha … ‘ulima qath’an anna al ijtihad wa al qiyas wajib al I’tibar hatta la yakunu bi shadadi kulli haditsatin ijtihad/jika teks-teks terbatas dan kasus-kasus tidak terbatas, dan yang terbatas tidak bisa dirumuskan oleh yang tidak terbatas, maka jelas sekali harus dipahami bahwa ijtihad dan qiyas (analogi) merupakan hal yang harus dipertimbangkan, sehingga setiap kasus dapat dijawab oleh ijtihad (upaya pencarian intelektual yang serius)”.
    Akhirnya terpulang kepada kita, kaum muslimin, apakah kita mempunyai kemauan dan keberanian untuk melakukan upaya-upaya rekonstruksi dan reinterpretasi atas pikiran-pikiran kegamaan kita ke arah yang lebih baik dan lebih maslahat untuk konteks kekinian dan kedisinian kita, atau akan membiarkannya tetap dalam keadaan stagnan dan ditinggalkan oleh realitas-realitas sosial baru yang terus bergerak dinamis.
    Apa yang kita perlukan sekarang adalah menciptakan ruang sosial baru yang memungkinkan perempuan dapat mengaktualisasikan dirinya di mana saja dengan tetap terjaga dan aman dari tindakan-tindakan yang merendahkannya. Untuk itu perlu dirumuskan hukum-hukum yang dapat menjaminnya. Perlu diingat bahwa jumlah perempuan di Indonesia adalah separoh lebih dari jumlah penduduk. Potensi intelektual mereka yang semakin hari semakin meningkat dan semakin besar merupakan potensi besar bagi pembangunan bangsa. Mereka juga memiliki aspirasi dan kepentingan yang tidak bisa diwakili oleh kaum laki-laki. Melalui pandangan kesetaraan hak-hak mereka dan penghargaan yang sama dengan laki-laki diharapkan akan lahir suatu kehidupan yang lebih produktif dan bermutu.
    Menurut Marzuki Darusman bahwa dalam menangani persoalan hak asasi manusia seringkali harus berpaling pada sesuatu yang sudah teruji. Pemajuan hak asasi manusia harus dilakukan di segala bidang kehidupan. Peranan Komnas HAM adalah menciptakan kondisi bagi setiap warga Negara untuk bisa mengejar atau memajukan sekaligus memperjuangkan kepentingannya. Sehingga diharapkan pemajuan hak asasi manusia pada akhirnya memenuhi harapan masyarakat. Namun perlu diingat bahwa Komnas HAM hanya memperjuangkan keleluasaan setiap orang untuk memajukan hak-haknya, dan Komnas HAM tidak bermaksud mengambil alih hak-hak tersebut.
    Sedangkan menurut HS Dillon, mantan Komisioner Komnas HAM, memberi penekanan kepada peserta bahwa dalam menjalankan fungsi dan kerja-kerjanya, Komnas HAM harus menentukan prioritas (priority) dan sekuensnya (sequencing). Kemampuan untuk membuat prioritas dan sekuensnya sangat ditentukan oleh kualitas konsepsi dari komisi itu sendiri. Selain itu, Komnas HAM dituntut untuk mampu untuk melakukan koordinasi dengan semua elemen di masyarakat. Namun yang terpenting adalah Komnas HAM harus mampu untuk terus menerus membangkitkan komitmen para komisionernya.
    Wallahu a’lam bi shawab.

    DAFTAR PUSTAKA
     Muhammad KH. Husein. Artikel http://puskumhamuinjakarta.wordpresscom
     Tim Penyusun Buku Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) Demokrasi, Ham, Masyarakat Madani, IAIN JAKARTA PRESS 2000.
     Abdurrahman Wahid. ISLAMKU ISLAM ANDA ISLAM KITA,. The Wakhid Institute, Jakarta, cetakan kedua, 2007.
     Pernyataan Konklusi tentang Peranan Komnas HAM.pdf http://www.komnasham.go.id/


    Oleh :
    Achmad Fathoni S. Hum

    23 January 2009

    Rasul pun Demokratis

    DEMOKRASI DAN MUSYAWARAH (ISLAM)
    Pada abad kontemporer ini Islam dihadapkan pada berbagai problem, khususnya problem dalam konstitusi negara. Dunia barat menilai bahwa sistem pemerintahan yang ada pada negara-negara Islam saat ini sangat tertinggal. Dalam artian sistem ini tidak berkembang sesuai dengan perkembangan dunia modern. Sudah selayaknya bagi Islam untuk mencoba beradaptasi ataupun mengadopsi sistem demokrasi yang terbukti sangat menjunjung tinggi HAM (hak asasi manusia). Kemudian meminimalkan aksi-aksi ekstrim anarkis beberapa kelompok Islam yang menyebabkan kekacauan dan ketidakstabilan situasi.
    Istilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
    Kata “Demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
    Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan rakyat) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica (montesque) yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
    Berikut ini pandangan sebagian umat muslim yang memandang bahwa, demokrasi bertentangan dengan Islam. [QS: An-Nazi’at: 57] Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik".
    Walaupun dalam banyak hal demokrasi bertentangan dengan agama, tetap terdapat titik singgung yang mempertemukan antara keduanya. Baik agama maupun demokrasi sama-sama menginginkan terciptanya keselarasan hidup manusia dalam suatu tatanan yang saling menghormati. Perbedaan mendasar adalah bahwa agama memiliki klaim absolut atas kebenaran yang didasarkan pada sumber Kitab Suci. Sementara demokrasi tidak mengharuskan adanya koridor paten nilai-nilai yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Akibatnya kebenaran agama seringkali bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, sehingga terciptalah sekat antara agama dan demokrasi. Untuk menyiasati kenyataan ini Gus Dur mencoba mengadakan transformasi nilai-nilai agama. Selanjutnya agama akan meneruskan tranformasinya ke wilayah ekstern. Upaya yang ditempuh adalah mengubah komitmen agama dari hanya bersandar pada teks normatif kepada kepedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Karenanya Gus Dur berusaha untuk mempertemukan nilai-nilai keyakinan antar agama di Indonesia dalam satu titik perjuangan martabat manusia. Ia berusaha menundukkan keyakinan masing-masing agama dalam sebuah tataran baru hubungan antaragama, yang dapat diwujudkan dalam bentuk pelayanan kemanusiaan. Agama menurutnya akan dapat selaras dengan demokrasi jika memiliki watak membebaskan. Islam hadir ke dunia untuk membebaskan manusia dari belenggu ”Jahiliyah”. Islam memberi kebebasan kepada umatnya untuk berkreasi menciptakan peradaban yang lebih manusiawi. Agama apapun sama-sama mengemban misi perbaikan kehidupan umat manusia melalui perubahan struktur masyarakat. Dengan tegas Al-Qur’an menegaskan bahwa Muhammad diutus ke muka bumi untuk memberi rahmat bagi seluruh alam. Membangun kesejahteraan semesta, bukan menindas bangsa-bangsa. Titik temu antara agama dan demokrasi inilah yang harus selalu dikedepankan dalam membangun Indonesia masa mendatang. .potensi nalar agama akan sanggup menopang perjuangan penegakan demokrasi di Nusantara. Sehingga pada gilirannya proses demokratisasi tidak akan kehilangan ruh ketuhanannya. Tidak terjebak dalam budaya menyimpang semacam hedonisme dan materialisme. Kalau kita lihat dari kacamata kemanusiaan bahwa konsep demokrasi merupakan benar-benar memberi pendidikan kepada masyarakat luas tentang. “Nilai-nilai kejujuran, keterbukaan, dan keselarasan”.
    Sebuah peristiwa sejarah pada zaman pemerintahan Giri Kedaton yang melakukan musyawarah untuk membuat keputusan tentang perilaku Syech Siti Jenar yang selalu melakukan oposisi terhadap pemerintahan yang sah.
    Berikut ini para raja serta ulama’ yang mengikuti majlis musyawarah, yang melaksanakan sarasehan (dialog) ilmu roso. Mereka terdiri dari para wali sembilan yang berkumpul di masjid Giri Kedaton ; pengikutnya terdiri para ratu dan para wali lainnya. Diantara yang bicara adalah kanjeng sinuhun Prabu Sat Netra (Sunan Giri), Sunan Bonang Tinari, Sunan Kalijogo, Sunan Ngampel, Sunan Qudus, Seih Siti Jenar, Seih Benung, Pangeran Palembang dan Panembahan Ma’dum.
    Demokrasi sesuai dengan ajaran Islam
    Terlepas dari arti secara harfiah dimana demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari dan untuk rakyat yang memberi kesan bahwa dalam sistem pemerintahan seperti ini rakyat adalah segalanya, demokrasi memiliki esensi yang lebih penting. Esensi penting yang dikandung demokrasi adalah menghapuskan diktator mayoritas dan tirani minoritas yang banyak terkandung dalam sistem pemerintahan lainnya. Demokrasi mengisyaratkan adanya persamaan kedudukan setiap individu. Sehingga dalam negara demokrasi, setiap orang memiliki hak suara yang sama dan berhak untuk didengar. Dalam negara demokrasi seharusnya tidak akan ada pemerintah yang otoriter yang memaksakan kehendaknya atau kehendak golongannya. Setiap warga negara dilindungi haknya oleh negara. Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa demokrasi sesuai dengan ajaran Islam dimana setiap umat manusia adalah sama kedudukannya di mata Allah SWT yang membedakan hanyalah iman dan taqwanya.
    Esensi demokrasi dapat pula kita lihat dari pesta demokrasi atau Pemilu yang diadakan untuk memilih Presiden atau pemimpin suatu negara. Di Indonesia bahkan kini kita telah mulai melaksanakan pemilihan pemimpin pemerintahan tingkat provinsi dan kota. Sistem pemilihan seperti ini sesuai dengan ajaran Islam yaitu sesuai dengan yang telah diajarkan oleh para pendahulu kita dalam pemilihan Khilafah, sejak wafatnya Rasulullah saw. Dan perlu diingat bahwa kekhilafahan Islam runtuh pada jaman Utsmani dimana tidak diterapkannya demokrasi dalam memilih khilafah karena sejak masa pemerintahan Utsmani kekhilafahan Islam diberikan secara turun temurun.
    Demikian dapat kita simpulkan bahwa demokrasi sesuai dengan ajaran Islam bahkan adanya perbedaan pandangan dalam Islam mengenai demokrasi merupakan suatu bentuk demokrasi itu sendiri. Di Indonesia, praktek demokrasi dengan mengutamakan musyawarah mufakat merupakan suatu bukti bahwa negara Indonesia memiliki jati diri dengan menyesuaikan pelaksanaan demokrasi dengan kepribadian bangsa.
    Selain itu musyawarah mufakat juga sesuai dengan ajaran Islam, karena Islam mengutamakan musyawarah dalam mengambil kehidupan yang menyangkut kepentingan orang banyak. Bahkan musyawarah atau syuro memiliki kedudukan tersendiri dalam agama Islam, yakni selain dianjurkan dalam beberapa ayat Al Qur’an, syuro juga dijadikan sebagai salah satu nama surat di Al Qura’an yaitu : sebagai surat ke 42, surat Asy-Syuura [Asy Syuura: ayat 38]. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Mewujudkan negara Indonesia yang demokratis sesuai syari’at Islam harus dimulai dari masyrakat muslim itu sendiri. Umat muslim khususnya umat muslim Indonesia harus menegakkan ajaran Islam dalam setiap bidang kehidupan termasuk pemerintahan. Ajaran Islam yang bersifat universal dan menyeluruh akan menuntun kita dalam mewujudkan negara yang demokratis. Kalau kita perhatikan dalam ormas Islam di Indonesia, khususnya NU (Nahdlatul Ulama’). Kita akan menemukan dewan syura di dalamnya. Ini adalah suatu dewan perwakilan yang fungsinya memberikan arahan-arahan pada ketua. Pemerintahan dalam Islam juga demikian, pembentukan Majelis Syura (Dewan Musyawarah) diperlukan untuk menampung suara-suara masyarakat. Selain itu dewan ini mewakili rakyat dalam pemilihan. Anggota-anggota dari majelis ini dipilih sesuai dengan kapabilitasnya. Mungkin kalau dalam pemerintahan sekarang kita menyebut dengan istilah Wantimpres.
    Dalam Demokrasi khususnya di Indonesia kita tahu kiprah para ulama-ulama kita yang sejak zaman kemerdekaan sudah sepakat dengan sistem demokrasi, dengan meminjam istilah KH Wahab Hasbullah “bersepakat untuk tidak sepakat. Berbeda, tetapi tetap bersaudara” , kita semua tahu bahwa semangat para ulama’ untuk berdemokrasi itu sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad Saw.
    Oleh karena itu, ajaran Islam harus dilaksanakan secara menyeluruh atau kaffah tidak terpisah-pisah atau sekuler. Sebagai contoh pada masa kepemimpinan Rasulullah di Madinah, dengan menegakkan ajaran Islam dalam setiap sendi kehidupan termasuk pemerintahan, umat Islam dan non-Islam dapat hidup berdampingan secara damai dan sejahtera. Kenyataan ini harus diinsyafi pertama kali oleh umat Islam sendiri yang kemudian akan dapat dirasakan manfaatnya oleh umat non-Islam.
    Wallahualam bi showab.
    DAFTAR PUSTAKA
     Ensiklodi dalam website internet http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
     Shihab, M. Quraish Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, Jakarta. Lentera hati.
     http://www.sinarharapan.co.id/ sebuah artikel Gus Dur vs ”Penyakit Nalar Arab” Oleh Syaifullah Amin.
     Fathoni, Nur Achmad Peran Giri Kedaton Bagi Proses Perkembangan Peradaban Islam 1487 – 1680 Masehi (Studi Tentang Sejarah Peradaban), Skripsi S1 di Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, Surabaya, hal 31
     Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, kumpulan pemikiran KH. Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 Republik Indonesia, Epilog : A.S. Hikam, Kompas Gramedia, Jakarta April 2000, hal, 108

    Dialog Menuju Kesepakatan

    Mukadimah
    Dengan nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang "Inilah Piagam Tertulis dari Nabi Muhammad SAW di kalangan orang-orang yang beriman dan memeluk Islam (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib, dan orang-orang yang mengikuti mereka, mempersatukan diri dan berjuang bersama mereka."
    I. Pembentukan Ummat
    Pasal 1
    Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.
    Pasal 2
    Kaum Muhajirin dari Quraisy tetap mempunyai hak asli mereka, saling menanggung, membayar dan menerima uang tebusan darah (diyat) karena suatu pembunuhan, dengan cara yang baik dan adil di antara orang-orang beriman.
    Pasal 3
    Banu 'Awf (dari Yathrib) tetap mempunyai hak asli mereka, tanggung menanggung uang tebusan darah (diyat).
    Dan setiap keluarga dari mereka membayar bersama akan uang tebusan dengan baik dan adil di antara orang-orang beriman.
    Pasal 4
    Banu Sa'idah (dari Yathrib) tetap atas hak asli mereka, tanggung menanggung wang tebusan mereka.
    Dan setiap keluarga dari mereka membayar bersama akan wang tebusan dengan baik dan adil di antara orang-orang beriman.
    Pasal 5
    Banul-Harts (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, saling tanggung-menanggung untuk membayar uang tebusan darah (diyat) di antara mereka.
    Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.
    Pasal 6
    Banu Jusyam (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar wang tebusan darah (diyat) di antara mereka.
    Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman
    Pasal 7
    Banu Najjar (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar wang tebusan darah (diyat) dengan secara baik dan adil.
    Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang beriman.
    Pasal 8
    Banu 'Amrin (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar wang tebusan darah (diyat) di antara mereka.
    Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.
    Pasal 9
    Banu An-Nabiet (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar wang tebusan darah (diyat) di antara mereka.
    Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.
    Pasal 10
    Banu Aws (dari suku Yathrib) berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar wang tebusan darah (diyat) di antara mereka.
    Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.
    III. Persatuan Se-agama
    Pasal 11
    Sesungguhnya orang-orang beriman tidak akan melalaikan tanggung jawabnya untuk memberi sumbangan bagi orang-orang yang berhutang, karena membayar uang tebusan darah dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.
    Pasal 12
    Tidak seorang pun dari orang-orang yang beriman dibolehkan membuat persekutuan dengan teman sekutu dari orang yang beriman lainnya, tanpa persetujuan terlebih dahulu dari padanya.
    Pasal 13
    Segenap orang-orang beriman yang bertaqwa harus menentang setiap orang yang berbuat kesalahan , melanggar ketertiban, penipuan, permusuhan atau pengacauan di kalangan masyarakat orang-orang beriman.
    Kebulatan persatuan mereka terhadap orang-orang yang bersalah merupakan tangan yang satu, walaupun terhadap anak-anak mereka sendiri.
    Pasal 14
    Tidak diperkenankan seseorang yang beriman membunuh seorang beriman lainnya karena lantaran seorang yang tidak beriman.
    Tidak pula diperkenankan seorang yang beriman membantu seorang yang kafir untuk melawan seorang yang beriman lainnya.
    Pasal 15
    Jaminan Tuhan adalah satu dan merata, melindungi nasib orang-orang yang lemah.
    Segenap orang-orang yang beriman harus jamin-menjamin dan setiakawan sesama mereka daripada (gangguan) manusia lain
    IV. Persatuan Segenap Warga Negara
    Pasal 16
    Bahwa sesungguhnya kaum-bangsa Yahudi yang setia kepada (negara) kita, berhak mendapatkan bantuan dan perlindungan, tidak boleh dikurangi haknya dan tidak boleh diasingkan dari pergaulan umum.
    Pasal 17
    Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu
    Tidak diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka.
    Pasal 18
    Setiap penyerangan yang dilakukan terhadap kita, merupakan tantangan terhadap semuanya yang harus memperkuat persatuan antara segenap golongan.
    Pasal 19
    Segenap orang-orang yang beriman harus memberikan pembelaan atas tiap-tiap darah yang tertumpah di jalan Tuhan.
    Setiap orang beriman yang bertaqwa harus berteguh hati atas jalan yang baik dan kuat.
    Pasal 20
    Perlindungan yang diberikan oleh seorang yang tidak beriman (musyrik) terhadap harta dan jiwa seorang musuh Quraisy, tidaklah diakui.
    Campur tangan apapun tidaklah diijinkan atas kerugian seorang yang beriman.
    Pasal 21
    Barangsiapa yang membunuh akan seorang yang beriman dengan cukup bukti atas perbuatannya harus dihukum bunuh atasnya, kecuali kalau wali (keluarga yang berhak) dari si terbunuh bersedia dan rela menerima ganti kerugian (diyat).
    Segenap warga yang beriman harus bulat bersatu mengutuk perbuatan itu, dan tidak diizinkan selain daripada menghukum kejahatan itu.
    Pasal 22
    Tidak dibenarkan bagi setiap orang yang mengakui piagam ini dan percaya kepada Tuhan dan hari akhir, akan membantu orang-orang yang salah, dan memberikan tempat kediaman baginya.
    Siapa yang memberikan bantuan atau memberikan tempat tinggal bagi pengkhianat-pengkhianat negara atau orang-orang yang salah, akan mendapatkan kutukan dan kemurkaan Tuhan di hari kiamat nanti, dan tidak diterima segala pengakuan dan kesaksiannya.
    Pasal 23
    Apabila timbul perbedaan pendapat di antara kamu di dalam suatu soal, maka kembalikanlah penyelesaiannya pada (hukum) Tuhan dan (keputusan) Muhammad SAW.
    V. Golongan Minoritas
    Pasal 24
    Warganegara (dari golongan) Yahudi memikul biaya bersama-sama dengan kaum beriman, selama negara dalam peperangan.
    Pasal 25
    Kaum Yahudi dari suku 'Awf adalah satu bangsa-negara (ummat) dengan warga yang beriman.
    Kaum Yahudi bebas memeluk agama mereka, sebagai kaum Muslimin bebas memeluk agama mereka.
    Kebebasan ini berlaku juga terhadap pengikut-pengikut/sekutu-sekutu mereka, dan diri mereka sendiri.
    Kecuali kalau ada yang mengacau dan berbuat kejahatan, yang menimpa diri orang yang bersangkutan dan keluarganya.
    Pasal 26
    Kaum Yahudi dari Banu Najjar diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu 'Awf di atas
    Pasal 27
    Kaum Yahudi dari Banul-Harts diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu 'Awf di atas
    Pasal 28
    Kaum Yahudi dari Banu Sa'idah diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu 'Awf di atas
    Pasal 29
    Kaum Yahudi dari Banu Jusyam diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu 'Awf di atas
    Pasal 30
    Kaum Yahudi dari Banu Aws diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu 'Awf di atas
    Pasal 31
    Kaum Yahudi dari Banu Tsa'labah, diperlakukan sama seperti kaum yahudi dari Banu 'Awf di atas
    Kecuali orang yang mengacau atau berbuat kejahatan, maka ganjaran dari pengacauan dan kejahatannya itu menimpa dirinya dan keluarganya.
    Pasal 32
    Suku Jafnah adalah bertali darah dengan kaum Yahudi dari Banu Tsa'labah, diperlakukan sama seperti Banu Tsa'labah
    Pasal 33
    Banu Syuthaibah diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu 'Awf di atas.
    Sikap yang baik harus dapat membendung segala penyelewengan.
    Pasal 34
    Pengikut-pengikut/sekutu-sekutu dari Banu Tsa'labah, diperlakukan sama seperti Banu Tsa'labah.
    Pasal 35
    Segala pegawai-pegawai dan pembela-pembela kaum Yahudi, diperlakukan sama seperti kaum Yahudi.
    VI. Tugas Warga Negara
    Pasal 36
    Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad SAW
    Seorang warga negara dapat membalaskan kejahatan luka yang dilakukan orang kepadanya
    Siapa yang berbuat kejahatan, maka ganjaran kejahatan itu menimpa dirinya dan keluarganya, kecuali untuk membela diri
    Tuhan melindungi akan orang-orang yang setia kepada piagam ini
    Pasal 37
    Kaum Yahudi memikul biaya negara, sebagai halnya kaum Muslimin memikul biaya negara
    Di antara segenap warga negara (Yahudi dan Muslimin) terjalin pembelaan untuk menentang setiap musuh negara yang memerangi setiap peserta dari piagam ini
    Di antara mereka harus terdapat saling nasihat-menasihati dan berbuat kebajikan, dan menjauhi segala dosa
    Seorang warga negara tidaklah dianggap bersalah, karena kesalahan yang dibuat sahabat/sekutunya
    Pertolongan, pembelaan, dan bantuan harus diberikan kepada orang/golongan yang teraniaya
    Pasal 38
    Warga negara kaum Yahudi memikul biaya bersama-sama warganegara yang beriman, selama peperangan masih terjadi
    VII. Melindungi Negara
    Pasal 39
    Sesungguhnya kota Yatsrib, Ibukota Negara, tidak boleh dilanggar kehormatannya oleh setiap peserta piagam ini
    Pasal 40
    Segala tetangga yang berdampingan rumah, harus diperlakukan sebagai diri-sendiri, tidak boleh diganggu ketenteramannya, dan tidak diperlakukan salah
    Pasal 41
    Tidak seorang pun tetangga wanita boleh diganggu ketenteraman atau kehormatannya, melainkan setiap kunjungan harus dengan izin suaminya
    VIII. Pimpinan Negara
    Pasal 42
    Tidak boleh terjadi suatu peristiwa di antara peserta piagam ini atau terjadi pertengkaran, melainkan segera dilaporkan dan diserahkan penyelesaiannya menurut (hukum ) Tuhan dan (kebijaksanaan) utusan-Nya, Muhammad SAW
    Tuhan berpegang teguh kepada piagam ini dan orang-orang yang setia kepadanya
    Pasal 43
    Sesungguhnya (musuh) Quraisy tidak boleh dilindungi, begitu juga segala orang yang membantu mereka
    Pasal 44
    Di kalangan warga negara sudah terikat janji pertahanan bersama untuk menentang setiap agresor yang menyergap kota Yathrib
    IX. Politik Perdamaian
    Pasal 45
    Apabila mereka diajak kepada pendamaian (dan) membuat perjanjian damai (treaty), mereka tetap sedia untuk berdamai dan membuat perjanjian damai
    Setiap kali ajakan pendamaian seperti demikian, sesungguhnya kaum yang beriman harus melakukannya, kecuali terhadap orang (negara) yang menunjukkan permusuhan terhadap agama (Islam)
    Kewajiban atas setiap warganegara mengambil bahagian dari pihak mereka untuk perdamaian itu
    Pasal 46
    Dan sesungguhnya kaum Yahudi dari Aws dan segala sekutu dan simpatisan mereka, mempunyai kewajiban yang sama dengan segala peserta piagam untuk kebaikan (pendamaian) itu
    Sesungguhnya kebaikan (pendamaian) dapat menghilangkan segala kesalahan
    X. Penutup
    Pasal 47
    Setiap orang (warganegara) yang berusaha, segala usahanya adalah atas dirinya
    Sesungguhnya Tuhan menyertai akan segala peserta dari piagam ini, yang menjalankannya dengan jujur dan sebaik-baiknya
    Sesungguhnya tidaklah boleh piagam ini dipergunakan untuk melindungi orang-orang yang dhalim dan bersalah
    Sesungguhnya (mulai saat ini), orang-orang yang bepergian (keluar), adalah aman
    Dan orang yang menetap adalah aman pula, kecuali orang-orang yang dhalim dan berbuat salah
    Sesungguhnya Tuhan melindungi orang (warganegara) yang baik dan bersikap taqwa (waspada)
    Dan (akhirnya) Muhammad adalah Pesuruh Tuhan, semoga Tuhan mencurahkan shalawat dan kesejahteraan atasnya

    Tempat Download Gratis

     

    Eson Grisee Copyright © 2009 Community is Designed by Bie