12 December 2007

PARADOKS atawa ANOMALI

PARADOKSAL IBADAH RELIGIUS DENGAN IBADAH SOSIAL LINGKUNGAN


Saat suara adzan berkumandang berduyun-duyunlah masyarakat sekitar masjid atau langgar (musholla) untuk melaksanakan kewajibannya sebagai bagian umat Islam. Namun sebelumnya masyarakat diberi aturan main untuk mensucikan diri dari hadas (bersih fisik), yang biasa disebut dengan wudlu sebagai syarat utama untuk menyempurnakan kegiatan ritual yang dinamakan dengan sholat (sembayang).

Setelah suasana didalam masjid, sudah mencapai syarat sahnya sholat berjama’ah yaitu adanya imam (pemimpin sholat) serta ma’mum (yang mengikuti imam), maka dimulai iqomah (penanda dimulainya sholat jama’ah), dengan diikuti barisan rapat nan rapi (shof) penuh dengan rasa tertib.

Itulah sekilas sederhana perilaku ritual wajib yang biasa dilakukan masyarakat muslim santri yang penuh ketaatan kepada syarat dan rukunnya ibadah sholat (sembayang) dalam mengisi aktifitas hidupnya sehari-hari.

Disamping ibadah wajib yang biasa dilakukan untuk supaya lebih mendekat kepada Allah. Sebagai umat muslim yang berbudaya kita juga mengenal ritual tradisi atau dalam bahasa agamanya disebut ibadah sunnah. Disini mungkin biasa kita jumpai, istighotsah, tahlilan, yasinan, sholawatan. Yang ke semua ritual tersebut banyak digandrungi oleh masyarakat kita.

Semua ritual-ritual tersebut merupakan sebuah ritus masyarakat santri agamis yang penuh dengan suasana, bersih, tertib, dan sikap teratur. Namun sayang itu hanya terjadi dalam suasana vertikal (hablum minAllah) saja. Sehingga kurang peduli terhadap suasana horisontal manusia maupun lingkungan (hablum minannas).

Anomali dalam masyarakat muslim kita

Dalam ritus-ritus ibadah dalam agama Islam, tersirat makna tentang sikap kebersamaan, ketertiban, serta kesucian (bersih). Namun makna-makna tersirat inilah yang kurang diperhatikan oleh mayoritas masyarakat muslim dalam pergaulan ritus sosial lingkungan kemasyarakatannya.

Banyak potret-potret nyata keanehan yang sudah lama kita lihat dilapangan, sikap buang sampah sembarangan, sikap selalu ingin korupsi, sikap tidak mau antri, mau enaknya sendiri. Kalau demikian wajarkah anda atau kita semua berkata “saya bebas melakukan apa saja”. Bahkan wajarkah seseorang seseorang menganut paham yang menyatakan, “saya bebas melakukan apa saja selama tidak melanggar hak orang lain?”.

Ingat bahwa kita semua adalah produk lingkungan yang dihasilkan oleh banyak pihak. Dan seharusnya kita sadar melalui makna tersirat dalam ritus-ritus ibadah kita kepada sang pangeran Agung Allah swt. Ketika kita semua memenuhi panggilanNya penuh dengan totalitaslah ketundukan peran manusia, namun sayang sekali itu terjadi hanya 5 menit saja, semacam iklan “kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah aku dong”.

Bagaimana tanggung jawab diri sendiri terhadap lingkungan, yang berubah begitu kilatnya untuk kembali berwatak egoisme-egoisme “pemerkosa” terhadap lingkungan sekitar kita sendiri, dan sikap-sikap tersebut menjadi penyakit akut amnesia ibadah, untuk menjatuhkan pilihannya kembali menjadi “pemerkosa-pemerkosa” kebersihan, ketertiban, serta kebersamaan yang itu semua hanya nyata dalam ritus ibadah sosial.

Terciptanya suasana egoisme ritus-ritus ibadah dalam masyarakat kita (Indonesia) seolah-olah berjalan begitu saja dalam bayang-bayang mengharapkan surga yang hanya akan dijadikan miliknya saja. Lingkungan manusia dalam pandangan agama adalah rahmatan lil alamin yang berarti meliputi semua kosmos. Karena itu, bagaimana kita bisa menciptakan lingkungan “surga” bagi masyarakat. Bukan sekedar berpangku tangan kepada Allah (Tuhan) saja. Melainkan sadardiri dalam berprilaku, berkepribadian, bermartabat dalam kehidupan, serta memunculkan hubungan yang serasi nan seimbang dengan lingkungan, baik yang terlihat dengan mata kepala maupun yang belum terlihat.

Kurangnya budaya baca dalam masyarakat kita. Sehingga kurang mengetahui himbauan-himbauan Tuhan tentang aturan main dalam hidup serta perubahannya. Sementara itu menjadikan hilangnya tanggung jawab diri, ketika melaksanakan tugas wajib ibadah sehari-hari dengan penuh dedikasi, pengabdian serta kemampuan masing-masing. Khususnya pada saat beribadah kepada Allah (Tuhan), lebih-lebih pada saat beribadah kepada lingkungan. Saya jadi ingat dengan kata-kata mutiara, “bahwa setiap orang hidup adalah pemimpin dan bertanggung jawab kepada apa-apa yang dipimpinnya”, ini berarti bahwa setiap individu harus tampil terlebih dahulu sebagai rasa tanggung jawab.

Hal-hal diatas banyak disebabkan antara lain karena yang menyentuh mereka (pemimpin/ulama’) melalui ajaran agama selama ini hanya dari sisi-sisi ibadah agama, sedangkan dari segi-segi lainnya, kalaupun disentuh dan dilaksanakan masih sebatas bentuk individualisme dan bukan dalam bentuk kolektifitas kemampuan manusia.

Bagaimanapun kompleksnya wujud-luaran kehidupan religius, esensi dalamnya sangat sederhana, satu dan sama. Dimanapun, kehidupan religius ini memenuhi kebutuhan yang sama dan bersumber dari keadaan pikiran (state of mind) yang sama pula. Apapun bentuknya, tujuan utama kehidupan religius adalah mengangkat manusia dari dirinya dan menghidupkannya didalam kehidupan yang lebih tinggi dibanding yang hanya memenuhi keinginan individualnya saja. Kepercayaanlah yang mengekspresikan kehidupan ini dalam bentuk representasi-representasi dan rituslah yang menata dan mengatur cara kerjanya.

Maka dari itu marilah tumbuhkan kebersamaan dan kita harus selalu mewarnai seluruh aktifitas masyarakat, yang pada akhirnya ajaran Islam dapat dirasakan bisa membudaya di bumi nusantara, dan dengan demikian cita-cita sosial Islam dapat kita nikmati bersama-sama. Semoga.

Wallahu a’lam bi shawab.

nur achmad fathoni

Anggota Ikatan Alumni IAIN Sunan Ampel

(IKASA)

Sekarang pengurus GP ANSOR GRESIK

0 comments:

Tempat Download Gratis

 

Eson Grisee Copyright © 2009 Community is Designed by Bie