16 December 2007

KPU, PEMILU & SYAHWAT PEMIMPIN MAUPUN PEJABAT

Apa Signifikansi KPU Dan Partai Politik Terhadap Pemilihan Umum 2004 Buat Rakyat

Awal januari 2004, empat tahun sudah abad millennium terlampaui, ditandai dengan adanya nafsu politik sebagian kelompok yang ingin meng-impeach pemerintahan sah dan demokratis, katanya presidennya tertuduh tapi tanpa bukti. Tetapi tetap di paksa turun dan sampai hari ini belum terbukti bahkan mungkin sampai hari kiamat datang. Pemilihan umum 2004 dengan biaya milyaran memisahkan antara pemilu legislatif dengan pemilu eksekutif dengan memakai sistem proporsional terbuka yang ditangani secara nasional oleh lembaga yang bernama komisi pemilihan umum (KPU).

Kecemasan para pemimpin, tokoh, cendekiawan dan kaum terpelajar, terhadap pelaksanaan pemilihan umum 2004 merasa cemas, karena mereka semua satu rasa mengkhawatirkan terjadinya peristiwa berdarah-berdarah akibat benturan antar pendukung partai politik, money politik, kecurangan-kecurangan partai politik demi merebut kekuasaan.

Semua elemen, kelompok, institusi yang ada di negeri ini, tanpa terkecuali. Mereka semua bersama-sama mensukseskan pesta demokrasi dan yang tak boleh terlupa apalagi sampai dilupakan adalah paranormal, di beri wilayah otoritas untuk meramal proses berjalannya pesta demokrasi, mulai dari ramalan peristiwa-peristiwa yang terkait sampai meramal bahkan mengawal para caleg-caleg untuk bisa duduk dan tampil sebagai pejabat publik (anggota legislatif atau dewan)

Apapun caranya, daya upaya akan ditempuh demi cita-cita kehormatan menuju kekuasaan partai politik. Termasuk salah satunya silaturrahmi politik terhadap para kiai-kiai di pelosok-pelosok desa demi mencari dukungan riil dari masyarakat bawah. Para elite partai sudah tidak peduli lagi dengan ideologinya masing-masing sehingga tanpa malu-malu mengikuti budaya cium tangan bernuansa politis, yang pemandangan tersebut biasanya hanya dilakukan oleh kaum santri tradisionalis maupun yang post tradisionalis.

Pemilihan umum tahun 2004 memang beda dengan pemilihan umum sebelum-sebelumnya. Sistem proporsional terbuka sehingga para caleg-caleg dapat diketahui oleh masyarakat calon pemilih. Gerakan nasional politisi busuk, serta munculnya isu wacana dari jawa tinur yang digalang oleh BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) se-jawa timur mengenai kontrak sosial dan kontrak politik, meminjam istilah filosof Prancis Jean Jaques Rosseau mengenai kontrak social “ ia (kontrak sosial) adalah konsep yang menjelaskan jenis asosiasi yang didapat didalam Negara atau masyarakat sipil dari pada kesepakatan khas apapun yang dibuat pada beberapa waktu dan tempat tertentu ”.

Hiburan gratis berlangsung selama masa kampanye, para artis laris manis dikontrak partai politik untuk menyedot massa demi meriahnya kegiatan kampanye, karena partai politik peserta pemilu tahu bahwa rakyat sekarang ini bersikap super cuek. Terhadap janji-janji para jurkam partai politik dan sikap para jurkamnya, karena tidak adanya program-program nyata yang bersifat kongkrit. Menjadi sebuah ke-ironisan janji-janji tinggallah janji kebanyakan janji-janji tersebut hampir dipastikan banyak luputnya dibanding yang terlaksana, sehingga berakibat rakyat banyak yang merasa kecewa berat.

Isu rakyat rindu dengan dan ingin bernostalgia dengan orde baru itulah stateman yang dilontarkan oleh para mantan elite orde baru yang mendeklarasikan partai baru maupun partai lama, bahkan dulu ada undang-undang parpol yang menyebutkan dua parpol plus golkar, sehat atau sakit undang-undang tersebut ???. tapi yang lebih menarik adalah statemen mantan jendral di zaman orde baru yang dengan lugunya mengajak untuk menjadi anteknya Soeharto pada saat kampanye partai karya peduli bangsa (PKPB), berikut petikan statemennya “kalau merasa orang Yogya dan bangga dengan Yogya-nya marilah menjadi antek Soeharto”.

Ajang perang wacana para elite partai politik untuk mendapatkan dukungan serta simpati, dengan memanfaatkan opini media massa begitu juga media elektronik bersaing menawarkan paket hemat iklan kepada partai politik berkantong tebal, yang bila di ukur dari kacamata pendidikan politik terhadap rakyat tidak mendidik sama sekali. Karena penampilan iklannya kebanyakan berputar pada simbol-simbol partai masing-masing serta ajakan untuk mencoblos, hanya itu dan tanpa kreatifitas pendidikan politik maupun demokrasi.

Sikap dewasa serta rasional massa maupun simpatisan partai politik dalam memandang arti demokrasi menurut pandangan mereka masing-masing (sadar aturan), itupun kalau menurut saya terjadi secara alami dan merupakan faktor evolusi alami (dari pemilu ke pemilu). Apa yang selama ini dikahawatirkan adanya benturan massa kampanye partai politik yang sampai berdarah-darah tidak sampai terjadi, kebanyakan kasus yang serius hanyalah seputar kecelakaan lalu lintas (bersifat teledor), baik korban luka-luka maupun meninggal dunia dan kejadian tersebut banyak dikarenakan faktor human error tanpa ada pihak yang memprovokasi maupun sabotase.

KPU (kondisi panitia[u]saha)?.

Komisi pemilihan umum (KPU), sebagai panitia penyelenggara serta pelaksana pesta demokrasi 2004. struktur panitia yang terdiri dari pelaku-pelaku yang berasal dari akademisi kampus-kampus bonafit yang ada di Indonesia. Berbagai macam fasilitas di berikan oleh pemerintah demi lancar dan suksesnya pemilihan umum 2004, sehingga mereka bisa bekerja secara professional bersifat obyektif bukan subyektif sehingga tidak ada pihak-pihak yang nantinya merasa kecewa.

Para pelaku di lembaga komisi pemilihan umum, sangant berperan dalam menentukan aturan main pelaksanaan pemilihan umum, mereka semua dipilih berdasarkan kemampuan, kecakapan serta pengalaman para pelaku sebagai akademisi sekaligus peneliti profesional. Oleh kaena itu pemrintah berusaha menghargai, sebelum para pelaku tersebut bekerja secara profesional, denagn harapan pekerjhaan mereka bisa maksimal. Maka diberikanlah fsilitas berupa mobil Toyota soluna untuk kaki selama berkantor di KPU. Tapi ternyata internal KPU malah ribut, bahkan ada salah satu anggotanya yang bersikap ksatria menolak fasilitas tersbut atau mungkin sikap tersbut karena merasa risih bakal jadi sorotan publik.

Kinerja panitia (KPU) dalam menangani proses pemilihan umum terlalu berorientasi penyelenggaraan pemilu yang serba kelihatan mewahnya daripada melihat kondisi nyata (praktek) atau jangan-jangan berorientasi kepada profit. Kotak suara terbuat dari bahan aluminium tipis lebih kelihatan estetis, begitu juga bilik suara yang kelihatan mewah tapi kurang lebar, padahal KPU tahu bahwa partai politik peserta pemilu berjumlah dua puluh empat kontestan, serta bamyaknya kertas suara rusak.

Logistik pemilihan umum 2004 ditangani model proyek, maka dari itu semua pekerjaan yang berhubungan dengan logistik melalui proses tender, tapi ternyata banyak perusahaan percetakan merasa kecewa, akibat kurang lancarnya distribusi kertas, sehingga berdampak pada proses lambatnya kerja perusahaan percetakan, padahal di sisi lain konsorsium perusahaan percetakan berusaha secara profesional menyelesaikannya 20 hari sebelum tanggal 5 April 2004, sikap optimisme KPU bisa menggelar pemilu secara serentak pada tanggal 5 April 2004, banyak diragukan oleh berbagai pihak, terutama pihak panwaslu, karena persoalan logistik masih menjadi problem utama dalam kinerja KPU.

Tinta juga merupakan bagian dari kebutuhan logistik pemilu. KPU (para pelaku) dengan sikap serta jiwa konsumtif melakukan keputusan untuk mengimpor tinta dari luar negeri, dengan alasan bahwa produk tinta dalam negeri kurang bisa memenuhi “nafsu “para pelaku untuk memperoleh kepuasan, ironis memang di satu sisi kebijakan pemerintah menyuruh kita untuk mencintai produk dalam negeri, di sisi lain para cerdik, pandai, cendekiawan, serta intelektual (KPU) mendidik masyarakat mencintai produk luar negeri. Kejadian yang terjadi malah menjadi urusan gawat darurat, karena menyangkut kesehatan para pencoblos (rakyat), ternyata tinta-tinta tersebut mengandung unsur kimiawi yang sangat berbahaya dan bisa mengakibatkan penyakit kanker prostat. Indikasi kasus tersebut banyak ditemukan di daerah sekitar JABOTABEK.

Secara prosedural KPU merupakan lembaga yang di beri wewenang menyelenggarakan pemilu. Institusi KPU diatur oleh perundang-undanagan yang jelas dan bersifat mengikat para pelakunya. Dan undang-undang peraturan KPU dalam prosedural pelaksanaan pemilu tidak boleh ada satu undang-undang pun dilanggar. Pasal 45 Ayat (3) UU No 12/2003 menyatakan.“ surat suara beserta perlengkapannya harus harus sudah diterima PPS dan PPLN selambat-lambatnya sepuluh hari sebelum pemungutan suara.” Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU pemilu yang menyebutkan,” KPU bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemilu.” Namun pasal itu juga menegaskan bahwa “ dalam melaksanakan tugasnya KPU menyampaikan laporan kepada presiden dan DPR.” pasal 81 Ayat ayat (1) yang menyatakan “ pemugutan suara anggota DPR, DPD, DPRD propinsi, dan DPRD kabupaten/kota di selenggrakan secara serentak.” Pasal 119 Ayat (1), pemilu lanjutan dan susulan di lakukan bila “ disebagian wilayah atau seluruh daerah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan atau bencana alam.” Kalau di cermati sepak terjang para pelaku di lembaga KPU selama pemilu legislatif. Sudahkah KPU memenuhi kepuasan publik dalam melaksanakan tugasnya.? Karena semua undang-undang tersebut sifatnya mengikat tugas KPU.

SK KPU No. 26/2004 yang mewajibkan setiap capres Maupun cawapres untuk memeriksakan kesehatannya, baik secra rohani maupun jasmani (PB IDI), kenapa kok tidak ke departemen kesehatan.? Seharusnya KPU juga merasa sadar bahwa gerak-gerik mereka dalam menjalankan tugasnya itu selalu diikat oleh undang-undang, aturan-aturan yang berlaku dan sudah berlangsung di Negara ini. UU no 4 tahun 1997 tertulis, “ bahwa seseorang yang mengalami disabilitas bisa memangku jabatan pemerintahan.” Sebenarnya undang-undang pilpres yang berlaku dan disahkan menunjuk angka tahun 2003 sedangkan undang-undang disabilitas disahkan tahun 1997, kalau diamati keputusan KPU tidak boleh bersifat diskriminatif dan melanggar HAM.

Dalam keputusannya yang katanya sudah bersifat final dan mengikat capres dan cawapres, alangkah indahnya bila KPU merujuk dulu UU pilpres pasal 96 Ayat (2) disitu disebutkan, “keputusan (SK) KPU bisa diujikan ke mahkamah agung (MA)”. Ingat bahwa Negara Indonesia merupakan negara demokrsi, karena punya dasar hukum, undang-undang serta aturan-aturan yang berlaku. Alangkah baiknya, dan tanpa terkecuali seluruh warga Negara Indonesia sadar bahwa undang-undang, aturan-aturan itu tidak palsu. Begitu juga undang-undang dasar 1945 yang sudah di amandemen juga bersifat final dan mengikat.

Berdasarkan uraian di atas berpijak pada fakta, bahwa para pejabat publik di negeri ini, punya kecenderungan anggapan bahwa undang-undang aturan-aturan yang berlaku di negeri ini penuh kepalsuan (multi tafsir), apakah karena mereka belum sadar dari kepalsuan hidup (kesadaran palsu), ? mungkin datang dari rasa sombongnya yang berstatus sebagai warga Negara kelas intelektual, terpelajar. Semoga di negeri yang penuh kepalsuan ini, seluruh rakyat Indonesia tidak ikut-ikutan palsu.


Wallahu a’lam bi shawab.

Penulis :Nur Achmad Fathoni

1 comments:

andreas iswinarto on 25 January 2008 at 08:12 said...

Selamat karena anda sahabat bumi manusia. Silah kunjungi dan beri masukan atas Seri Artikel Orkestrasi Pergerakan untuk Indonesia Baru diblog saya. Salam hangat!

http://ruangasadirumahkata.blogspot.com/

Tempat Download Gratis

 

Eson Grisee Copyright © 2009 Community is Designed by Bie