22 April 2010

    NU & Politik Praktis

    WAJAH BARU NU PASCA MUKTAMAR MAKASSAR

    Kaum pinggiran yang selalu tersingkir, bukan berarti kalah tapi mengalah. Meminjam istilah Gus Ali Mashuri Tulangan Sidoarjo (sing waras ngalah) memang identifikasi kaum pinggiran mengarah pada kaum tradisionalis, dan itulah bentukan dari opini-opini yang mengerucutkan sasaran sehingga sangat tepat pada sasaran .
    Dominasi modernis yang telah tepat sasaran, mengakibatkan berubahnya orientasi pandangan serta tingkah laku masyarakat yang pada akhirnya terbawa arus untuk mengikuti pola berpikir modernis dan meminggirkan jas merah (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah), budaya lama (kuno budho) yang pada akhirnya memunculkan bermacam-macam opini tuduhan yang dialamatkan kepada kaum tradisionalis, TBC (takhayul, bid’ah, churafat), oportunis, kuno, kolot, syirik. Tayangan media elektronik sekarang ini banyak mempertontonkan yang ingin meng-empiriskan apa yang dinamakan takhayul sehingga dapat masuk ke alam logika otak.
    Sebenarnya tindakan, pikiran kaum tradisionalis didasarkan pada, Al qur’an, hadits, Ijma’, qiyas. Di ijma’, qiyas inilah biasanya banyak merujuk pada kitab-kitab klasik aswaja (kitab kuning) sehingga dalam bertindak serta berfikirnya kaum tradisionalis selalu bersikap hati-hati, luwes dan memilih jalan tengah atau jalan ketiga (the third away), meminjam istilah Anthony Giddens, sehingga keputusan-keputusan dalam bahtsul masail selalu up to date.
    Maka dari itu NU sebagai ormas yang berpijak pada ajaran-ajaran ASWAJA dalam minhajul fikr, idealnya tidak terlalu jauh terseret di wilayah politik praktis berpartai, karena dampak negatifnya lebih banyak daripada dampak positifnya bagi organisasi masyarakat seperti NU.
    NU hadir ditengah-tengah sosial masyarakat sebagai ormas pengayom bagi semua agama, golongan, suku. NU hadir di Indonesia sebagai gerakan cinta damai, karena dalam sejarah pergerakan revolusi bangsa tidak pernah sekalipun NU melakukan pemberontakan seperti yang dilakukan oleh ormas atau organisasi lain yang dalam sejarahnya pernah makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    Dalam keputusan Muktamar NU XVIII di Krapyak Yogyakarta tahun 1989 memutuskan Pedoman Berpolitik Warga NU yang terdiri atas 9 butir :
    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945;
    Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integritas bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat;
    Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama;
    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama;
    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlaq al karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah;
    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apa pun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan;
    Perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap terjaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama;
    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.
    Dengan semangat keputusan MUKTAMAR di Semarang marilah bersama-sama mengembalikan kiprah berpolitik NU di negeri kembali ke tengah (At-Tawassuth), karena pasca NU mendirikan partai kebangkitan bangsa, kekuatan NU yang selalu berada di tengah sudah terlalu jauh terseret pusaran deras arus politik praktis, dan bahkan yang terjadi di Gresik NU telah di jadikan kendaraan politik, secara ceto welo-welo (terang-terangan) melalui keputusan pleno (politis) "pengurus" NU cabang Gresik. Idealnya urusan pilkadal menjadi spacenya partai politik bukan organisasi masyarakat seperti NU cabang Gresik. Tapi biarlah sejarah yang mencatat anomali perilaku seperti NU cabang Gresik.
    Terpilihnya KH Sa'id Aqil Siradj di muktamar ke 32 di Makassar memberikan harapan titik tolak semangat isu Khittah 1926 serta keputusan muktamar NU ke 28 di pesantren Krapyak Yogyakarta, karena slogan Kang Said "kembali ke pesantren" merupakan cermin kejenuhan warga NU yang selama ini terseret atau diseret oleh politisi-politisi yang pada akhirnya terpilihnya Kang Said sebagai ketua PBNU yang baru.
    Disitu dapat kita lihat kecerdasan muktamirin di muktamar ke 32 dengan memilih KH. Said Aqil Siradj sebagai ketua PBNU yang baru, karena memang Kang Said mempunyai karakter kuat untuk mengembalikan "barokah" NU ke tempat asalnya yaitu politik kebangsaan, satu lagi wilayah yang selama ini belum tergarap dengan intens yaitu perekonomian dan industrialisasi (Nahdlatut Tujjar).
    Dengan demikian kita semua yaqin bahwa wajah NU pasca muktamar ke 32 di Makassar akan menampilkan wajah NU yg baru yaitu wajah NU dengan mimik politik kebangsaan dengan idiom baru yaitu NU-KU, NU-ANDA, NU-KITA, NU-nya bangsa Indonesia.
    Wallahu a'lam bi showab
    nur achmad fathoni

    11 April 2010

    NU & MANUSKRIP PESANTREN

    NU dan Manuskrip Islam Pesantren

    Oman Fathurahman

    Tulisan ini terbit di Harian Seputar Indonesia, Jumat, 9 April 2010.


    Tampilnya KH Said Aqil Siradj sebagai Ketua Tanfidziyah NU dalam Muktamar di Makassar lalu memberikan harapan baru pemberdayaan dan penguatan kembali pesantren sebagai aset kultural bangsa Indonesia. Pada hari KH Said Aqil Siradj terpilih, saya kebetulan sedang berada jauh dari Makassar, tepatnya di Pesantren Sabilil Muttaqin (PSM) Takeran, Magetan, Jawa Timur. Saya, bersama-sama tim dari Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA) dan Islamic Manuscript Unit (ILMU) PPIM UIN Jakarta, sedang ‘bercengkerama’ dengan tidak kurang dari 50an bundel tebal naskah kuno tulisan tangan (manuscript) koleksi Pesantren, yang berisi hampir seratusan teks.

    Selama tiga malam kami membersihkan dan kemudian mengalihmedia digitalkan naskah-naskah kuno berusia ratusan tahun tersebut yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Harapannya, teks-teks digital tersebut kelak dapat membantu ‘memperpanjang’ usia teks yang terkandung di dalamnya, kendati mungkin fisik naskahnya tidak dapat diselamatkan lagi!

    Beruntung, dalam waktu yang sangat pendek itu kami dapat memastikan bahwa koleksi naskah kuno PSM Takeran merupakan warisan berharga leluhur dan pendiri Pesantren sendiri, sebagian adalah buah tangan pendirinya, KH Imam Mursyid, yang ironisnya belum mendapatkan perhatian sepatutnya, bahkan dari keluarga ahli warisnya sekalipun.

    Agenda ‘kembali ke pesantren’ yang diusung KH Said Agil Siradj tiba-tiba mengingatkan saya betapa pesantren sesungguhnya mewarisi dan memiliki khazanah naskah tulisan tangan, yang menurut Undang-undang no. 5 tahun 1992, dapat dikategorikan sebagai benda cagar budaya! Hanya orang memang lebih sering menyebut, pasti karena ketidaktahuannya, arca, masjid, makam, atau artefak lain belaka ketimbang naskah kuno, ketika menyebut soal benda cagar budaya nasional itu. Padahal, dari segi jumlah saja, naskah kuno, yang berisi rekam jejak berbagai aspek kehidupan dan tradisi masa lalu kita itu, berlipat-lipat jauh lebih banyak dalam beragam bahasa dan aksara, serta lebih rentan musnah karena bahan kertas yang digunakannya.

    Sebelum PSM Takeran, tiga pesantren lain di Jawa Timur, yakni Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Tarbiyyah al-Talabah Lamongan, dan Pesantren Tegalsari Ponorogo juga diketahui menyimpan sekitar 300an bundel naskah, yang telah dialihmediakan oleh Tim MIPES dari Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM) Surabaya pimpinan Amiq Ahyad. Umumnya, naskah-naskah koleksi pesantren ini ditulis dalam bahasa Arab dengan terjemah antarbaris dalam bahasa Jawa dan aksara Pegon.

    Saya merasa sangat yakin, jika terus ditelusuri, masih banyak lagi pesantren-pesantren salafiyah, termasuk di luar pulau Jawa, yang menjadi ‘gudang’ penyimpanan naskah-naskah kuno bernafaskan keagamaan. Masalahnya, siapa yang peduli? Salah satunya harusnya adalah NU.

    Mengapa NU?
    Tradisi tulis di kalangan masyarakat Nusantara telah terbentuk sejak ratusan tahun lalu. Kedatangan Islam telah memperkaya peradaban tulis menulis, terutama karena adanya kebutuhan pengadaan bahan ajar agama. Dan, pilihan paling mungkin saat itu adalah dengan menyalin tangan kitab-kitab rujukan berbahasa Arab, serta menyadur atau menerjemahkannya ke dalam bahasa lokal setempat. Tidak heran kemudian jika kitab-kitab, yang belakangan dikenal sebagai ‘kitab kuning’, tersebut kini banyak dijumpai dalam versi tulisan tangannya, baik sebagai milik perorangan maupun lembaga semisal pesantren.

    Nah, keluarga besar NU jelas mewarisi tradisi ini. Kitab kuning adalah pilar utama yang tidak dapat dipisahkan sebagai identitas Jamaah Nahdliyin, dan sejumlah besar substansi dari kitab kuning, khususnya dalam bahasa-bahasa lokal, seperti Melayu, Jawa, atau Sunda, terdapat dalam bentuk naskah-naskah kuno tersebut.

    Dalam konteks keilmuan Humaniora, naskah kuno adalah objek utama kajian filologi dan kodikologi. Telaah atas satu atau sekumpulan naskah sering ditempatkan dalam konteks upaya preservasi, yakni pemeliharaan dan pelestarian artefak budaya, baik preservasi fisik naskahnya maupun kandungan isinya. Seiring dengan era digital, upaya preservasi teks naskah kuno itu dilakukan melalui digitisasi, yang kemudian dilanjutkan dengan pengolahannya dalam sebuah perpustakaan naskah digital (digital manuscript library).

    Trend perpustakaan digital jelas telah memikat hasrat masyarakat internasional, hingga UNESCO pun meluncurkan Program The World Digital Library (WDL) pada 2009 untuk mempromosikan sikap saling memahami dan empati terhadap budaya masing-masing suku bangsa (international and intercultural understanding) melalui teknologi digital.

    Di sinilah salah satu agenda pemberdayaan pesantren oleh NU dapat diletakkan. Pesantren, sebagai salah satu kekuatan civil society, dapat memberikan kontribusi besar terhadap dunia akademik khususnya dengan unjuk kekayaan khazanah intelektualnya, dan memfasilitasi tersedianya akses digital tak terbatas melalui pengembangan perpustakaan naskah digital.

    Belakangan, di kalangan facebookers bahkan telah muncul sebuah account dengan nama ‘Nahdlatul Ulama Manuskrip’, yang secara sporadis menampilkan penggalan-penggalan foto manuskrip asal komunitas ini. Tentu saja, upaya lebih serius dan terorganisasi perlu dilakukan, bukankah santri NU mengenal ajaran al-haqq bila nizam sayuglabu bil bathil ma’an nizam (kebaikan yang tidak terorganisasi akan kalah pamor oleh keburukan yang terorganisasi)?

    Saya yakin, haqqul yaqin, dengan semakin terbukanya akses terhadap pesantren, terhadap khazanah keilmuannya, dan terhadap karakteristik keragaman mazhabnya, maka gagasan-gagasan multikulturalisme dan pluralisme yang memang menjadi karakter utama pesantren akan semakin dikenal khalayak nasional dan internasional, sehingga pesantren tak melulu dicurigai sebagai sarang terorisme yang mengajarkan kekerasan.

    Tentu saja NU bukan satu-satunya ahli waris pesantren salafiyah yang mewarisi khazanah naskah kuno tulisan tangan. Masih ada lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional lain yang memiliki kemiripan tradisi dan ideologi. Pesantren Sabilil Muttaqin Takeran di atas adalah salah satunya. Konon, PSM, yang mengaku mengembangkan penggabungan ideologi tradisionalisme dan modernisme Islam ini, memiliki sekitar 99 cabang di seluruh Indonesia.

    Dalam jamuan makan siang menjelang keberangkatan kami kembali ke Jakarta, Pimpinan PSM Takeran, Ir. H. Miratul Mukminin, MM, atau yang lebih akrab dipanggil ‘Pak Amik’, berbisik bahwa ia sebetulnya masih menyimpan lebih banyak lagi naskah-naskah kuno yang sengaja dipisahkan di kamar pribadinya, karena khawatir dipelajari sembarang orang. Tuh, kan!

    -----------------
    Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/316503/
    Oman Fathurahman, Dosen UIN Jakarta, Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara.

    Berpuisi

    Puisi- puisi

    Ingat-ingatlah bahwa kita hanya manusia batas.
    Ingat-ingatlah bahwa kita selalu menemui sang waktu.
    Ingat-ingatlah bahwa kita hidup berjalan diatas kaki berpijak bumi.
    Ingat-ingatlah bahwa kita makhluk moral jujur seimbang.
    Ingat-ingatlah bahwa kita melihat merasa mencium mendengar meraba.
    Ingat-ingatlah bahwa kita diantaranya sadar sama sekali palsu.
    Ingat-ingatlah bahwa kita siapa aku kamu semuanya cobalah usahalah.
    Ingat-ingatlah bahwa kita hidup sekali merentang waktu menuju maut.

    By Fathoni Grisee

    Serat-Seret

    Serat Candrarini

    Karya sastra Jawa klasik, berbentuk puisi tembang macapat berbahasa Jawa baru. Ditulis pada hari kamis, 7 Jumadilakir tahun be 1792 Jawa oleh Raden Mas Ranggawarsita, atas perintah Paku Buwana IX di Surakarta. Tokoh-tokoh yang ditampilkan adalah para istri Arjuna, yakni : 1. Sumbadra 2. Dewi Ulupi 3. Ratna Gandawati 4. Dewi Manohara dan 5. Srikandi. Tokoh yang ditampilkan berperangi positif, sebab para istri arjuna tersebut mempunyai karakter yang berlainan.Dilihat dari segi isinya merupakan ajaran yang ditujukan kepada kaum wanita, khususnya wanita jaman dulu yang mengabdikan hidup pada perkawinan poligami.
    Didalamnya termuat contoh-contoh sifat dan tingkah laku yang dimiliki oleh kelima orang wanita ( istri ) Arjuna. Dari kelima istri Arjuna itu, yang tiga orang merupakan anak seorang raja, yang berarti mempunyai pengaruh positif kepada pemerintahan dan kehidupan duniawi. Yang dua orang istri lainnya merupakan anak pendeta atau biksu yang berarti memiliki karakter dan pribadi yang luhur. Selain memiliki karakter yang berbeda, kelima istri tersebut selalu menghargai kepada temen-temen selir, dan menganggapnya sebagai saudara sendiri yang saling hidup berdampingan dengan rukun dan damai sebagai wanita yang dikatakan berhasil dalam perkawinan, mereka memiliki sifat sabar “ rela “ dan narima “ menerima dengan bersyukur. Disebutkan pula bahwa sebagai wanita apabila dalam perkawinannya mengalami kegagalan maka rasa kewanitaannya tersebut telah hilang. Seorang istri yang dapat disebut berhasil dalam perkawinan adalah seorang wanita yang pasrah terhadap apa saja yang akan terjadi pada dirinya. Walaupun dimadu seorang istri hendaknya dapat memelihara dirinya agar tetap cantik, bertingkah laku manis, penuh pengabdian, berbakti, setia, dan taat kepada suaminya.
    Diantara sesama selir harus saling bersahabat dan menganggapnya sebagai saudara, oleh karena itu meraka harus saling memberi dan saling mendidik. Selain memiliki sifat-sifat diatas, untuk menjadi wanita yang berbudi luhur haruslah beriman. Janganlah sampai putus dalam berdoa agar mendapatkan wahyu dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Untuk mencapi kesempurnaan hidup, sebagai mahkluk individu dan sosial seseorang diwajibkan untuk berguru agar mendapatkan pengetahuan didalam kehidupan, baik secara makro maupun mikro. Sebagai penyampai pesannya adalah dewi Manohara, sebagai seorang wanita Jawa yang rela berkorban demi suami yang amat dicintainya, wara Sembadra membuktikan dirinya. Sebagai bukti akan kesetiannya, ia menolak keinginan Burisrawayang ingin memperistri dirinya dengan cara menculik, wara Sembadra memilih bunuh diri dan akhirnya mati daripada harus melayani laki-laki yang bukan suaminya. Dilukiskan pula mengenai tingkah laku wara Srikandhi yang berbakti terhadap mertua, yaitu dewi Kunthi. Ia mampu dan berusaha memenuhi apa saja yang menjadi keinginan mertuanya. Sebagai seorang menantu ternyata ia sangat setia, selalu berbuat yang baik demi keutuhan keluarga, ia tidak hanya menerima suaminya saja sebagai pendamping akan tetapi menerima keluarga yang lain sebagai satu ikatan keluarga. Selain berbakti kepada mertua, sebagai istri ia juga harus tetap cinta kepada saudara-saudaranya sendiri, walaupun di antara mereka saling berjauhan tempat. Selain itu digambarkan juga keindahan dan kecantikan terhadap setiap tokoh misalnya :
    1. Wara Sembadra digambarkan sebagai seorang wanita yang mempunyai kesamaan dengan bidadari.
    2. Dewi Manohara digambarkan tentang kelebihan kecantikannya bagaikan lukisan yang indah. Wajahnya bagai bunga pandan, ibarat matahari yang tertutup tipisnya awan. Bentuk lambung yang kecil rapi dan ramping bagaikan kumbang besar yang mengitari bunga. Bibirnya yang kecil, merah, bagus bagaikan buah manggis yang merekah.
    3. Dewi Ulupi liriknya digambarkan bagai teratai biru yang bersinar.
    4. Ratna Gandawati digambarkan berambut hitam, sinom “ anak rambut “ banyak, berleher indah, berdada lebar kuning bagaikan kelapa gading yang masih muda, bila ia berjalan amat pelan bagaikan teratai yang melenggang di air.
    5. Wara Srikandhi digambarkan ibarat wanita dari bulan, suara menggema bagaikan suara kilat yang diatur dan berbunyi bersama-sama, kulitnya kuning bagaikan kencana yang digosok.

    Fathoni Grisee

    Tempat Download Gratis

     

    Eson Grisee Copyright © 2009 Community is Designed by Bie