06 March 2008

MALAIKAT PUN IKUT SABAR

WAHAI AHLI KEKUASAAN

RAKYAT LELAH MENUNGGU SABAR

Dalam zaman “refotnasi plus budaya impor”, seperti sekarang ini timbul suatu pertanyaan ; mungkinkah Indonesia keluar dari krisis 1997 total (kristal)? Jawaban atas pertanyaan diatas adalah tidak. Siapa yang berani memberikan jawaban yang gamblang (apa adanya) serta jelas atas pertanyaan diatas akan dibenci banyak orang. Hanya kejujuran dan keterbukaan, kebebasan yang murni sajalah yang dapat mendorong orang berbicara seperti itu secara terbuka dalam media massa.

Tegaknya demokrasi (etos kerja) seperti berdirinya beberapa partai politik yang hampir semuanya bertujuan menegakkan demokrasi. Hanya sebuah proses panjang perjalanan suatu bangsa untuk suatu eksistensi demokrasi itu sendiri supaya benar-benar tegak, maka dari itu janganlah sekali-kali meninggalkan sejarah. Namun “jas merah” kurang lebih bersifat spontanitas bagi intelektual elit, sebagai cermin aspirasi rakyat yang murni ini terjadi karena undang-undang politik yang ada memungkinkan untuk terciptanya demokrasi yang sehat.

Awal reformasi merupakan titik awal gerakan demokrasi, dimulainya dengan berdirinya partai-partai politik yang mencapai sekitar 259 partai politik yang merupakan salah satu syarat dari demokrasi itu sendiri. Seperti laksana ledakan bom waktu, yang sudah waktunya meledak. Undang-undang pemilu yang memungkinkan berdirinya partai-partai baru, mungkin dengan pertimbangan karena luasnya wilayah kepulauan Indonesia dan ber-bhinneka tunggal ika-nya penduduk Negara Indonesia.

Konstelasi (keadaan/situasi-kondisi) politik yang ada belum memungkinkan tumbuhnya demokrasi yang sebenarnya karena masih banyaknya rekayasa, intrik dan fitnah politik yang masih berlaku. Disamping itu, masih ada pemerintahan yang mempertahankan status quo. Dan yang lebih penting, tradisi kita belum melahirkan budaya politik yang sehat.

Apakah ini berarti kita akan kembali pada masa orba, yang berisi kenyataan pahit bahwa pemerintah pusat menguasai segala-galanya?. Perubahan mendasar yang perlu dilakukan diantaranya adalah pola hubungan antara pusat dan daerah yang lebih berimbang.

Pembagian devisa antara pusat dan daerah yang dulu mayoritas diambil oleh pusat dan hanya sebagian kecil yang kembali kedaerah. Demikian juga dalam hal pengangkatan kepala daerah, harus diubah sistem dan mekanismenya. Tidak semata-mata ditentukan oleh kehendak pusat, tetapi ditentukan secara mandiri oleh daerah masing-masing.

Pemerintah pusat memiliki otoritas penuh dalam dua hal, yaitu politik luar negeri dan pertahanan. Masalah keamanan diserahkan pada kepolisian negara yang dalam menjalankan tugasnya tunduk pada gubernur, walikota, dan bupati bukan pada pemerintah pusat. Hubungan pusat dan daerah yang bersifat koordinatif haruslah menjadi hubungan yang setara., bukannya sub-ordinatif seperti sekarang. Yang jelas, TNI harus melepaskan tanggung jawab keamanan lokal yang ada. Dia (TNI) cukup mempersiapkan diri secara proporsional dalam mengurusi pertahanan negara.

Degan pola ini akan terjadi perampingan struktur pemerintahan secara cepat, control dan pengawasan bisa lebih mudah dan efektif sehingga menekan terjadinya kolusi antara pemimpin pusat dan daerah. Dalam pemikiran pemerintah daerah, pemerintah daerah, pemerintah pusat hanya berfungsi menetapkan standar belaka yang harus diikuti oleh pemerintah-pemerintah daerah. Kecenderungan untuk korupsi pun akan menurun karena mengecilnya peran pemerintah pusat berarti meningkatnya pengawasan legislatif daerah, ini-pun masih disertai dengan pengawasan yang teliti dari pihak yudikatif.

Dalam hal ini berarti yudikatif harus ditunjuk oleh pihak legislatif sebagai representasi dan manifestasi kedaulatan rakyat bukan oleh eksekutif yang sebenarnya hanya manifestasi kedaulatan birokrasi seperti selama ini terjadi. Dalam pada itu, masih lima sampai sepuluh tahun lagi akan terlihat semakin tumbuhnya kedaulatan rakyat.

Demikian pula kebebasan pers untuk mengkritik pemerintah telah semakin terbuka, sebagaimana tertuang dalam bentuk kebebasan pers yang ditandai dengan tidak berartinya SIUPP. Pihak legislatif juga sudah mulai berani mengkritik pihak eksekutif secara terbuka.

Kebebasan pers diperlukan, tapi pers disini merupakan pers yang dituntut untuk berada di posisi independen berhati nurani, tanpa memihak atau berada di pihak. Tapi pada kenyataan dilapangan yang terjadi adalah ke-ironisan perang opini antar media, demi sebuah kepentingan untuk melestarikan kepentingan status quo.

Beberapa hal diatas yang menjadi indikasi bahwa demokratisasi meski kecil dan lambat mulai timbul dan bergerak. Dikatakan demikian karena belum terjadi perpindahan titik berat dari kerja institusi-institusi yang ada. pihak yudikatif belum memiliki independensi penuh dan masih bergantung pada pihak eksekutif. Pemindahan tugas keamanan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah bukanlah sesuatu hal yang mudah dicapai.

Karena membuat demokrasi bukanlah pekerjaan sehari dua hari. Dan menegakkan hukum juga bukan persoalan mudah. Karena kepentingan yang saling berbeda akan berlaga di tengah percaturan politik yang ada. Pemilu yang berjalan adalah cara untuk memberikan legitimasi bagi upaya demokratisasi yang sulit dicapai itu.

Disinilah terletak beberapa anggapan bahwa tradisi atau budaya jujur politik haruslah sejalan dengan perkembangan lembaga-lembaga yang ada, demikian sebaliknya. Karenanya dapatlah di mengerti mengapa jawaban pada pertanyaan diawal tulisan ini berbunyi negatif. Untuk menjadi positif perlu perjuagan melalui serangkaian pemilu. Karena dari sini bisa dimulai perombakan aturan mengenai mekanisme kerja pemerintah, hubungan pusat dan daerah serta perumusan kembali peran dan posisi institusi-institusi yang ada agar dapat berjalan secara efektif dan efisien.

Kebebasan bicara masyarakat sipil yang belum teratur, karena syarat dari demokrasi adalah hak berbicara, hak disini berarti yang berhak bicara jujur yang disesuaikan dengan aturan-aturan yang ada. Karena itu harus adanya kejujuran bagi semua pihak yang berhak bicara, disitulah pertanyaan “tidak”, karena tidak adanya aturan dan kejujuran dalam berbicara.

Keadaan, situasi kondisi yang tidak sehat, akibat dari intrik, fitnah dan rekayasa politik yang dilakukan oleh para elit Jakarta yang berimbas pada masyarakat didaerah, sehingga munculnya nyanyian dari suara falsnya seorang Iwan fals dengan bait lagunya yaitu ; “Apakah selamanya politik itu kejam”. Maka disinilah sebuah proses demokrasi perlu budaya saling “mengkritik” bukan meng-intrik, sehingga belum ada suasana tradisi jujur yang melahirkan budaya politik yang sehat.

sentralisme kekuasaan yang terpusat di pusat. Bahwa demokrasi itu harus dimulai dari bawah keatas, supaya seluruh lapisan masyarakat berdaya, sehingga munculnya sebuah pemerintahan yang berimbang. Permainan pusat yang selalu menguasai bahkan cenderung menginterveensi kedaerah-daerah, membuat pemerintahan di daerah tidak mempunyai kemandirian dalam memanajemeni daerahnya sendiri. Pemerintah daerah tidak punya otoritas untuk menentukan kebijakan daerah.

Pemerintah pusat idealnya mengurusi dua otoritas kebijakan, yaitu: kebijakan luar negeri dan pertahanan. Untuk keamanan pihak kepolisian koordinasi dengan para gubernur, bupati, walikota. Pemerintah pusat memberikan akses-akses investor dari luar negeri kedaerah-daerah yang bersifat koordinatif. Jadi kesan suasanannya demokrasi lebih hidup.

Pengontrolan dan pengawasan akan lebih efektif dilakukan sehingga bisa menekan serta meminimalisir adanya kolusi dan korupsi. Terutama peran pemerintah pusat yang hanya memberi akses-akses luar negeri. Sehingga peran legislatif dan yudikatif jadi lebih aktif dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah.

Tumbuhnya peran masyarakat sipil, karena legislatif mempunyai peran yang sesungguhnya. Tapi legislatif sekarang ini realitanya masih representasi pribadi-pribadi anggota legislatif itu sendiri, maka diperlukan pengawasan terhadap legislatif oleh, pers, OrMas, maupun LSM.

Apakah mekanisme-mekanisme diatas dapat menggerakkan roda demokrasi meski mulai dari awal yang kecil. Jika tanpa adanya supremasi hukum sebagai panglima dari proses demokrasi itu sendiri.

Perbedaan kepentingan merupakan suatu kasus yang tidak mudah, apalagi penegakan hukum. Pemilu yang sehat merupakan cara untuk mendapat legitimasi langsung dari masyarakat, sedang demokratisasi akan berproses melegitimasi hukum (kesadaran manusiawi), bukan untuk kepentingan para politisi, serta para wakil rakyat.

Diperlukan semacam tradisi budaya serta iklim politik yang sehat, dituntutnya kesadaran dari lembaga-lembaga yang terkait dengan proses demokrasi yang memerlukan waktu panjang. Perlunya dilakukan perombakan aturan mekanisme kerja pemerintah, pola hubungan pusat dan daerah yang perlu dirumuskan kembali. Dituntutnya pola pikir yang efektif dan efisien bagi penyelenggara negara.

Demokrasi merupakan suatu proses demokratisasi, suatu masyarakat disebut masyarakat demokrasi, jika didalamnya terdapat proses yang sejati ke arah demokratisasi, yaitu pemberian hak kewajiban, dan kebebasan yang semakin besar kepada rakyat sebagai pemenang kekuasaan atau kedaulatan yang sebenarnya. Disini posisi rakyat merupakan posisi paling vital dalam sistem demokrasi, demokrasi lebih dari seperangkat aturan dan prosedur konstitusional yang menentukan bagaimana suatu pemerintahan berfungsi.

Bahwa demokrasi itu semacam model ciptaaan untuk mengatasi perbedaan pendapat. Tapi cara mengatasinya harus damai, humanis, konstitusional, dan tidak berdarah. Sebab konflik kan bisa berdarah. Dan kalau setiap konflik diselesaikan secara berdarah kan masyarakat negara akan hancur.

Dalam sistem demokrasi, pemerintah hanyalah salah satu unsur yang hidup berdampingan dalam struktur sosial dari lembaga-lembaga yang banyak dan bervariasi, partai politik, organisasi massa, dan asosiasi. Keanekaragaman ini disebut pluralisme, dan ini mengamsusikan bahwa banyak kelompok terorganisasi dan terlembaga, didalam masyarakat demokrasi, pemerintah akan sangat bergantung pada legitimasi dari masyarakat untuk kehidupan kekuasaan mereka. Dalam kehidupan ber-demokrasi, kekuasan pemerintah secara hukum telah diuraikan dengan jelas dan dibatasi dengan tajam, sebuah pemerintahan demokratis tidak mengawasi, mendikte, atau menilai isi tulisan ataupun ucapan seseorang, hak dan tanggung jawab demokrasi berpijak pada prinsip bahwa : “pemerintah untuk melayani rakyat ; rakyat ada bukan untuk melayani pemerintah“. Dengan pengertian bahwa, rakyat adalah warga suatu negara yang merupakan basis kehidupan demokrasi, bukan kawula alitnya pemerintah.

Sementara negara melindungi hak-hak warga negaranya, maka sebagai imbalannya warga negara memberikan kesetiaannya mereka kepada negara. Meskipun negara Indonesia telah merdeka setengah abad yang lalu, tapi sampai dengan hari ini belum menemukan konsep mengenai bentuk demokrasi yang tepat, yang ada hanyalah adopsi yang dilakukan oleh para kaum terpelajar serta pemimpin kita, untuk mengimpor konsep-konsep demokrasi dari luar negeri.

Kenapa kita tidak melihat dan membaca dulu nilai-nilai kultural bangsa kita yang mungkin dapat mendukung proses demokratisasi di negeri ini, sehingga perlu untuk dikembangkan, mana unsur-unsur budaya demokrasi di Indonesia yang betul-betul bisa bernilai nasional dan bukan hanya lokal, daerah, atau suku?. Sementara kita secara konkret mengetahui segi kebhinnekaan budaya kita dan itu merupakan tantangan kita untuk menemukan segi maupun sisi budaya demokrasi kita dan itu harus diakui masih dalam proses perkembangannnya.

Perkembangan demokrasi itu bergantung pada, bagaimana suatu pemerintahan yang demokratis bisa menampung dan menyalurkan aspirasi serta kepentingan yang yang di suarakan atau yang di ekspresikan oleh rakyat.

Dengan adanya keterbukaan yang dilakukan oleh suatu pemerintah adalah suatu “niat baik“, “bukan cara“, begitu pula demokrasi harus kita pandang sebagai niat baik “mencapai tujuan“, dan bukan tujuan itu sendiri, karena yang esensial adalah proses, dimana demokrasi adalah suatu nilai dinamis, nilai esensialnya adalah proses kearah yang lebih maju dan lebih baik dibanding dengan yang sedang dialami masyarakat atau negara.

Demokrasi merupakan sebuah permainan (hati nurani) yang teratur, dan aturan-aturan tersebut dapat terwujud jika aspirasi atau keinginan warga masyarakat yang berkedudukan sama itu dapat diungkapkan dengan ekspresi yang bebas.

Maka berkenaan dengan hal tersebut di perlukan adanya kesadaran tentang etika dan aturan main dalam bermusyawarah, yaitu : bahwa hak setiap warga negara untuk memilih dan menyatakan pendapat serta pemikiran, wajib bagi setiap warga negara untuk mendengarkan pendapat serta pemikiran, wajib bagi setiap warga negara untuk mendengarkan pendapat serta pemikiran orang lain begitu juga sebaliknya, supaya membentuk inti ajaran tentang musyawarah. Jika potensi setiap orang untuk benar dan baik mengakibatkan adanya untuk memilih dan menyatakan pendapat, potensi orang untuk salah dan keliru mengakibatkan adanya kewajiban untuk mendengarkan pendapat orang lain. Dan sekali seseorang merasa tidak perlu mendengarkan pendapat orang lain, yang berarti ia sengaja melepaskan diri dari ikatan sosial berdasarkan hak dan kewajiban, saling memberi isyarat tentang kebaikan dan kebenaran. Apabila kaum terpelajar tersebut merasa dirinya sombong maka ia akan terjerembab ke dalam lembah kedzoliman, dalam keadaan seperti tersebut ia akan berkembang menjadi musuh masyarakat, yang disebabkan dorongan pada dirinya, untuk bertindak bertindak sewenang-wenang, karena merasa paling baik dan benar.

Pemerintah demokrasi merupakan, suatu pemerintahan yang dipilih langsung oleh umat dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan umat dan dijalankan langsung oleh pejabat-pejabat untuk membuat keputusan politik yang rumit, merumuskan undang-undang dan menjalankan program untuk kepentingan umum (populis), yaitu suatu pemerintahan, dari umat, oleh umat, dan untuk umat.

achmad fathoni

Alumni IAIN Sunan Ampel 2005

Sekarang pekerja sosial di PC GP Ansor Gresik

0 comments:

Tempat Download Gratis

 

Eson Grisee Copyright © 2009 Community is Designed by Bie