06 March 2008

    NU POLITIK, POLITIK NU

    Pedoman Berpolitik Warga NU


    Melihat kenyataan bahwa Khittah NU hasil Muktamar NU XVII di Situbondo mengalami banyak hambatan dalam pemasyarakatannya, akibat semangat berpolitik praktis warga NU yang tidak dibarengi dengan pemahaman yang utuh tentang politik dan jati diri NU sendiri, maka Muktamar NU XVIII di Krapyak Yogyakarta tahun 1989 memutuskan Pedoman Berpolitik Warga NU yang terdiri atas 9 butir:

    1. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945;

    2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integritas bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat;

    3. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama;

    4. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

    5. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama;

    6. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlaq al karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah;

    7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apa pun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan;

    8. Perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap terjaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama;

    9. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.

    Sembilan butir Pedoman Berpolitik yang begitu indah, ternyata bernasib hampir sama dengan sembilan butir Khitthah NU. Meskipun dari pihak pihak di luar NU kedua keputusan dari dua Muktamar NU itu mendapatkan sambutan dan sanjungan luar biasa, ternyata di kalangan NU sendiri,sekedarmembacanya saja, seolah-olah enggan dan malas.

    Akibatnya, kelakuan politik warga NU yang terjun di politik pun tak bisa dibedakan dari yang lain. Seperti kelakuan politik mereka yang tidak memiliki pedoman. Sama seperti sikap dan perilaku umumnya warga NU yang tak bisa dibedakan dari yang lain. Seperti sikap dan perilaku mereka yang tidak memiliki Khitthah.

    Cobalah singkirkan sebentar saja nafsu dan urusan kepentingan sesaat yang sedang mengkabuti pikiran dan simaklah butir-butir pedoman politik tersebut dengan tenang, pastilah Anda akan melihat betapa mulianya. Atau sekedar baca sajalah seperti membaca koran, insya Allah indahnya pedoman itu akan tampak.

    Kalau awam NU —yang melek huruf sekalipun— tidak membacanya, masih bisa dimaklumi; karena mungkin mereka belum terbiasa dengan budaya baca atau tidak tertarik dengan persoalan politik. Tapi ‘elite NU’ yang sangat bersemangat berpolitik kok tidak membaca pedomannya sendiri — sama dengan ‘elite NU’ yang berjalan tidak di atas Khitthahnya— sungguh tak bisa dimengerti. Jangan-jangan mereka pun sebenarnya awam tentang NU atau awam tentang politik, atau awam tentang keduanya. Atau memang kepentingan dunia terlalu perkasa untuk dilawan? Semoga Allah merahmati dan memberi hidayah kepada kita.

    ISLAM BUKAN PEMARAH

    SEBUAH PERADABAN PERALIHAN ISLAMISASI NAN DAMAI

    (BUKAN ISLAM MILITER)

    Sejarah peradaban Islam, diartikan sebagai perkembangan atau kemajuan peradaban Islam dalam perspektif sejarahnya.

    Berawal dari tersentuhnya masyarakat jahiliyah, yang berada dikawasan Timur Tengah Jazirah Arab. Maka karena semua peradaban yang lebih dulu eksis dikawasan belahan lain misalnya, peradaban Romawi, peradaban Persia, peradaban Bizantium. Akan tetapi bagi seorang Nabi Muhammad, justru peradaban masyarakat jahiliyah tersebut disentuh oleh Nabi, dengan sentuhan halus proses akhlaqisasi (Islam) hingga memunculkan istilah peradaban Islam dalam bukunya (Benturan antar Peradaban) Samuel P. Huntington.

    Masa proses perkembangan peradaban Islam di Jazirah Arab zaman jahiliyah, dengan perjalanan serta penyebaran yang sampai meluas ke berbagai benua, diawali Asia terus menyeberang melalui laut Merah menuju benua hitam (Afrika), terus melangkah maju melewati selat Jabal Thoriq (Gibraltar), melalui Spanyol menuju benua Eropa. Untuk membangun nilai-nilai peradaban Islam.

    Perkembangan peradaban Islam diberbagai tempat didunia. Peradaban Islam Timur tengah, peradaban Islam Asia, dan peradaban Islam Spanyol (Cordoba). Perkembangan dan kemajuan serta pertumbuhan peradaban Islam yang didasari oleh, olah maupun pola berfikir (intelektual) sedikit lebih maju dari masyarakat Islam. Sehingga dapat mempengaruhi cara berfikir (pencerahan) terhadap peradaban (negara) lain.

    Demi pengembangan disiplin keilmuan untuk pembangunan pengetahuan adalah kekuatan ditengah arus globalisasi peradaban dan universalisasi nilai-nilai, adalah suatu keharusan bila sejarawan menyumbangkan ilmunya kepada bangsanya dalam usaha mengenal diri sendiri agar supaya rekayasa masa depan tetap berpijak pada jati diri bangsa. Dalam kaitan inilah sejarah peradaban mempunyai peranan yang penting, karena hanya dengan melihat ke masa lalu, kita akan dapat membangun masa depan yang lebih baik. Selebihnya, sejarah juga menawarkan cara pandang yang kritis mengenai masa lalu, sehingga tidak akan terjebak pada archaisme dan anakronisme, sekalipun kita berpijak pada jati diri yang terbentuk di masa lampau sejarah kita.

    Peradaban, sebuah peran kehidupan manusia yang lebih menekankan pada aspek ekspresi akhlaqisasi yang telah teratur serta terstruktur, punya model, maupun berwujud nyata melalui kecerdasan nalar dengan sifat religinya.

    Peran (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peran.

    Peran yang melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan posisi dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi seseorang dalam masyarakat (yaitu social position) merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu pada organisasi masyarakat. Peran lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses. Jadi, seseorang menduduki suatu posisi dalam masyarakat serta menjalankan suatu peran.

    Karena gerak perkembangan masyarakat banyak dipengaruhi oleh peran-peran dari sebuah sistem kedudukan dengan fungsi dan penyesuaian diri, dari suatu proses sejarah.

    Proses peradaban dagang di Gresik

    Proses peradaban Islam yang dilakukan oleh beliau-beliau tersebut adalah melalui proses dagang dengan penduduk asli Gresik ketika itu. Kedua pejuang muslimah dan muslim tersebut datang dengan kapal-kapal dagangnya yang besar dengan membawa barang dagangannya untuk ditawarkan dengan cara-cara ajaran Islam.

    Meskipun proses Islamisasi di kota Santri masih penuh tantangan perjuangan, akan tetapi semuanya itu demi terwujudnya akhlaq rachmatan lil alamin (Gresik). Bagi para pemimpin (pedagang) seperti Fatimah binti Maimun maupun Syech Maulana Malik Ibrahim, kata perjuangan untuk tegaknya agama Islam. Merupakan harga mati untuk memperjuangkannya dengan di iringi oleh prinsip-prinsip pengertian dan pemahaman terhadap budaya masyarakat Gresik pada waktu itu.

    Berperan sebagai pedagang, menyebarkan Agama Islam sambil berdagang agar tidak terlalu kelihatan vulgar dan agar orang Gresik tidak menjadi kaget, menjadikan Syech Maulana Malik Ibrahim diberi wewenang sebagai “subandar ing Gersik” (syahbandar di Gresik), serta di perbolehkan menyebarkan Agama Islam kepada orang di Gresik yang bersedia masuk Islam.

    Seorang ulama’ pedagang, pejuang dalam proses penyesuaian bagi perkembangan peradaban Islam di pulau Jawa secara umum dan di Gresik secara khusus, perjuangan memang penuh dengan tantangan, hambatan, dan kesadaran waktu (rahmat Tuhan).

    Syech maulana Malik Ibrahim dikenal sebagai ulama’ ahli pengobatan selain pedagang, dan banyak memberikan pertolongan kepada penduduk sekitar apabila ada yang sakit. Keahliannya yang lain adalah ahli dalam bidang strategi politik untuk misi akhlaqisasi (Islam) elite politik kerajaan Majapahit yang pada waktu itu di pimpin oleh rezim penguasa yang bernama Wikrama Wardhana (1369 – 1428 Masehi).

    Itulah proses akhlaqisasi di salah satu pulau nusantara, Jawa pada zaman itu sudah terjadi interaksi sosial yang bersifat global, dan bahwa juga masyarakat Gresik telah mengenal pedagang-pedagang Islam yang penuh dengan sifat sopan santun dan akhlaq yang mulia. Sehingga menimbulkan rasa simpati dari penduduk sekitar dan disitulah sebuah proses akhlaqisasi bukan Islamisasi yang kita kenal selama ini, melestarikan budaya lama yang baik, mengikuti budaya baru yang lebih baik tanpa harus terhanyut, Disamping itu pula. Ini adalah sikap melestarikan dan membuang, yang biasa dilakukan orang, dalam sejarah manusia, bukan?

    Wallahu a’lam bi shawab.

    nur achmad fathoni

    Anggota IKASA IAIN Sunan Ampel 2005

    HIDUP HARUS SABAR

    Bulan romadlon dan idul fitri kita bisa bagaimana dengan bulan lain

    Romadlon cermin menuju hidup fitrah (sadar). Ahlan Wa sahlan hari kemenangan (idul fitri). Bulan suci Romadlon baru saja kita perjuangkan bersama-sama menahan cermin diri kita dalam dua gerbang yaitu kelakuan baik maupun kelakuan buruk, di dalam satu bulan suci penuh kita semua bisa menonjolkan niat yang baik-baik dalam tindakan.

    Satu bulan (puasa) penuh kita bisa menampilkan dalam pemenuhan sebagai makhluk (sosial) sempurna Tuhan yang biasa disebut manusia. Nilai luhur semacam penampilan kejadian di dalam bulan yang disebut Romadlon itulah yang kadang kita sebagai manusia biasa, kurang bisa menampilkan selama setelah bulan Romadlon berlalu begitu saja. Seolah atau memang manusia seperti kita ini diberi (punya) nikmat berupa sifat ingat dan sifat lupa.

    Selain makhluk sosial para manusia juga biasa menerima sebutan makhluk individu. Yang pada akhirnya mendapat layak juga disebut makhluk duniawi, sebagai salah satu makhluk hidup planet bumi, pastilah akan saling berinteraksi satu sama lain dan sangat mungkin kita tidak bisa untuk menghindarinya, walau dengan macam rasa (egois) atau halalkan cara apapun.

    Bagi mereka yang tidak atau mengikuti perkembangan alam pikiran individu, memang terasa janggal rasa bila membaca buku-buku yang antara lain dalamnya termaktub kalimat-kalimat yang seakan-akan atau memang dengan sengaja meniadakan, mengejek, atau mengingkari adanya Tuhan. Perkataan janggal adalah terlampau lunak untuk itu. Sebaiknya perkataan itu diganti dengan marah, dan ini adalah soal yang gampang dimaklumi. Diktator kebiasaan yang turun-temurun itu memang menghendaki agar semua dapat terangkum dalam kekuasaannya. Tapi sebagaimana juga dalam segala macam ketertiban kemasyarakatan, maka dalam hal ini pun ada brandal-brandal yang menentang kediktatoran kebiasaan. Dan sepanjang sejarah mereka ini adalah perintis jalan baru atau dia adalah kedua-keduanya sekaligus.

    Apa mungkin karena bentuk planet bumi ini bulat (telur), sehingga apapun pemikiran maupun tindakan manusia selalu ikut berputar seperti tempat pijakannya (bumi). Sehingga selalu, ada lupa, ada ingat, ada baik, ada buruk, ada muda, ada tua, ada susah, adapula senang, namun demikian semua kehidupan makhluk (manusia) sangat perlu adanya sikap seimbang (sifat tengah).

    Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan kestatisan kepercayaan, maka Tuhan seakan-akan mendapat tempat dua macam dalam jiwa manusia. Tuhan disatu tempat adalah Tuhan yang dikehendaki agar diurai, dipahami.

    Jadi kita mengenal Tuhan di dua tempat, yang harus dipercayai dan yang harus dipahami. Yang pertama adalah akibat atau hendaknya sebagai akibat dari yang kedua. Bila yang ada pada seseorang hanya yang pertama belaka, ini tidaklah mengherankan. Ini adalah suatu soal tukang sulap yang mana seluruh jawaban sudah sedia. Yang kedua adalah soal pencarian, pengertian, perjuangan jiwa, tak ubahnya dengan seseorang yang dengan tekunnya mencari unsur-unsur baru yang belum pernah didapatkan orang, untuk kelangsungan sejarah kemanusiaan. Kebimbangan atau kesangsian yang sehat adalah lebih baik daripada kepercayaan atau keyakinan yang buta, dan hanya baik bagi golongan yang kehilangan akalnya.

    Keberanian menghadapi yang baru sangat diperlukan dalam masa perubahan, keberanian yang terbit dari hati yang jujur. Juga keberanian mengkaji azaz-azaz pemikiran yang sesungguhnya jadi jalan untuk mengerti, memahami. Dengan tiada keberanian ini, jalan ke arah penindasan hak-hak asasi terbuka luas-luas.

    Tentu saja perintisan jalan kearah keinsyafan baru itu membutuhkan tunjangan dari keberanian yang berpangkal pada kejujuran, dan kejujuran yang disebabkan karena pemilikan pribadi sendiri kembali.

    Sifat kasih sayang serta saling mencintai sesama kehidupan, melakukan interaksi sosial. Suasana fitrah (sadar) manusia bisa disebut makhluk sempurna, apabila di hari nan fitri kita semua bisa menciptakan suasana saling berbagi cinta serta kasih sayang dalam upaya bersih hati para manusia. Yang dalam satu bulan penuh Tuhan maha pengasih dan maha penyayang memberikan ruang serta waktu interaksi kehidupan untuk saling berma’af-ma’afan, minal aidin wal faidzin, mohon ma’af lahir dan batin untuk menuju halal bi halal sehingga terciptalah cita-cita Islam Rahmatan lil alamin.

    achmad fathoni

    Alumni IAIN Sunan Ampel Surabaya 2005

    JIHAD, JAHAT, DAN JAHIT.

    Jihad, G-WOT dan Humanisme
    5 September 2007 13:16:53

    Oleh: Agus Maftuh Abegebriel

    Dalam sebuah forum internasional ” Transnational Islamic Movements; Network, Structure and Threat Assessment”, saya berkesempatan bertemu dengan pakar-pakar peneliti dan pengamat gerakan Islam dari berbagai belahan dunia.

    Mereka adalah Mateen Siddiqui, wakil presiden ISCA (The Islamic Supreme Council of America-al-Majlis Al-Islami al-Syar’i al-A’la Fi Amerika), sebuah lembaga yang didedikasikan ”Promoting tolerance and moderation in Islam”. Mateen ”tampil beda” di forum tersebut lengkap dengan ”tsaqafah” jenggot lebatnya dan kopyah putih yang menambah kewibawaannya sebagai pengamal thariqah dibawah mursyid Syeikh Muhammad Hisnam Kabbani. Hadir juga sang penulis buku ”Inside Al-Qaeda”, Dr. Rohan Gunaratna yang juga peneliti senior pada Center for Study of Terrorism and Political Violence di Universitas St. Andrews dan International Policy Institute for Terrorism, Israel. Pakar-pakar level internasional lainnya yang berkesempatan hadir adalah Prof. Dr. Greg Fealy dari ANU (Australian National University) Canberra, Prof. Dr. Zachary Abuza, seorang guru besar dari Simmons College Boston yang memiliki keahlian dalam penelitian ”Terrorist Fundraising” dan hadir juga intelektual dan mantan Duta Besar Pakistan untuk Srilanka Prof. Dr. Hussein Haqqani yang pada tahun 2005 meluncurkan buku berjudul ”Pakistan between Mosque and Military”.

    Disela-sela Coffe Break, saya sempatkan untuk berbincang dengan Hussein Haqqani dengan memunculkan beberapa diskursus tentang politik Islam yang memang sangat urgen untuk dipertanyakan kepada beliau yang pernah menjadi Penasehat tiga Perdana Menteri Pakistan yaitu Ghulam Musthofa Jatoi, Nawas Syarif dan Benazir Bhutto. Dalam keyakinan saya–yang pernah mengadakan penelitian gerakan Islam Internasional–Hussein adalah orang yang sangat tahu dan saksi penting–meski bukan saksi kunci–dari sebuah perselingkuhan politik–agama yang didesain bersama oleh AS, Pakistan dan Saudi Arabia. Ketika Husein Haqqani menjadi penasehat PM Pakistan, terjadi mobilisasi mujahidin internasional di Peshawar yang menjadi embrio dari ”The Virtual University for Future Islamic Radicalism”. Saya pertanyakan kepada Husein–yang masa mudanya aktif sebagai anggota Jama’ate Islami-nya Maududi–tentang bagaimana sebenarnya desain Jenderal hamed Gull (Kepala Intelijen Pakistan-Interservice Intelligence, ISI) yang menginginkan sebuah ”International Islamic Front” untuk mengimbangi kekuatan NATO dan Pakta Warsawa. Hussein Haqqani, profesor di Universitas Boston, terlihat sangat kaget dengan pertanyaan tersebut terutama ketika saya menyebut nama Hameed Gull yang punya hubungan dekat dengan W.J.Casey (CIA). Jawaban Hussein hanya dengan ”bahasa tertawa” dan saya sudah cukup paham dengan jawaban bahasa tubuh tersebut. Hussein menyadari bahwa memang pernah terjadi sebuah even besar di Pakistan yang dampaknya sekarang mendiaspora ke seluruh kawasan benua.

    Dalam penelitian saya yang tertuang dalam buku ”Negara Tuhan; The Thematic Encyclopaedia” memang mengarah pada kesimpulan bahwa ada keterlibatan operasi intelijen dalam skandal Peshawar dalam memobilisasi radikalisme internasional untuk melawan Uni Soviet, yaitu intelijen Saudi Arabia dengan komandan Pangeran Turki al-Faisal yang punya hubungan dekat dengan Usamah bin Laden, CIA yang dimonitori oleh William Joseph Casey dan juga MI-6 (Millitary Intelligence Sextion Six) Inggris dan ISI (Interservice Inteligence) Pakistan dibawah komando Jenderal Hameed Gull dan kemudian Jenderal Akhtar Abdurrahman.

    Kutipan berbahasa Arab diawal kata pengantar ini merupakan ungkapan jujur dari Richard A. Clarke, sebagai ”orang dalam” gedung putih dengan jabatan penasehat US National Security. Clarke mengungkapkan kejujurannya dalam menanggapi ”terrible job”nya Bush dalam sebuah karya monumentalnya yang bertitelkan ”Againts All Enemies; Inside America’s War on Terror” yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab dengan judul ”Fi Muwajahati Jami’i al-A’da; Min Dakhil Kharbi Amerika ala al-Irhab”. Dalam kutipan dimuka, Clarke membeberkan bagaimana operasi rahasia dalam pemerintahan Presiden Reagan, yang ketika itu CIA dikomandani oleh Casey, menggelontorkan berjuta-juta dollar untuk mendukung dan menumbuhsuburkan jejaring radikalisme militan internasional untuk mengakhiri sejarah ”the Red Peril” Uni Soviet. Clarke juga membuka rahasia bahwa pada tanggal 12 September 2001 sehari setelah tragedi WTC, dia dipanggil mendadak oleh Presiden Bush dan diperintahkan untuk mencari bukti keterlibatan Saddam Hussein dalam serangan tersebut. Namun Clarke dengan nyali besarnya menulis laporan resmi kepada Presiden Bush bahwa ”tidak ada bukti sama sekali yang mengarah pada keterkaitan Saddam Hussein dengan serangan WTC tersebut” dan laporan Clarke ini juga ditandatangani oleh CIA dan FBI. Akan tetapi laporan tersebut karena tidak sesuai dengan keinginan Bush dikembalikan lagi kepada Clarke dan diberi sebuah catatan yang berbunyi ” Please Update and Resubmit”.

    Pasca 11/9, bermilyar-milyar huruf disusun dan bermilyar kata dirangkai untuk mendiskusikan tragedi kemanusiaan tersebut dan salah satunya adalah ”Againts All Enemies” tersebut. Dari sekian banyak karya, terdapat satu buku yang paling menohok jantung pertahanan Amerika yaitu sebuah tulisan mantan Menteri Teknologi Jerman Andreas von Bulow bertitelkan Die CIA und der 11 September yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan judul CIA and September 11. Von Bulow yang pernah menjadi kepala divisi intelijen di Komite Parlemen Jerman ini memaparkan secara gamblang tentang apa yang sebenarnya terjadi dibelakang layar tragedi WTC 11/9 tersebut. Buku yang lengkap memuat daftar nama para pembajak, crew dan penumpang pesawat tersebut menggiring kepada sebuah kesimpulan bahwa Amerika dan CIA-nya terlibat dalam terjadinya tragedi kemanusiaan tersebut.

    Buku Von Bulow yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab dengan judul ”CIA wa Dauruha Fi Ahdas 11/9, Al-Irhab al-Duwali wa Daur Ajhihati al-Mukhabarat” juga memaparkan sebuah bukti perselingkuhan agama-politik yaitu keberadaan Usamah bin Laden yang pernah melaporkan kepada CIA bahwa pasukan militan multinasional dari 46 negara telah siap mengakhiri riwayat negara Uni Soviet. Dalam sub bab tersendiri, Von Bulow juga melayangkan kritik pedasnya kepada sang think-tank legendaris AS, Zbigniew Brzezinski yang mempunyai andil besar dalam memberikan masukan-masukan kepada pemerintah Amerika.

    Zbigniew Brzezinski pada tahun 1997 pernah memunculkan buku penting yang merupakan panduan perselingkuhan As-Islam Fundamentalis berjudul ”The Grand Chess Board; American Primary and It’s Geostrategic Imperative” yang edisi Timur Tengahnya digarap oleh Amel al-Syarqy dengan judul ”Riq’ah al-Satranji al-Kubra; al- Usuliyyah al-Amerikiyyah wa Mutatallibatuha al-Jeostratejiyyah”. Buku Zbig ini menjadi buku wajib dan pegangan pokok bagi komunitas neokonservatif Amerika (al-Usuliyyah al-Amerikiyyah).

    Fenomena Devil's Game

    Buku karya Dreyfuss yang berjudulkan agak kasar dan vulgar ini memiliki anak judul ”How the United States helped unleash Fundamentalist Islam” yang sebenarnya merupakan konklusi dari pengembaraan Robert Dreyfuss digurun Sahara politik Timur Tengah. Investigasi Dreyfus ini melibatkan para pejabat Departemen Luar Negeri AS, para mantan pejabat intelijen, para diplomat, militer dan para expert Timur Tengah.

    Buku edisi Inggris setebal 390 halaman ini membeberkan data keterlibatan AS dalam proyek penumbuhsuburan Religious Extremist. Ketika saya membaca buku ini terutama narasi dan sistematikanya terlintas dibenak saya sebuah gaya penulisan yang dikenal dalam Ulumul Qur’an dengan sebutan Munasabah/keterkaitan. Bab-bab dalam buku ini merupakan kesatuan yang integral dan harus dibaca secara urut, karena terkait dengan ”Munasabah bain al-Abwab” keterkaitan antar bab serta terkait dengan kronologi kejadian. Setiap akhir bab dipungkasi dengan paragraf yang akan menghubungkan dengan awal paragraf bab selanjutnya, sehingga buku ini memang harus dibaca secara komprehensif.
    Dalam beberapa kali kontak saya dengan Dreyfuss, dia minta maaf karena cerita perselingkuhan AS-Islam Fundamentalis yang locus-nya di Indonesia tidak sempat terekam dalam buku Devil’s-nya, meski dia beberapa kali menyebut kata ”Indonesia”.

    Data-data yang ditampilkan oleh Dreyfuss memang sesuatu yang sangat ”fresh”, ”genuine” dan spektakuler. Dreyfuss dengan berani melancarkan kritik kepada pemerintah AS yang gegabah dan ceroboh dalam pertemanannya dengan Islam fundamentalis. Di mata Dreyfuss ada persamaan signifikan antara Islam fundamentalis dan radikalisme Gereja yaitu keduanya menganggap pendapat kelompoknya yang paling benar dan ”yang lain” adalah murtad dan kafir.

    Fundamentalisme Islam dan radikalisme Gereja sama-sama meyakini adanya ”God sovereignty” dan persatuan antara agama dan negara yang tidak terpisahkan. Para fundamentalis Gereja menganggap bahwa Amerika adalah ”Negara Agama Kristen (Christian State)” yang harus menguasai seluruh dunia dan di sisi lain, Fundamentalisme Islam menginginkan Khilafah global internasional untuk menghegemoni komunitas lain.

    Keyakinan inilah yang bisa mendorong Direktur CIA William Joseph Casey-seperti tertulis dalam kutipan di awal pengantar ini-menjadikan Islam politik dan Gereja Katolik sebagai sekutu dan partner alami untuk meluluh-lantahkan komunisme ateistik Uni Soviet.

    Dalam bab ”Militan Islam dalam Bingkai Israel” yang edisi Inggrisnya ”Israel’s Islamists” Dreyfuss memaparkan perjalanan intelijen Israel, Mossad dan Shin Bhet dalam menumbuhkembangkan gerakan Hamas yang didesain untuk mengimbangi Nasionalisme Arab yang sedang dibangun oleh PLO-nya Yasser Arafat.

    Organisasi Harakah al-Muqawamah al-Islamiyah (Gerakan Perlawanan Islam) dikenal dengan akronim Hamas merupakan gerakan Islam terpenting di Gaza dan Tepi Barat yang diduduki oleh Israel. Kata Hamas juga berarti ”semangat” didirikan pada Desember 1987, yaitu awal dimulainya intifadhah (pemberontakan) orang-orang Palestina, sebagai ungkapan keorganisasian dari partisipasi al-Ikhwan al-Muslimun dalam perlawanan anti-Israel, setelah dua dasawarsa bungkamnya politik Islam. Sayap pasukan militernya disebut ’Izz al-Din al-Qassam, mengambil nama seorang Syeikh yang dibunuh oleh Inggris pada saat dimulainya revolusi besar Palestina tahun 1936.

    Dengan mengklaim otoritas al-Ikhwan al-Muslimun dan berhubungan dengan cabang-cabang al-Ikhwan di Yordania dan Mesir, gerakan ini memiliki agenda utama mengIslamkan kembali masyarakat. Israel diyakini sebagai ujung tombak agresi Barat terhadap Islam sehingga pembebasan Palestina pada dasarnya adalah masalah agama, namun praktek mereka secara politis sangat terbatas. Al-Ikhwan al-Muslimun menahan diri dari penentangannya terhadap kekuatan pendudukan Israel dan membatasi aktivitas politiknya atas perlawanan terhadap Partai Komunis Palestina. Pada saat ini, kelompok Fatah-sayap utama dalam PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) dan Yordania dengan senang hati mendorong serangan gerakan Islam terhadap pihak kiri, sedangkan Israel memiliki kepentingan dalam mendorong perpecahan dikalangan bangsa Palestina. Mereka berupaya membangun jaringan kesejahteraan sosial yang luas di Gaza di bawah koordinasi tokoh karismatis, Syeikh Ahmad Yasin, seorang guru yang cacat. Mereka juga menyusup ke sebagian besar masjid di Gaza dan mulai menguasai Universitas Islam.

    Meskipun pada mulanya bersifat spontan, intifadhah segera menjadi terorganisasi melalui adanya komisi lokal dan regional. Dalam rangka memobilisasi seluruh masyarakat Palestina, Hamas dibentuk di Gaza atas prakarsa Dr. ’Abd al-Aziz al-Rantisi, seorang dokter yang bekerja di Universitas Islam dan Syeikh Yasin. Organisasi baru ini semula merekrut al-Ikhwan secara perorangan saja, tetapi pada Februari 1988, al-Ikhwan secara resmi menjadikan Hamas sebagai ”senjata tangguh”nya. Dalam perjanjiannya (mistaq) yang dipublikasikan pada Agustus 1988, Hamas menjelaskan sikap anti Israelnya. Jihad melawan Israel bagi Hamas menjadi fardlu ain, dan Hamas mengklaim untuk terus melanjutkan dengan jihad al-Ikhwan sejak 1930-an. Di mata Hamas, Israel adalah negara Yahudi yang menghendaki kehancuran Islam, tidak boleh eksis secara sah, dan aksi militer sebagai jihad suci merupakan satu-satunya pilihan untuk membebaskan Palestina.

    Meskipun demikian, ternyata masih ada benih ketegangan antara Hamas dengan kaum nasionalis Palestina. Bagi Hamas, Palestina merupakan wakaf Islam hingga akhir zaman. Tidak sejengkal pun tanah Palestina boleh diserahkan kepada Yahudi. Selain itu, Islamisitas Palestina merupakan bagian dari agama, dan siapa pun yang meninggalkan agamanya, maka ia rugi. Oleh sebab itu, atas nama agama, Hamas menolak program politik yang dianut PLO ketika mendirikan negara Palestina. Pada November 1988, PLO mengakui keabsahan eksistensi negara Israel dan meminta diselenggarakannya konferensi internasional dibawah pengawasan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk mendirikan negara Palestina yang merdeka dan hidup berdampingan dengan Israel.

    Dalam paparan lain, Dreyfuss mencatat bahwa historitas masuknya AS secara insentif ke kawasan Timur Tengah dimulai pada 1945, sebuah meeting diatas sebuah geladak kapal yang berlabuh di Great Bitter Lake di atas Terusan Suez. Pada bulan Februari, dalam perjalanannya kembali ke Washington dari Yalta, Franklin Delano Roosevelt bertemu Raja Abdul Aziz bin Saud. Pertemuan pertama antara seorang presiden Amerika dengan seorang Raja Saudi ini di dek kapal lengkap dengan pesta kambing merupakan tiang pancang bagi keberlangsungan hubungan mesra kedua negara setengah abad kemudian.

    Dreyfuss juga mengungkapkan pertemuan penting antara aktivis al-Ikhwan al-Muslimun, Said Ramadan-menantu Hasan al-Banna dengan Presiden AS Eisenhower-biasa dipanggil Ike-di ruang Oval Gedung Putih pada Agustus 1953. Said Ramadan berada di Amerika Serikat untuk menghadiri Colloquium on Islamic Culture di Princeton University, dengan lawatan sampingan ke Washington. Colloquium tersebut penuh dengan kemewahan, diselenggarakan di Nassau Hall Princeton di faculty Room. Di antara para pembicara dan peserta ada beberapa Orientalis terkemuka masa itu, orang-orang seperti Phillip K. Hitti, T. Cuyler Young, dan Bayly Winder dari Princeton, Wilfred Cantwell Smith dari McGill University, Richard Nelson Frye dari Harvard University, Carleton Coon dari University of Pennsylvania, dan Kenneth Cragg, editor jurnal The Muslim World, dari Hartford Seminary Foundation. Sebagai pengarah konferensi adalah Dr. Bayard Dodge, mantan Rektor American University di Beirut.

    Biayai konferensi, termasuk biaya transportasi para peserta dari Timur Tengah, adalah tanggung jawab International Information Administration (IIA), suatu badan di bawah Departemen Luar Negeri AS, yang secara resmi dibentuk pada 1952 dan kemudian pada 1953, dilebur dalam Lembaga Informasi AS yang terkait dengan CIA.

    Mereka Para Think-Tank

    Dalam bab terakhir, Dreyfuss juga mengkritik ketidakobyektifan intelektuan barat, Huntington dan Bernard Lewis, yang tidak jernih dalam melihat fenomena radikalisme dan kadang justru memberikan teori justifikasi benturan peradaban yang dijadikan landasan gerak pemerintah Amerika Serikat untuk melaunching Perang Global terhadap terorisme yang memakan banyak korban.

    Para neokonservatif Amerika pendukung mazhab “benturan peradaban” (shira’ al-Khadlarat) yang dipopulerkan oleh Bernard Lewis dan Samuel Huntington, memandang perang Presiden Bush terhadap terorisme bukan sebagai perjuangan melawan al-Qa’idah dan sekutu network-nya, tetapi sebagai pertarungan besar antara peradaban Yahudi-Kristen melawan Dunia Islam. Uniknya di Pentagon sendiri perang Global melawan Terorisme-Global War on Terrorism-yang biasa disingkat G-WOT (diucapkan “jee what”) memiliki kemiripan pronounsasi dengan kata “jihad”.

    Bernard Lewis yang alumni SOAS (School of Oriental Studies) Universitas London tahun 1936, memainkan peran strategis sebagai profesor, mentor dan guru bagi dua generasi Orientalis, akademisi, ahli intelijen AS dan Inggris, komunitas think-tank, dan kalangan neokonservatif. Sementara itu di sisi lain, dia juga mendapatkan banyak sekali kecaman dari spesialis akademik dalam bidang Islam yang menuding Lewis sangat bias dalam sudut pandangnya yang mendukung Zionis dan anti Islam. Lewis adalah seorang Yahudi Inggris yang lahir 31 Mei 1916, menghabiskan lima tahun selama Perang Dunia II sebagai operator Timur Tengah bagi intelijen Inggris, dan kemudian menetap di University london. Tahun 1974 dia bermigrasi dari London ke Princeton, dimana dia membangun ikatan dengan orang-orang yang nantinya memimpin gerakan neokonservatif. Lewis juga menjadi pengunjung tetap Moshe Dayan Center di Tel Aviv University, dimana dia membangun hubungan dekat dengan Ariel Sharon.

    Lewis-penulis The Clash Between Islam and Modernity in the Middle East-bergaul erat dengan para pejabat tinggi Departemen Pertahanan dan sering di undang untuk memberikan tutorial kepada Andrew Marshall, direktur Office of Net Assessments, sebuah think-tank internal Pentagon. Salah satu murid Lewis yang lain adalah Harold Rhode, seorang ahli Timur Tengah yang menguasai beberapa bahasa, bekerja di Pentagon selama lebih dari dua dekade, dan bertugas sebagai Deputi Marshall. Selama lebih dari dua puluh tahun sebelumnya, Lewis bertindak sebagai konsultan internal dalam bidang Islam dan Timur Tengah bagi sekelompok neokonservatif, termasuk Perle, Rhode dan Michael Leeden. Di tanya siapakah yang dia tarik sebagai ahli selama masa jabatannya sebagai direktur CIA , James Wooley menjawab, “Kami memiliki beberapa orang yang datang dan memberikan seminar. Saya masih ingat berbincang-bincang dengan Bernard Lewis”.

    Meskipun Lewis tetap menjaga polesan objektivitas akademiknya dan banyak intelektual yang mengakui prestasi Lewis sebagai sejarahwan dan referensi utama mengenai sejarah Kekaisaran Turki Utsmani, namun ternyata penulis buku The Crisis of Islam; Holy War and Unholy Terror ini terbukti mengabaikan segala pretensi detachment academic (pemihakan akademik) pada 1990-an. Pada 1998, dia secara resmi bergabung dengan kubu neokonservatif, menandatangani sebuah surat yang menuntut pergantian rezim di Irak dari ad hoc Committee for Peace and Security in the gulf, yang juga turut di tanda tangani oleh Perle, Martin Peretz dari The New Republic, dan para pejabat yang kemudian hari menjadi orang pemerintahan Bush, yakni Paul Wolfowitz, David Wurmser dan Dov Zakheim.

    Senada dengan Lewis, profesor Harvard University yang lahir 18 April 1927, Samuel Philips Huntington juga mempunyai kontribusi yang besar dalam mendorong Amerika ke jurang benturan peradaban. Menurut Huntington, bahwa dunia Yahudi-Kristen dan dunia Islam terkunci dalam sebuah kondisi perang kultural permanen. Para teroris seperti al-Qa’idah, yang masih sedang mencari bentuk ketika buku Huntington terbit-bukan sekedar sekelompok fanatik yang memiliki sebuah agenda politik, tetapi manifestasi dari sebuah konflik peradaban. Seperti sebuah ramalan Delphi modern, Huntington menyatakan bahwa para dewa telah menetapkan pertikaian itu, da manusia saja tidak mampu menghentikannya.

    Usamah dan Intelejen Internasional

    Raja Faisal, seorang raja tercerdas yang pernah dimiliki oleh Saudi mempunyai hubungan dekat dengan dinasti Bin Ladin. Dia adalah seorang raja moderat dan hidup sederhana mesti dia harus bekerja melayani rakyatnya selama 14 jam per hari. Raja Faisal adalah seorang raja yang berhasil menghapuskan praktek pernudakan di Arab Saudi dan juga yang berhasil mengantarkan kehidupan Saudi dari pola hidup abad pertengahan melompat jauh memasuki kehidupan modern dengan minyak sebagai benteng pertahanannya. Faisal juga yang telah memberikan kesempatan para wanita Saudi untuk berpartisipasi dalam mendapatkan pendidikan dan ini merupakan lompatan ”ijtihad” luar biasa yang pernah dilakukan oleh Faisal.

    Kedekatan dinasti Bin Ladin dengan raja Faisal inilah yang membuat hubungan Usamah bin Ladin awalnya sangatlah dekat dengan keluarga Kerajaan Saudi dengan ikatan historis dan politis sebagai penopangnya yang kemudian membuat holding company bin Ladin menjadi satu-satunya perusahaan yang licensed untuk proyek-proyek kerajaan.

    Hubungan Faisal-Bin Ladin ini berlanjut pada generasi kedua yaitu antara Usamah bin Ladin dengan Pangeran Turki al-Faisal yang tidak lain adalah kepala lembaga intelijen Saudi Arabia atau ”al-Istikhbarat”. Sebagai teman dekat Pangeran Turki pastilah Usamah bin Ladin mendapatkan informasi-informasi penting berkaitan dengan kebijakan-kebijakan kerajaan Saudi.

    Keterlibatan Usamah bin Ladin dalam konflik Afghanistan yang akhirnya menjadi hulu dari sebuah gerakan ”al-Irhab al-Alami” al-Qa’idah sang teroris internasional ini tidak bisa dipisahkan begit saja dengan perkawanan Usamah bin Ladin dengan Pangeran Turki Faisal yang juga melibatkan Intelijen Pakistan (ISI) dengan komandan Jeneral Radikal Hameed Gull dan CIA dalam kendali William Casey. Dalam hal ini Ahmed Rashid penulis ”Taliban; Militant Islam, Oil dan Fundamentalism in Asia” menggambarkan betapa ada “special deal” antara Usamah bin Ladin dengan pihak intelijen sebagai berikut:

    Bin Laden, although not a royal, was close enough to the royals and certainly wealthy enough to lead The Saudi contingent. Bin Laden, Prince Turki and General Gul were become firm friends and allies in a common sense”.

    Lebih lanjut dalam penggambaran potret keakraban Usamah bin Ladin dengan CIA, Rashid selanjutnya menulis:

    “In 1986 he helped build the Khost tunnel complex which the CIA was funding as a major arms storage depot, training facility and medical center for Mujaheddin, deep under the mountains close to the Pakistan border”.

    Perkawanan Usamah bin Ladin dengan CIA ternyata tidak terhenti pada sebatas kebijakan permukaan, akan tetapi sudah terlalu masuk ke dataran training militer dan juga finansial serta persenjataan. Rashid sempat mengutip pernyataan Usamah bin Ladin yang sangat vulgar mengungkap sejauh mana “pertemanan”nya dengan Amerika ketika memasuki episode jihad Afghanistan sebagai berikut:

    “To counter these atheist Russians, the Saudis chose me as their representative in Afghanistan, I settled in Pakistan in the Afghan border region. There I received volunteers who came from the Saudi Kingdom and from all over the Arab and Muslim countries. I set up my first camp where these volunteers were trained by Pakistan and American officers. The weapons were supplied by the Americans, the money by the Saudis. I discovered that it was not enough to fight in Afghanistan, but that we had to fight on all fronts, communist or Western oppression”.

    Ketika Usamah bin Ladin berada di Sudan, dia masih secara kontinue menebarkan kritik pedasnya terhadap Kerajaan Saudi dan juga terhadap “ulama tukang”nya. Kritik ini dimuat di media massa sebagai headline yang hal ini membuat Kerajaan Saudi semakin geram dan akhirnya pada tahun 1994 status kewarganegaraan Usamah di cabut oleh Saudi Arabia. Meski bukan seorang intelektual yang mumpuni dalam bidang agama, Usamah mempunyai nyali yang besar dalam melontarkan kritik pedasnya terhadap mufti besar Kerajaan Saudi yaitu Bin Baz yang kekuatan fatwa dan tausiyah-nya merupakan sesuatu yang harus dipatuhi termasuk juga keluarga kerajaan. Wacana pemikiran keagamaan di Saudi Arabia sudah dibatasi dengan ”Apa kata Bin Baz”.

    Pada tahun 1998, saya pernah mengadakan pertemuan langsung dengan Bin Baz, seorang ulama yang namanya pada awal tahun 80-an sudah akrab diteinga saya karena keterlibatannya dalam sebuah lembaga yang pada saat itu bernama “Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah fi al-Ifta wa al-Dakwah wa al-Irsyad” yang dalam setiap empat bulan sekali menerbitkan jurnal yang sangat tebal dalam nama “Majallah al-Buhus al-Islamiyyah”. Penasaran saya di awal-awal tahun 80-an dengan seringnya membaca pernyataan ulama senior ini mendorong saya untuk bertemu langsung secara fisik dan ini menjadi kenyataan pada tahun 1998 di rumahnya yang berada di bilangan Aziziyyah Makkah selama dua jam yang diakhiri dengan perjamuan makan “model Arab” beserta para anggota “Hai’ah Kibar al-Ulama”.

    Kritik Usamah terhadap Bin Baz sudah merupakan sikap yang kebablasan–untuk ukuran Saudi-maka tidak mengherankan jika kemudian ketersinggungan Kerajaan Saudi Arabia berujung pada pembekuan proyek yang dikerjakan Usamah bin Ladin di Sudan.

    Kolega Usamah “Arab-Afghans” yang datang dari kawasan Asia Tengara hampir semuanya lewat rekomendasi dan disposisi Abdullah Sungkar yang sudah mempunyai hubungan khusus dengan Abdurrasul Sayyaf di Pakistan. Para mujahidin yang berasal dari Indonesia dalam diskusi ideoligisnya di Peshawar sudah barang tentu mengusung ide DI/TII Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo yang dikenal sebagai Bapak Proklamator Negara Islam Indonesia. Betapapun tak bisa dipungkiri bahwa Abdullah Sungkar memang mempunyai “connecting flight” dengan gerakan DI/TII terutama setelah bersama-sama dengan Ajengan Masduki sebelum akhirnya pada tahun 1993 bercerai secara ideologis. Kontingen Indonesia yang waktu itu sebagai peserta pendidikan militer di Peshawar, mestinya juga mendiskusikan tentang Kanun Asasinya NII yang terdiri dari XV bab dan 34 pasal di samping juga mempresentasikan KUHP NII yang terdiri dari X bab dan 27 pasal.

    Semua kontingen berusaha untuk saling belajar dan interaksi ideologis strategis untuk lebih mantap dalam melangkah menapaki kehidupan dengan payung ”Negara Tuhan”. Di samping gesekan-gesekan personal di Peshawar Pakistan, di Afghanistan juga terjadi pertemuan dan perkenalan lebih intens antar organisasi dan gerakan Islam garis keras mulai dari al-Ikhwan al-Muslimun, Jama’ah al-Jihad, al-Jama’ah al-Islamiyyah baik yang dari Mesir, Maroko, Tunis ataupun dari Pakistan sendiri yang merupakan heritage-nya Abul A’la al-Maududi dan juga HAMAS, Hizb al-Tahrir-nya An-Nabhani al-Filastini, al-Takfir Wa al-Hijrah atau Jama’at al-Musliminnya Syukri Mustafa, MILF Abu Sayyaf, DI/TII dan masih banyak lagi gerakan-gerakan Islam radikal militan yang memenuhi undangan Negara Pakistan sebagai bagian proyek ”Against Atheis Movement” dalam perspektif Islam dan ”Against Communism” dalam perspektif Amerika dimana mereka semua menghadapi ”the same and common enemy”.

    The Virtual Universities For Future Islamic Radicalism

    April 1989, PM Benazir Bhutto mengadakan perjamuan malam bersama para wartawan di Islamabad. Di antara yang hadir dalam acara tersebut adalah para pejabat penting pemerintahan, termasuk sosok Jenderal Pakistan yang paling dikenal dalam perang Afghanistan, Jenderal Hameed Gull. Gull menjabat sebagai Komandan Biro Intelijen Pakistan (Interservice Intelligence-ISI) yang sangat kuat ideologi Islamnya dan merupakan perwira militer sayap radikalis sejak periode Zia. Prestasinya luar biasa cemerlang dan sangat populis dalam mengatur strategi memporak-porandakan benteng pertahanan komunis Uni Soviet di Afghanistan.

    Dalam kesempatan perjamuan tersebut, Ahmed Rashid yang selama 21 tahun berpengalaman sebagai jurnalis perang, termasuk dalam perang Afghanistan, mengajukan pertanyaan penting kepada Jenderal Gull. Ia mengawali pertanyaannya bahwa Jenderal sedang bermain api dengan mendatangkan para radikalis militan dari setiap kawasan negeri-negeri muslim ke Peshawar Pakistan. Apakah ada jaminan bahwa para radikalis militan tersebut untuk tidak akan menebar keributan dikemudian hari ketika kembali ke negerinya masing-masing, yang hal ini justru akan mengancam dan membahayakan kebijakan politik luar negeri Pakistan? Dengan cukup enteng Gull menjawab, ”Kami sedang berperang memenuhi panggilan jihad dan perang ini telah memapankan terbentuknya barigade muslim internasional pertama kali di era modern. Komunis memiliki Pakta Warsawa, Barat mempunyai NATO, kenapa kita tidak membentuk ”International Islamic Front” yang menegaskan identitas Islam untuk pertahanan bersama? Bagi Rashid, front ini adalah yang pertama kali dan hanya merupakan justifikasi untuk memberikan nama front pertahanan dengan sebutan ”Arab-Afghans” sekalipun di dalam front tersebut banyak outsidets yang tidak semuanya orang Arab”.

    Tiga tahun sebelumnya, pada tahun 1986, Petinggi CIA, William (Bill) Casey, telah menata sebuah rencana besar untuk mengatur strategi penghancuran Uni Soviet. Strategi penghancuran ini merekomendasikan tiga langkah strategis yang bersifat ”highly secret”. Pertama, William Casey sebagai ”lurahnya CIA” akan merayu dan meyakinkan Konggres Amerika untuk menjadi ”provider” senjata untuk para mujahidin dengan senjata anti pesawat terbang buatan mereka akan merontokkan pesawat-pesawat tempur Soviet. Casey juga melobi konggres untuk menyediakan dan instruktur cerdas untuk memberikan ”perkuliahan strategi perang” kepada para gerilyawan. Selama ini, lanjut Casey tidak boleh ada senjata dengan warna dan bau Amerika dan juga tidak boleh ada personel Amerika yang diterjunkan secara langsung dalam kancah pertempuran.

    Kedua, CIA, MI6 dan ISI Pakistan menyetujui master paln dari rencana Casey ini untuk ”launching” gerilyawan dengan tujuan memberikan balasan mengahabisi Soviet yang pernah membuat AS kerepotan di Vietnam. Pilihan target difokuskan pada kawasan Tajikistan dan Uzbekistan yang merupakan dua daerah yang dihuni oleh para muslim lentur dan lemah yang hidup dibawah Soviet. Tempat ini juga merupakan mata rantai pasukan Soviet yang berada di Afghanistan dalam menerima supply peralatan perangnya. Tugas penyerangan ini dibebankan pada tokoh yang merupakan favorit dan leader para mujahidin yaitu Gulbudin Hikmatiyar. Pada bulan Maret 1987, unit kecil mulai menyusuri sungai Armu Darya dari kamp sebelah utara Afghanistan dan melancarkan serangan roket pertama kali dengan diarahkan ke pemukiman Tajikistan.

    Mendengar keberhasilan serangan pertama dalam proyek ”provokatif”nya tersebut, Casey sangat kegirangan dan langkah selanjutnya adalah dia mengadakan kunjungan rahasia ke Pakistan dan menyusuri perbatasan Afghanistan bersama dengan Presiden Zia yang mempunyai proyek Islamisasi negara untuk meninjau dan melihat para mujahidin.

    Ketiga, Casey memerintahkan CIA untuk memberikan dukungan dan memberikan arahan pada proyek ISI ini yaitu dengan cara rekrutmen para muslim militan dan radikal dari semua kawasan negeri muslim untuk bergabung dengan para mujahidin Afghanistan.

    Dengan dukungan CIA tersebut, ISI sangat besar hati dan sekarang pemain-pemain outsider mempunyai alasan-alasan yang kuat untuk mendukung ide ini. Disamping itu Presiden Zia juga mempunyai ambisi kuat untuk membuat sebuah kesatuan Islam yang solid dan kuat yang dapat mengantarkan Pakistan menjadi leader Dunia Islam dan juga membantu opsisi-opsisi Muslim di Asia Tengah.

    Washington sendiri juga ingin mendemonstrasikan bahwa semua muslim di dunia mampu melawan Soviet bersama-sama dengan orang-orang Afghanistan dan tentunya dengan “American Benefactors”. Dalam hal ini, Kerajaan Saudi melihat dua keuntungan sekaligus yaitu: pertama, untuk mempromosikan pengaruh Wahhabisme yang merupakan asas tunggal politiknya. Kedua, memberikan lahan garap para radikalis Saudi yang kecewa terhadap pemerintah kerajaan Saudi.

    Pada waktu itu, tidak ada satupun dari pemain-pemain tersebut (CIA, MI6 dan ISI) memperhitungkan dampak dari sebuah mega proyek ini. Mereka tidak pernah melakukan kalkulasi matematis dan sosial bahwa sebenarnya para sukarelawan yang datang ke Afghanistan yang kemudian di kenal dengan sebutan Arab-Afghans atau veteran Afghans tersebut, mempunyai hidden agenda yang sangat mungkin kebencian mereka terhadap Soviet akan diaplikasikan pada pemerintahan negeri mereka dan termasuk juga kepada Amerika sendiri.

    Memang untuk mempersiapkan operasi ”destroying the same enemy” ini, Pakistan sudah mempunyai Standing Instruction dengan semua kedutaan besarnya di luar negeri untuk mempersiapkan “pengobralan” visa dengan tanpa mempersulit kepada siapa saja yang ingin datang ke Pakistan dan punya niat untuk berjihad bersama pejuang-pejuang Afghanistan.

    Antara 1982 sampai dengan 1992 telah terekrut sekitar 35.000 muslim militan dan radikal dari 43 negara muslim baik dari Timur Tengah, Afrika Utara dan Timur, Asia Tenggara dan Asia Timur jauh termasuk Indonesia setelah mereka melewati ”pembai’atan” untuk terlibat dikancah peperangan bersama para mujahidin Afghanistan. Perlu dicatat di sini bahwa sepuluh orang dari sekitar seribu mujahid tersebut dididik secara khusus di ratusan madrasah yang dibangun oleh militer Zia di sepanjang Perbatasan Afghanistan. Hingga pada akhirnya lebih dari 100.000 muslim militan dan radikal mempunyai kontak langsung dengan Pakistan dan Afghanistan dan mereka sudah dipenuhi oleh semangat jihad yang tinggi melawan ”Atheism State” di mata para mujahidin dan ”Communism Peril” di mata Amerika.

    Di sebuah kamp dekat Peshawar dan juga kamp di Afghanistan, para mujahidin ”Arab-Afghans” ini saling bertemu untuk pertama kalinya, belajar bersama, berlatih bersama, latihan perang bersama dan juga mereka saling menceritakan kondisi negara mereka masing-masing. Sebuah keuntungan pertama kali yang mereka dapatkan adalah tukar pikiran dan diskusi panjang tentang gerakan-gerakan Islam yang bermunculan di negeri-negeri mereka dan dari semua kawasan dengan semua ide-idenya termasuk Syari’at Islam secara kaffah. Dari sinilah mereka mempunyai jaringan ideologis yang berskala internasional dan semangat yang menghantarkan kepada sebuah agenda jangka panjang dimana suatu saat nanti setelah mereka kembali akan dipraktekkan dan diaplikasikan di negeri mereka masing-masing. Kamp ini telah menjadi layaknya :the Virtual Universities For Future Islamic Radicalism”

    Saat itu, tidak ada satupun dari Dinas Intelijen yang terlibat dalam orkestra ini menyadari dan mempertimbangkan serta berpikir atau pura-pura tidak faham tentang konsekuensi, konsensi dan dampak yang harus dibayar mahal akibat dari pengerahan besar-besaran para militan muslim dari berbagai kawasan.

    Rakyat Amerika baru sadar dan terjaga dari tidurnya setelah konsekuensi dan konsesi dari pelatihan para muslim militan radikalis di laboratorium terbuka Pakistan dan Afghanistan telah merontokkan gedung WTC 1993 dan membunuh enam orang serta melukai lebih dari seribu orang yang dikenal dengan tragedi WTC I dan melibatkan nama Dr. Umar Abdurrahman pimpinan al-Jama’ah al-Islamiyyah Mesir.

    Ahmed Rashid seorang jurnalis Pakistan yang merekam sebuah pentas perang selama 21 tahun menulis, bahwa kebanyakkan para militan radikalis ini berkeyakinan jika jihad “Arab-Afghans” tealh sukses melumpuhkan salah satu negeri super power di muka bumi ini, maka logikanya kekuatan ini sebenarnya bisa juga untuk menghadapi super power- super power lainnya di muka bumi ini termasuk Amerika dan juga pemerintahan negeri asal mereka yang infidel. Logika argumen ini didasarkan realitas yang berangkat dari “simple premise” bahwa jihad Aghans sendiri saja telah mampu membuat Soviet bertekuk lutut dan lari ketakutan menghadapi mereka. Mereka sama sekali tidak melibatkan alasan-alasan internal lainnya yang membuat kolapsnya sistem Soviet yang salah satunya memang harus diakui disebabkan oleh Arab-Afghans, namun ini bukan satu-satunya faktor. Pada sisi lain, Amerika melihat runtuhnya Soviet disebabkan kegagalan sistem komunisme sebagai penopang andalan, tetapi bagi mujahidin Afghans kemenangan ini murni kemenangan Islam. Bagi para militan kemenangan ini juga disebabkan penghayatan yang tinggi atas kenangan-kenangan yang mendalam ketika Islam menerobos kawasan-kawasan dalam melebarkan sayapnya pada abad VII-VIII H. mereka beralasan, The New Islamic Ummah bisa menjadi kuat karena pengorbanan-pengorbanan dan darah dari generasi baru yang siap menjadi syuhada (martyrs) untuk kemenangan-kemenangan yang lebih banyak lagi.

    Pada dataran lain, Dinas Intelijen Pakistan sangat punya kepentingan dalam mendekati Pangeran Turki bin Faisal yang tidak lain adalah komandan al-Istikhbarat--lembaga intelijen Saudi--mendorong agar Pangeran Turki melobi Kerajaan agar mengirimkan kontingen perangnya untuk berjihad di Afghanistan. Hal ini juga didorong kepentingan untuk membuktikan bahwa orang-orang radikal Saudi ternyata juga mempunyai loyalitas pada Kerajaan. Disinilah peran Usamah bin Ladin menempati pos strategis, meski dia bukan keluarga Kerajaan Arab Saudi, namun dia memiliki hubungan sangat dekat dengan keluarga kerajaan yang dalam hal ini adalah Pangeran Turki bin Faisal dengan membawa catatan kesejarahan Muhammad bin Ladin yang sangat akrab dengan Raja Faisal bin Abdul Aziz, satu-satunya Raja Saudi yang paling cerdas dan moderat.

    Dengan hubungan kesejarahan inilah akhirnya Usamah bin Ladin, Pangeran Turki dan Jenderal Hameed Gull mendirikan sebuah “perusahaan perkawanan” dan beraliansi bersama CIA dan MI-6 untuk menghadapi “the same enemy” Uni Soviet. Mulai dari sinilah, cerita panjang tentang Usamah bin Ladin memasuki episode awal dari sebuah episode panjang yang samapi sekarang belum berakhir.

    Al-Qaidah dan Fatwa Dehumanisasi Global

    Pada tanggal 23 Februari 1998 dibentuk sebuah front dengan nama “al-Jabah al-Islamiyyah al-Alamiyyah Li Jihad al-Yahud wa al-Salibiyyin” (The International Islamic ront for The Struggle Againts The Jews and The Crussaders) dan langsung mengeluarkan sebuah fatwa dan di sosialisasikan kepada seluruh kaum muslimin. Fatwa spektakuler ini ditandatangani oleh Usamah bin Ladin sendiri, Dr. Ayman al-Zawahiri selaku pimpinan Jamaah al-Jihad Mesir, Abu Yasir Rifa’i Ahmad Thaha pimpinan al-jama’ah al-Islamiyyah Mesir, Syeikh Mir Hamzah sekretaris The Jama’at-e Ulema-e Pakistan, Fazlur Rahman pimpinan Gerakan Jihad Banglades, Pimpinan gerakan Islam Kashmir dan juga seorang komandan dari Pakistan.

    Histirisitas fatwa ini bertepatan dengan berkumpulnya beberapa pimpinan gerakan Islam, khususnya Jama’ah al-Jihad Mesir di afghanistan. Berduyun-duyun pula datang utusan-utusan dari Pakistan dan Kashmir untuk bertemu Usamah. Salah seorang pimpinan jemaah tersebut berhasil menyakinkan Usamah bahwa pengertian perang melawan Amerika perlu diperluas dengan memeranginya di semua tempat. Keyakinan itu semakin meluas, dari sebelumnya hanya merupakan peperangan melawan Amerika, menjadi pembunuhan kepada setiap orang Amerika yang sudah mencapai usia pernag, di mana pun dan kapan pun, begitu pula orang-orang Yahudi. Logika Syar’inya adalah bahwa Amerika menduduki negeri Haramain, karena itu setiap orang Amerika dianggap sebagai pendukung bagi pendudukan di Jazirah Arab. Dan karena Amerika memerangi umat Islam di setiap tempat dan waktu, serta menumpahkan darah rakyat sipil yang Muslim, maka membunuh orang Amerika dan Yahudi dibenarkan oleh syariat, kapan dan di mana saja.

    Alasan politis adalah bahwa Amerika merupakan musuh pertama Islam dan selalu mencari saat yang tepat untuk mengirim bencana kepada umat Islam, sementara tidak ada kekuatan yang menghalanginya, karena itu merupakan kewajiban umat Islam untuk memusuhi Amerika. Keyakinan ini membuahkan aksi yaitu memulai ditanda-tanganinya sebuah kesepakatan konfrontatif bersama yang bernama ”al-Jabhah al-Islamiyyah al-Alamiyyah li Jihad al-Yahud wa al-Salibiyyin” atau Front Islam Internasional pada Februari 1998 yang menyerukan pembunuhan orang-orang Yahudi, Salibis dan Amerika di mana saja dan kapan saja. Komunike ini dibagikan dan dipublikasikan oleh media massa.

    Setelah saya melakukan perburuan dokumentasi yang diluncurkan oleh Usamah bin Ladin tersebut, meski sangat melelahkan, akhirnya menemukan edisi asli dari ” fatwa” yang membuat bulu kuduk rakyat Amerika berdiri ketakutan. Selembar kertas ”al-Quds al-Arabi” Volume 9-Issue 2732 yang terbit hari Senin 23 Februari 1998 bertepatan dengan 26 Syawal 1418 H telah sampai ketangan saya dan disitulah terpampang edisi original lengkap dihalaman 3 (tiga) sudut kiri bagian bawah dengan judul ”Nass Bayan al-Jabhah al-Islamiyyah al-Alamiyyah li Jihad al-Yahud wa As-Salibiyyin”.

    Fatwa ini initinya adalah bagi seluruh umat Islam hukumannya fardlu ain untuk memerangi dan membunuh orang-orang Amerika dan sekutu-sekutunya baik sipil maupun militer di mana pun dan kapan pun, disamping juga merampas kekayaan mereka di mana pun berada.

    Untuk memperkuat keyakinan teologisnya (Killing Americans) tersebut, Front ini memanipulasi pendapat-pendapat Ulama seperti Ibnu Qudamah penyusun kitab al-Mugni, al-Kisai penyusun kitab Bada’i al-Sana’i, al-Qurbuti penyusun tafsir al-Jami li Ahkam al-Quran dan juga Syeikhul Islam Taqiyuddin Ahmad Ibnu Taimiyah (seorang ulama yang merupakan referensi wajib para ulama Saudi) penyusun al-Ikhtiyarat.

    Pembunuhan yang diarahkan untuk menghabisi rakyat Amerika dan sekutunya serta infidel state (negeri kafir) menurut fatwa dehumanisasi ini berlaku hingga Amerika dan sekutunya melepaskan cengkramannya terhadap Masjid Al-Aqsa dan Masjid Al-Haram Makkah Al-Mukarramah. Pertanyaan substantif yang perlu dihadapkan kepada fatwa Usamah tersebut adalah apa benar Amerika melakukan pencaplokan terhadap Masjid Al-Aqsa, Masjid Al-Haram dan juga Masjid An-Nabawi Madinah Al-Munawwarah? Karena alasan inilah yang dipergunakan oleh Al-Qa’idahnya Usamah untuk membakar semangat jihad umat Islam karena dua tempat sucinya (Al-Haraman) telah dikangkangi oleh "infidel states” Amerika dan sekutunya.

    Fatwa profokatif yang dimunculkan oleh al-Jabhah al-Islamiyyah tersebut berusaha membawa konflik ”Arabist anti Americanist” ke dalam lorong keagamaan dengan mengarang cerita bahwa Amerika dan sekutunya telah mengangkangi tempat paling suci umat Islam yaitu Masjid al-Haram karena dengan dasar inilah yang dinilai paling sensitif.

    Label teroris yang akhirnya ditempelkan kepada gerakan Al-a’idah dan cell-cellnya sebenarnya disebabkan juga oleh fatwa yang paling menggegerkan dunia yaitu adanya pernyataan ”Syann al-Gharah” (menebar huru-hara) dalam fatwa tersebut yang berarti sebuah aktivitas penebaran aksi teror dari semua penjuru untuk meluluh-lantahkan sebuah kekuatan. Dari kata ”Syann al-Garah” inilah akhirnya yang membuat dan mendorong Amerika untuk menerbitkan sebuah kebijakan ”Strategy For Combating Terrorism”.

    Jihad dan G-WOT Untuk Kemanusiaan

    Diskusi dua jam antara saya dengan seorang intelektual cerdas, penulis prolific dan moderat Dr. Gamal al-Banna, penulis buku ”al-Islam Din wa Ummah wa laisa Dinan wa Daulatan” (Islam adalah agama dan bangsa bukan agama dan negara) sangatlah urgen untuk direnungkan dalam menutup tulisan panjang ini. Pertemuan saya di Kairo dengan adik bungsu Hasan Al-Banna (Mursyid ’Am pertama al-Ikhwan al-Muslimun) ini berlangsung di apartemennya yang sederhana yang dipenuhi dengan buku-buku yang berserakan. Dalam sebuah obrolannya, beliau banyak memberikan penjelasan mengenai mapping gerakan radikalisme Islam yang terlalu mempolitisir teks-teks suci keagamaan (Tasyis al-Nusus al-Muqaddasah). Ditengah diskusi hangatnya di kediaman beliau, Gamak Banna yang selalu bersama sayaketika menyempatkan datang ke forum ICIS (International Conference for Islamic Scholars) Jakarta tahun 2006 meski usianya sudah 80 tahun juga memunculkan sebuah teori baru dan sekaligus harapan indah.

    Harapan kita, semoga Jihad dan G-WOT (Global on Terrorism) akan membawa kehidupan bagi nilai-nilai kemanusiaan dan bukan membawa pemberangusan terhadap hak hidup manusia. Jihad da G-WOT bukan untuk mengalirkan darah sebagaimana mitos ”jenglot” mumi mini yang mempunyai hobi menghisap darah segar.

    Apresiasi terakhir saya terhadap karya Dreyfuss yang juga seorang jurnalis ahli investigasi ini adalah jika komunitas Islam Fundamentalis sangat mengenal dan hafal sebuah buku saku tentang petunjuk suci penebar kekerasan karya Abdussalam Faraj yang berjudul al-Faridlah al-Gha’ibah (The Neglected Duty), kewajiban Jihad yang terabaikan), maka buku Devil’s Game ini layak menyandang titel ”al-Syawahid al-Gha’ibah” bukti-bukti sejarah yang terlupakan. Untold History perselingkuhan ini telah dilupakan oleh para pengusung jargon ”al-Jihad huwa al-hall” Jihad adalah solusi dan sengaja dilupakan oleh the Oil Hunter Amerika yang mengusung jargon ”G-WOT (baca Jee what, mirip dengan pengucapan kata Jihad, Global War on Terrorism) is solution. Buku Devil’s Game hadir di Indonesia buka untuk dilupakan, tetapi untuk menyingkap tabir gelap perselingkuhan politik dan juga ekonomi antara Amerika dan Islam Fundamentalis selama 60 tahun. Dari penyingkapan tabir ini, diharapkan terwujudnya penghargaan terhadap nilai-nilai humanisme dan penebaran kedamaian di kalangan komunitas bumi.

    Penulis adalah Staf Pengajar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

    (Tulisan di atas adalah kata pengantar untuk buku "Devils Game Orchestra Iblis, 60 Tahun Perselingkuhan Amerika-Religious Extrimist) karya Robert Dreyfuss

    HALAL ITU SEHAT

    HALAL BIHALAL SPIRIT JIWA PEMA’AF ANTAR MAKHLUK TUHAN

    Ramadhan cermin menuju hidup fitrah (sadar). Ahlan Waa sahlan bulan “jiwa suci” (Idul Fitri). Bulan suci Romadlon baru saja kita perjuangkan bersama-sama menahan hawa nafsu dalam cermin diri kita di dua gerbang yaitu kelakuan baik maupun kelakuan buruk, di dalam satu bulan suci penuh kita semua bisa menonjolkan niat yang baik-baik dalam tindakan.

    Satu bulan (puasa) penuh kita bisa menampilkan dalam pemenuhan sebagai makhluk (sosial) sempurna Tuhan yang biasa disebut manusia. Nilai luhur semacam penampilan kejadian di dalam bulan yang disebut Romadlon itulah yang kadang kita sebagai manusia biasa, kurang bisa untuk selalu menampilkan sikap maupun sifat baik kita, namun setelah bulan Romadlon berlalu begitu saja. Seolah atau memang manusia seperti kita ini diberi (punya) nikmat berupa sifat ingat, jadi mengingat dan sifat lupa, jadi pelupa.

    Setelah mengasah dan mengasuh jiwa, yaitu berpuasa selama satu bulan, diharapkan setiap muslim dapat kembali ke asal kejadiannya dan menemukan “jati dirinya”, yaitu kembali suci sebagaimana ketika ia baru dilahirkan serta kembali mengamalkan ajaran agama yang benar. Ini semua menuntut keserasian hubungan, karena menurut Rasulullah al-din al-mu’amalah, yakni keserasian dengan sesama manusia, lingkungan, serta alam.

    Semua umat muslim berucap “minal ‘aidin wal faizin” disertai uluran tangan yang diikuti saling berjabat tangan. Demikian harapan serta do’a yang kita ucapkan kepada sanak keluarga, sahabat dan handai tolan pada idul fitri. Namun apa yang dimaksud dengan dengan kata ‘aidin, dari segi bahasa, minal ‘aidin berarti “(semoga kita) termasuk orang-orang yang kembali”. Kembali disini adalah kembali kepada jiwa fitrah, yakni “asal kejadian”, atau “kesucian”, atau “agama yang benar”.

    Sementara itu, al-faizin diambil dari kata fawz yang berarti keberuntungan”. Apakah “keberuntungan” yang kita harapkan itu? Kata fawz mengandung makna “pengampunan dan keridhaan Tuhan serta kebahagiaan surgawi”. Kalau demikian halnya, wal faizin harus dipahami dalam artian harapan dan do’a, yaitu semoga kita termasuk orang-orang yang memperoleh ampunan dan ridha Allah SWT.

    Kata Al-Safwu, yang kemudian diIndonesiakan dengan “ma’af”, berarti “menghapus” karena yang mema’afkan menghapus bekas-bekas luka di hatinya, sedangkan al-shafhu berarti “kelapangan” dan darinya dapat dibentuk kata shafhat yang berarti “lembaran” atau “halaman”, serta mushafahat yang berarti “berjabat tangan”. Seseorang yang melakukan al-shafhu, seperti anjuran ayat diatas, dituntut untuk melapangkan dadanya sehingga mampu menampung segala ketersinggungan serta dapat pula menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru.

    Halal bi halal, dua kata berangkai yang sering diucapkan dalam suasana Idul Fitri, adalah satu dari istilah-istilah keagamaan yang hanya dikenal oleh masyarakat Indonesia. Istilah tersebut seringkali menimbulkan tanda tanya tentang maknanya, bahkan kebenarannya dari segi bahasa, walaupun semua pihak menyadari bahwa tujuannya adalah menciptakan keharmonisan antara sesama.

    Sementara halal adalah sesuatu yang diperbolehkan serta tidak mengundang dosa. Jika demikian, halal bi halal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan berakibat dosa, menjadi halal dengan jalan memohon ma’af. Dari segi bahasa, akar kata halal yang kemudian membentuk berbagai bentukan kata, mempunyai arti yang beraneka ragam, sesuai dengan bentuk dan rangkaian kata berikutnya. Makna-makna yang diciptakan oleh bentukan-bentukan tersebut, antara lain, berarti “menyelesaikan problem”,”meluruskan benang kusut”,”melepaskan ikatan”, dan “mencairkan yang beku”.

    Boleh jadi hubungan yang dingin, keruh, dan kusut tidak ditimbulkan oleh sifat yang haram. Ia menjadi begitu karena anda lama tidak berkunjung kepada seseorang, atau ada sikap adil yang anda ambil namun menyakitkan orang lain, atau timbul keretakan hubungan dari kesalahpahaman akibat ucapan dan lirikan mata yang tidak disengaja. Kesemuanya ini, tidak haram menurut pandangan hukum, namun perlu diselesaikan secara baik; yang beku dihangatkan, yang kusut diluruskan, dan yang mengikat dilepaskan.

    Sifat kasih sayang dan saling mema’afkan serta saling mencintai sesama makhluk hidup, merupakan sebuah sadar sosial. Suasana fitrah manusia itulah, untuk bisa disebut makhluk sempurna, apabila di hari nan fitri kita semua bisa menciptakan suasana saling berbagi cinta serta kasih sayang dalam upaya bersih hati dalam jiwa manusia. Yang dalam satu bulan penuh Tuhan maha pengasih dan maha penyayang selalu memberikan ruang serta waktu untuk ber-interaksi secara vertikal, saling berjabat tangan menggusur sekat kehidupan untuk saling berma’afan, minal ‘aidin wal faizin untuk menuju suasana idul fitri.

    Demikianlah nilai-nilai dasar ber-halal bihalal, atau jika istilah tersebut enggan anda gunakan, katakanlah bahwa itu merupakan hakikat idul fitri, sehingga semakin banyak dan seringnya anda mengulurkan tangan dan melapangkan dada, dan semakin parah luka hati yang anda obati dengan mema’afkan, maka semakin dalam pula penghayatan dan pengamalan anda terhadap hakikat halal bihalal. Bentuknya memang khas Indonesia, namun hakikatnya adalah hakikat ajaran Islam.

    achmad fathoni

    Alumni IAIN Sunan Ampel 2005

    Sekarang pengurus GP ANSOR GRESIK

    GONDAL - GANDUL "tik,tok,tik,tok"

    DARMAGANDHUL


    DARMAGANDHUL. Darmagandhul, karya sastra Jawa klasik, berbahasa jawa baru, berbentuk puisi tembang macapat, bernafaskan Islam dan berisi ajaran tasawuf atau mistik. Suluk ini ditulis oleh Ki Kalamwadi, waktu penulisan hari sabtu legi, 23 ruwah 1830 Jawa. Amanat ajaran dalam teks dituangkan dalam bentuk dialaog antara Ki Kalamwadi dengan Darmagandhul, isi teks menceritakan jatuhnya kerajaan Majapahit karena serbuan tentara Demak Bintara yang dibantu para wali.

    Ki Kalamwadi berguru kepada Reden Budi, sementara Raden budi mempunyai murid bernama Darmagandhul. Darmagandhul menanyakan kepada gurunya mengenai kapan agama Islam itu datang di pulau Jawa. Ki Kalamwadi menjawab bahwa pada zaman Majapahit saat pemerintahan Prabu Brawijaya, permaisuri Prabu Brawijaya membujuk agar beliau beralaih ke agama Islam. Sayid Rahmat atau Sunan Benang, kemenakan permaisuri Prabu Brawijaya yang berasal dari Campa, diberi tanah di Tuban dan diizinkan untuk menyebarkan agama Islam. Daerah penyebarannya sepanjang pantai utara Jawa, mulai dari Blambangan sampai Banten. Kemudian datanglah Raden Patah, yakni putra Prabu Brawijaya yang lahir di tanah Palembang, yang diberi tanah Demak dan sebagai adipati, juga diizinkan menyebarkan agama Islam. Penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Sunan Benang di daerah Kediri mendapatkan tantangan dari Ki Buta Locaya penguasa di daerah tersebut. Kemudian Sunan Benang menuju ke desa Bogem, dan merusak arca kuda berkepala dua karya Prabu Jayabaya. Perusakan arca tersebut mendapatkan tentangan Ki Buta Locaya yang mendeak agar Sunan Benang pergi dari daerah itu. Patih Gajah Mada menghadap Prabu Brawijaya dan memberitahukan bahwa tanah Kertasana rusak akibat perbuatan Sunan Benang. Akhirnya, Prabu Brawijaya memerintahkan agar mengusir kaum Islam dari daerah Majapahit, kecuali kaum muslimin yang tinggal di Ngampelgading dan Demak, Sunan Benang dan Sunan Giri menyingkir ke Tuban dan berlindung ke Demak.

    Perlawanan antara pasukan Prabu Brawijaya dengan Sultan Demak dengan Sultan Demak, dengan pertempuran sengit itu tentara Majapahit hancur, Gajah Mada gugur di medan laga. Kemudian orang-orang Majapahit yang takluk kepada Demak diperintahkan masuk agama Islam. Akhirnya Sultan Patah yang didukung oleh para wali pergi ke Ngampeldenta untuk menghadap neneknya. Neneknya Nyai Ngampeldenta sangat menyesal perbuatan yang dilakukan oleh Sultan Patah para melawan ayahnya.

    Ia mempermasalahkan Sultan Patah beserta para wali yang tidak baik misalnya budi kepada Prabu Brawijaya. Ia memberikan beberapa contoh yang tidak baik misalnya kejadian di Mesir yang dialami Nabi Daud, perebutan kekuasaan yang dilakukan Prabu Dewatacengkar terhadap ayahnya, Prabu Sindhula dan peristiwa Prabu Danapati raja Lokapala melawan ayahnya, Sang resi Wisrawa.

    Contoh-contoh tersebut merupakan permusuhan antara anak melawan ayahnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Sultan Patah terhadap Prabu Brawijaya. Dengan adanya penjelasan dari neneknya tadi, maka Sultan Patah sangat sedih dan menyesal atas segala perbuatannya. Ahkirnya Sunan Kalijaga diutus untuk mencari Prabu Brawijaya dan memohon kepadanya agar bersedia kembali menjadi raja Majapahit. Sekembalinya Sultan Patah ke Demak di sambut dengan gembira. Ia menceritakan hal itu kepada Sunan Benang, akhirnya Sunan Benang memberikan penjelasan secara panjang lebar bahwa perlawanannya terhadap ayahnya itu tidak berdosa, karena ayahnya seorang kafir.

    Sunan Kalijaga menjumpai Prabu Brawijaya di Blambangan untuk menyampaikan tugasnya. Karena kepandaian Sunan Kalijaga maka bersedialah Prabu Brawijaya kembali ke Majapahit. Ia sangat tertarik atas keterangan Sunan sehingga prasangka buruk akan agama Islam sedikit banyak hilang. Bahkan ia bermaksud untuk masuk agama Islam secara lahir maupun batin.

    Penyebaran agama Islam terhadap punakawan Prabu Brawijaya, yakni Sabdapalon dan Nayagenggong, yang berakhir dengan penolakan ( tidak berhasil ) Sabdapalon menilai bahwa Prabu Brawijaya telah menyimpang dari para pendahulunya yang melestarikan agama Budha. Sunan Kalijaga berusaha menghibur hati Prabu Brawijaya untuk bahwa ajaran agama Islam itu baik dan diridhoi Tuhan. Sunan bersabda bahwa air telaga itu berbau wangi, dan terjadilah demikian. Setelah selama seminggu dalam perjalanann yang melewati Panarukan, Besuki dan Prabalingga akhirnya sampailah di Ngampeldenta.

    Jatuhnya Kerajaan Majapahit atas serangan Demak yang dilukiskan secara simbolis. Darmaagandhul juga minta penjelasan tentang agama tentang agama Nasrani yang kemudian dijelaskan oleh Kalamwadi. Disebutkan bahwa agama Nasrani itu dibawa oleh NabiNgisa, “Putra tuhan”. Dijelaskan pula, bahwa sebenarnya Sultan Demak merasa menyesal atas penyerbuannya ke Kerajaaan Majapahit. Ia merasa berdosa melawan ayahnya. Bahkan ia merasa pula bahwa pengangkatannya sebagai Sultan Demak itu juga dari ayahnya. Akan tetapi semuanya telah terjadi, maka Sultan Demak dengan bersedih hati kembali ke Demak. Darmagandhul menguraikan tentang sebab-sebab Nabi Adam dan Ibu Kawa turun dari surga terkena marah Tuhan. Darmagandhul tidak mengetahui bagaimana pandangan kitab Jawa tentang Nabi Adam itu. Ki Kalamwadi menjelaskan bahwa orang Jawa tidak mempunyai kitab yang menceritakan tentang pengusiran Tuhan terhadap Nabi Adam dan Ibu Kawa itu. Kitab yang menjadi pegangan raja hanyalah Manikmaya. Darmagandhul juga menguraikan pendapatnya bahwa baginda, baik agama itu harus konsekuen mengerjakan peraturan yang ada di dalamnya. Namun, yang paling baik bagi orang Jawa adalah agama Budi, sebab agama Budi telah dianut sejak dahulu kala.

    Perbedaan agama Islam, Nasrani, Cina dan Jawa. Ki Kalamwadi mencela orang yang naik haji ke Mekah dengan mengharapkan kelak masuk surga. Konon ada anggapan bahwa yang datang naik haji ke Mekah dan mencium ka’bah akan terhapus dosanya dan nantinya masuk surga. Hal itu itu tidaklah benar. Orang akan masuk surga apabila dirinya bersih. Perbedaan adanya utusan dan kitab yang menjadi pegangan itu berbeda. Kalamwadi menjawab bahwa itulah kebebasan yang diberikan Tuhan agama manusia memilih agama yang menjadi kesenangannya. Meskipun demikian, agama Budi bagi orang Jawa tetap lebih tinggi dan sesuai.

    Kalamwadi membentangkan ajaran kepada istrinya, Perjiwati, mengenai hal keutamaan dalam hidup dan mengenai ajaran perkawinan. Bekal perkawinan itu bukannya rupa dan harta akan tetapi hati. Perkawinan diibaratkan sebagai galah dan kemudi, yang masing-masing harus sejalan. Diuraikan pula mengenai 4 kemuliaan, yaitu: (1) kemuliaan yang lahir dari diri sendiri, (2) yang lahir dari harta benda pemilik, (3) kemuliaan karena kepandaiannya, (4) kemuliaan karena pengetahuannya. Generasi sekarang tidak boleh meremehkan generasi pendahulunya (orang kuna).

    Menurut Ki Kalamwadi disebutkan bahwa bekas kerajaan Prabu Brawijaya tidak terletak di Kediri, akan tetapi terletak di Daha. Akhir kehidupannya, Prabu Jayabaya muksa diiringkan oleh Patih Tunggulwulung dan Nimas Ratu pagedhongan. Tunggulwulung diperintahkan menjaga Gunung Kelud sedangkan Nimas ratu Pegendhongan menjadi raja jin penguasa laut selatan dengan gelar Ratu Angin-Angin.

    achmad fathoni “eson arek Gresik”

    MALAIKAT PUN IKUT SABAR

    WAHAI AHLI KEKUASAAN

    RAKYAT LELAH MENUNGGU SABAR

    Dalam zaman “refotnasi plus budaya impor”, seperti sekarang ini timbul suatu pertanyaan ; mungkinkah Indonesia keluar dari krisis 1997 total (kristal)? Jawaban atas pertanyaan diatas adalah tidak. Siapa yang berani memberikan jawaban yang gamblang (apa adanya) serta jelas atas pertanyaan diatas akan dibenci banyak orang. Hanya kejujuran dan keterbukaan, kebebasan yang murni sajalah yang dapat mendorong orang berbicara seperti itu secara terbuka dalam media massa.

    Tegaknya demokrasi (etos kerja) seperti berdirinya beberapa partai politik yang hampir semuanya bertujuan menegakkan demokrasi. Hanya sebuah proses panjang perjalanan suatu bangsa untuk suatu eksistensi demokrasi itu sendiri supaya benar-benar tegak, maka dari itu janganlah sekali-kali meninggalkan sejarah. Namun “jas merah” kurang lebih bersifat spontanitas bagi intelektual elit, sebagai cermin aspirasi rakyat yang murni ini terjadi karena undang-undang politik yang ada memungkinkan untuk terciptanya demokrasi yang sehat.

    Awal reformasi merupakan titik awal gerakan demokrasi, dimulainya dengan berdirinya partai-partai politik yang mencapai sekitar 259 partai politik yang merupakan salah satu syarat dari demokrasi itu sendiri. Seperti laksana ledakan bom waktu, yang sudah waktunya meledak. Undang-undang pemilu yang memungkinkan berdirinya partai-partai baru, mungkin dengan pertimbangan karena luasnya wilayah kepulauan Indonesia dan ber-bhinneka tunggal ika-nya penduduk Negara Indonesia.

    Konstelasi (keadaan/situasi-kondisi) politik yang ada belum memungkinkan tumbuhnya demokrasi yang sebenarnya karena masih banyaknya rekayasa, intrik dan fitnah politik yang masih berlaku. Disamping itu, masih ada pemerintahan yang mempertahankan status quo. Dan yang lebih penting, tradisi kita belum melahirkan budaya politik yang sehat.

    Apakah ini berarti kita akan kembali pada masa orba, yang berisi kenyataan pahit bahwa pemerintah pusat menguasai segala-galanya?. Perubahan mendasar yang perlu dilakukan diantaranya adalah pola hubungan antara pusat dan daerah yang lebih berimbang.

    Pembagian devisa antara pusat dan daerah yang dulu mayoritas diambil oleh pusat dan hanya sebagian kecil yang kembali kedaerah. Demikian juga dalam hal pengangkatan kepala daerah, harus diubah sistem dan mekanismenya. Tidak semata-mata ditentukan oleh kehendak pusat, tetapi ditentukan secara mandiri oleh daerah masing-masing.

    Pemerintah pusat memiliki otoritas penuh dalam dua hal, yaitu politik luar negeri dan pertahanan. Masalah keamanan diserahkan pada kepolisian negara yang dalam menjalankan tugasnya tunduk pada gubernur, walikota, dan bupati bukan pada pemerintah pusat. Hubungan pusat dan daerah yang bersifat koordinatif haruslah menjadi hubungan yang setara., bukannya sub-ordinatif seperti sekarang. Yang jelas, TNI harus melepaskan tanggung jawab keamanan lokal yang ada. Dia (TNI) cukup mempersiapkan diri secara proporsional dalam mengurusi pertahanan negara.

    Degan pola ini akan terjadi perampingan struktur pemerintahan secara cepat, control dan pengawasan bisa lebih mudah dan efektif sehingga menekan terjadinya kolusi antara pemimpin pusat dan daerah. Dalam pemikiran pemerintah daerah, pemerintah daerah, pemerintah pusat hanya berfungsi menetapkan standar belaka yang harus diikuti oleh pemerintah-pemerintah daerah. Kecenderungan untuk korupsi pun akan menurun karena mengecilnya peran pemerintah pusat berarti meningkatnya pengawasan legislatif daerah, ini-pun masih disertai dengan pengawasan yang teliti dari pihak yudikatif.

    Dalam hal ini berarti yudikatif harus ditunjuk oleh pihak legislatif sebagai representasi dan manifestasi kedaulatan rakyat bukan oleh eksekutif yang sebenarnya hanya manifestasi kedaulatan birokrasi seperti selama ini terjadi. Dalam pada itu, masih lima sampai sepuluh tahun lagi akan terlihat semakin tumbuhnya kedaulatan rakyat.

    Demikian pula kebebasan pers untuk mengkritik pemerintah telah semakin terbuka, sebagaimana tertuang dalam bentuk kebebasan pers yang ditandai dengan tidak berartinya SIUPP. Pihak legislatif juga sudah mulai berani mengkritik pihak eksekutif secara terbuka.

    Kebebasan pers diperlukan, tapi pers disini merupakan pers yang dituntut untuk berada di posisi independen berhati nurani, tanpa memihak atau berada di pihak. Tapi pada kenyataan dilapangan yang terjadi adalah ke-ironisan perang opini antar media, demi sebuah kepentingan untuk melestarikan kepentingan status quo.

    Beberapa hal diatas yang menjadi indikasi bahwa demokratisasi meski kecil dan lambat mulai timbul dan bergerak. Dikatakan demikian karena belum terjadi perpindahan titik berat dari kerja institusi-institusi yang ada. pihak yudikatif belum memiliki independensi penuh dan masih bergantung pada pihak eksekutif. Pemindahan tugas keamanan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah bukanlah sesuatu hal yang mudah dicapai.

    Karena membuat demokrasi bukanlah pekerjaan sehari dua hari. Dan menegakkan hukum juga bukan persoalan mudah. Karena kepentingan yang saling berbeda akan berlaga di tengah percaturan politik yang ada. Pemilu yang berjalan adalah cara untuk memberikan legitimasi bagi upaya demokratisasi yang sulit dicapai itu.

    Disinilah terletak beberapa anggapan bahwa tradisi atau budaya jujur politik haruslah sejalan dengan perkembangan lembaga-lembaga yang ada, demikian sebaliknya. Karenanya dapatlah di mengerti mengapa jawaban pada pertanyaan diawal tulisan ini berbunyi negatif. Untuk menjadi positif perlu perjuagan melalui serangkaian pemilu. Karena dari sini bisa dimulai perombakan aturan mengenai mekanisme kerja pemerintah, hubungan pusat dan daerah serta perumusan kembali peran dan posisi institusi-institusi yang ada agar dapat berjalan secara efektif dan efisien.

    Kebebasan bicara masyarakat sipil yang belum teratur, karena syarat dari demokrasi adalah hak berbicara, hak disini berarti yang berhak bicara jujur yang disesuaikan dengan aturan-aturan yang ada. Karena itu harus adanya kejujuran bagi semua pihak yang berhak bicara, disitulah pertanyaan “tidak”, karena tidak adanya aturan dan kejujuran dalam berbicara.

    Keadaan, situasi kondisi yang tidak sehat, akibat dari intrik, fitnah dan rekayasa politik yang dilakukan oleh para elit Jakarta yang berimbas pada masyarakat didaerah, sehingga munculnya nyanyian dari suara falsnya seorang Iwan fals dengan bait lagunya yaitu ; “Apakah selamanya politik itu kejam”. Maka disinilah sebuah proses demokrasi perlu budaya saling “mengkritik” bukan meng-intrik, sehingga belum ada suasana tradisi jujur yang melahirkan budaya politik yang sehat.

    sentralisme kekuasaan yang terpusat di pusat. Bahwa demokrasi itu harus dimulai dari bawah keatas, supaya seluruh lapisan masyarakat berdaya, sehingga munculnya sebuah pemerintahan yang berimbang. Permainan pusat yang selalu menguasai bahkan cenderung menginterveensi kedaerah-daerah, membuat pemerintahan di daerah tidak mempunyai kemandirian dalam memanajemeni daerahnya sendiri. Pemerintah daerah tidak punya otoritas untuk menentukan kebijakan daerah.

    Pemerintah pusat idealnya mengurusi dua otoritas kebijakan, yaitu: kebijakan luar negeri dan pertahanan. Untuk keamanan pihak kepolisian koordinasi dengan para gubernur, bupati, walikota. Pemerintah pusat memberikan akses-akses investor dari luar negeri kedaerah-daerah yang bersifat koordinatif. Jadi kesan suasanannya demokrasi lebih hidup.

    Pengontrolan dan pengawasan akan lebih efektif dilakukan sehingga bisa menekan serta meminimalisir adanya kolusi dan korupsi. Terutama peran pemerintah pusat yang hanya memberi akses-akses luar negeri. Sehingga peran legislatif dan yudikatif jadi lebih aktif dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah.

    Tumbuhnya peran masyarakat sipil, karena legislatif mempunyai peran yang sesungguhnya. Tapi legislatif sekarang ini realitanya masih representasi pribadi-pribadi anggota legislatif itu sendiri, maka diperlukan pengawasan terhadap legislatif oleh, pers, OrMas, maupun LSM.

    Apakah mekanisme-mekanisme diatas dapat menggerakkan roda demokrasi meski mulai dari awal yang kecil. Jika tanpa adanya supremasi hukum sebagai panglima dari proses demokrasi itu sendiri.

    Perbedaan kepentingan merupakan suatu kasus yang tidak mudah, apalagi penegakan hukum. Pemilu yang sehat merupakan cara untuk mendapat legitimasi langsung dari masyarakat, sedang demokratisasi akan berproses melegitimasi hukum (kesadaran manusiawi), bukan untuk kepentingan para politisi, serta para wakil rakyat.

    Diperlukan semacam tradisi budaya serta iklim politik yang sehat, dituntutnya kesadaran dari lembaga-lembaga yang terkait dengan proses demokrasi yang memerlukan waktu panjang. Perlunya dilakukan perombakan aturan mekanisme kerja pemerintah, pola hubungan pusat dan daerah yang perlu dirumuskan kembali. Dituntutnya pola pikir yang efektif dan efisien bagi penyelenggara negara.

    Demokrasi merupakan suatu proses demokratisasi, suatu masyarakat disebut masyarakat demokrasi, jika didalamnya terdapat proses yang sejati ke arah demokratisasi, yaitu pemberian hak kewajiban, dan kebebasan yang semakin besar kepada rakyat sebagai pemenang kekuasaan atau kedaulatan yang sebenarnya. Disini posisi rakyat merupakan posisi paling vital dalam sistem demokrasi, demokrasi lebih dari seperangkat aturan dan prosedur konstitusional yang menentukan bagaimana suatu pemerintahan berfungsi.

    Bahwa demokrasi itu semacam model ciptaaan untuk mengatasi perbedaan pendapat. Tapi cara mengatasinya harus damai, humanis, konstitusional, dan tidak berdarah. Sebab konflik kan bisa berdarah. Dan kalau setiap konflik diselesaikan secara berdarah kan masyarakat negara akan hancur.

    Dalam sistem demokrasi, pemerintah hanyalah salah satu unsur yang hidup berdampingan dalam struktur sosial dari lembaga-lembaga yang banyak dan bervariasi, partai politik, organisasi massa, dan asosiasi. Keanekaragaman ini disebut pluralisme, dan ini mengamsusikan bahwa banyak kelompok terorganisasi dan terlembaga, didalam masyarakat demokrasi, pemerintah akan sangat bergantung pada legitimasi dari masyarakat untuk kehidupan kekuasaan mereka. Dalam kehidupan ber-demokrasi, kekuasan pemerintah secara hukum telah diuraikan dengan jelas dan dibatasi dengan tajam, sebuah pemerintahan demokratis tidak mengawasi, mendikte, atau menilai isi tulisan ataupun ucapan seseorang, hak dan tanggung jawab demokrasi berpijak pada prinsip bahwa : “pemerintah untuk melayani rakyat ; rakyat ada bukan untuk melayani pemerintah“. Dengan pengertian bahwa, rakyat adalah warga suatu negara yang merupakan basis kehidupan demokrasi, bukan kawula alitnya pemerintah.

    Sementara negara melindungi hak-hak warga negaranya, maka sebagai imbalannya warga negara memberikan kesetiaannya mereka kepada negara. Meskipun negara Indonesia telah merdeka setengah abad yang lalu, tapi sampai dengan hari ini belum menemukan konsep mengenai bentuk demokrasi yang tepat, yang ada hanyalah adopsi yang dilakukan oleh para kaum terpelajar serta pemimpin kita, untuk mengimpor konsep-konsep demokrasi dari luar negeri.

    Kenapa kita tidak melihat dan membaca dulu nilai-nilai kultural bangsa kita yang mungkin dapat mendukung proses demokratisasi di negeri ini, sehingga perlu untuk dikembangkan, mana unsur-unsur budaya demokrasi di Indonesia yang betul-betul bisa bernilai nasional dan bukan hanya lokal, daerah, atau suku?. Sementara kita secara konkret mengetahui segi kebhinnekaan budaya kita dan itu merupakan tantangan kita untuk menemukan segi maupun sisi budaya demokrasi kita dan itu harus diakui masih dalam proses perkembangannnya.

    Perkembangan demokrasi itu bergantung pada, bagaimana suatu pemerintahan yang demokratis bisa menampung dan menyalurkan aspirasi serta kepentingan yang yang di suarakan atau yang di ekspresikan oleh rakyat.

    Dengan adanya keterbukaan yang dilakukan oleh suatu pemerintah adalah suatu “niat baik“, “bukan cara“, begitu pula demokrasi harus kita pandang sebagai niat baik “mencapai tujuan“, dan bukan tujuan itu sendiri, karena yang esensial adalah proses, dimana demokrasi adalah suatu nilai dinamis, nilai esensialnya adalah proses kearah yang lebih maju dan lebih baik dibanding dengan yang sedang dialami masyarakat atau negara.

    Demokrasi merupakan sebuah permainan (hati nurani) yang teratur, dan aturan-aturan tersebut dapat terwujud jika aspirasi atau keinginan warga masyarakat yang berkedudukan sama itu dapat diungkapkan dengan ekspresi yang bebas.

    Maka berkenaan dengan hal tersebut di perlukan adanya kesadaran tentang etika dan aturan main dalam bermusyawarah, yaitu : bahwa hak setiap warga negara untuk memilih dan menyatakan pendapat serta pemikiran, wajib bagi setiap warga negara untuk mendengarkan pendapat serta pemikiran, wajib bagi setiap warga negara untuk mendengarkan pendapat serta pemikiran orang lain begitu juga sebaliknya, supaya membentuk inti ajaran tentang musyawarah. Jika potensi setiap orang untuk benar dan baik mengakibatkan adanya untuk memilih dan menyatakan pendapat, potensi orang untuk salah dan keliru mengakibatkan adanya kewajiban untuk mendengarkan pendapat orang lain. Dan sekali seseorang merasa tidak perlu mendengarkan pendapat orang lain, yang berarti ia sengaja melepaskan diri dari ikatan sosial berdasarkan hak dan kewajiban, saling memberi isyarat tentang kebaikan dan kebenaran. Apabila kaum terpelajar tersebut merasa dirinya sombong maka ia akan terjerembab ke dalam lembah kedzoliman, dalam keadaan seperti tersebut ia akan berkembang menjadi musuh masyarakat, yang disebabkan dorongan pada dirinya, untuk bertindak bertindak sewenang-wenang, karena merasa paling baik dan benar.

    Pemerintah demokrasi merupakan, suatu pemerintahan yang dipilih langsung oleh umat dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan umat dan dijalankan langsung oleh pejabat-pejabat untuk membuat keputusan politik yang rumit, merumuskan undang-undang dan menjalankan program untuk kepentingan umum (populis), yaitu suatu pemerintahan, dari umat, oleh umat, dan untuk umat.

    achmad fathoni

    Alumni IAIN Sunan Ampel 2005

    Sekarang pekerja sosial di PC GP Ansor Gresik

    Tempat Download Gratis

     

    Eson Grisee Copyright © 2009 Community is Designed by Bie