15 July 2007

LAPINDO, PENGUASA & rakyat

KEMANA ARAH CONDONG BAYANGAN PERS
(
sebuah renungan media dalam kasus LAPINDO)

Kumpulan kata-kata yang terorganisir dengan baik, membuat kita asyik membacanya. Karena kata demi kata, kalimat per-kalimat tersusun rapi sehingga menghasilkan bangunan kata yang teratur berkarakter. Meminjam bahasa Foucault, wacana ialah cara-cara tertentu dalam mengorganisir pengetahuan dalam konteks melayani jenis-jenis khusus hubungan kekuasaan.

Media merupakan sebuah alat penyambung informasi kepada khalayak. Melalui wacana-wacana yang terkonstruksi dengan rapi. Berita, merupakan sebuah pesan informasi yang di sajikan kepada masyarakat supaya menimbulkan kesan. Isi berita pada umumnya dinamakan fakta. Yang secara langsung maupun tidak langsung telah mengkonstruksikan wacana-wacana tertentu yang berusaha mengenal mereka (pembaca serta penonton) untuk sedikit memaksakan kekuasaan atas mereka.

Namun hal ini hanya bisa terjadi dalam konteks institusional berbasis kekuasaan, yang melepaskan batasan-batasan apa yang sebenarnya dapat dikatakan, secara lebih konkret. Hanya dalam dan melalui wacana-wacana yang mengekspresikan sudut pandang institusionallah realitas tentang pembaca yang akhirnya dapat dibenturkan melalui konstruksi frame pemberitaan.

Oleh karena itu, institusi-institusi media (cetak dan elektronik) besar yang terlibat dalam penyusunan, produksi, maupun komunikasi acara yang berfungsi mengendalikan pembaca maupun penontonnya dengan cara memperlakukan mereka sebagai obyek wacana. Institusi-institusi itu mengkonstruk dan memproduksi pengetahuan kepada pembaca maupun penontonnya agar dapat mengendalikan mereka-mereka supaya sejalan dengan kebutuhan institusi (pers) serta pemesannya.

Jika institusi-institusi pers mengusahakan mengendalikan pembaca serta penonton melalui berbagai bentuk pengetahuan diskursif, apa saja alasan yang membuat mereka melakukan demikian itu? Apakah ada suatu dorongan universal untuk melaksanakan kekuasaan yang menjadi ciri semua institusi? Ataukah ada alasan-alasan khusus yang bersifat sosial dan historis untuk menjelaskan mengapa hal ini harus terjadi?.

Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas yang dibuat hanya bisa didasarkan pada kriteria-kriteria tertentu yang dapat memilah antara pengetahuan yang lebih bermanfaat dibandingkan yang kurang bermanfaat, sebagaimana mestinya sebuah konsep tentang kekuasaan berkenaan dengan “bagaimana kita diubah menjadi obyek-obyek yang harus dikaji. Pembicaraan serta prilaku kita menjadi sebuah gejala, mimpi, pikiran, maupun sensasi para penonton serta pembaca menjadi hak milik “para pakar”. Itulah kekuasaan. Meminjam bahasa almarhumah putri Diana ketika menasehati pangeran William “knowledge is power”.

Dominasi wacana-wacana tersebut mengandung pengertian bahwa pembaca maupun penonton media pada umumnya belum berpikiran sedemikian menonjol, sebagaimana seharusnya dalam berbagai analisis dan pembahasan soal pembaca maupun penonton media (cetak dan elektronik). Karena memang wacana-wacana tersebut banyak berbicara atas nama, dan bukannya untuk, pembaca maupun penonton setia media.

Berita dibuat karena ada data yang masih tercecer belum terbentuk, yang kemudian di rangkai kedalam bentuk yang enak dibaca. Pers membingkai sebuah realitas sebagai menu pesan sebuah fakta, yang kemudian kita akan memilah dan memilih tersebut, apakah kita setuju atau tidak setuju. Karena semuanya berpulang pada cara pandang masing-masing individu.

Untuk mengumpulkan serta mengorganisir huruf-huruf data yang masih tercecer merupakan tugas seorang jurnalis. Mereka ditentukan oleh norma dalam menyusun fakta yang masih terurai, supaya mereka bisa berposisi pada titik netral sehingga dapat bersikap adil, jujur, obyektif dan tidak melakukan pemihakan (kode etik pers).

Namun adil, jujur, obyektif dan tidak memihak memiliki arti berbeda untuk setiap orang. Amat bergantung pada pada cara pandang. Bagi seseorang, suatu berita mungkin adil, akan tetapi bagi pihak lawannya berita tersebut amat sangat tidak adil.

Dari bentuk-bentuk serta frame pemberitaan diberbagai media (cetak maupun elektronik). Saya ingin berpendapat, bahwa media hanya sanggup memaksakan kekuasaan atas khalayak sampai pada tataran tidak ada sebuah “kontrak” antara teks dan khalayak, yang mengaitkan dengan sejumlah aspek khusus kehidupan sosial khalayak, dan keluasan maupun arah pengaruh tersebut merupakan salah satu fungsi ciri-ciri kehidupan khalayak yang dilembagakan secara sosial, dan muncul dari pemenuhan kontrak karya, oleh karena itu kekuatan “ideologi” tidaklah bersifat tunggal, melainkan benar-benar bervariasi mulai dari yang rasional sampai emosional, dari yang pribadi sampai publik, dari “yang tidak merugikan” sampai “yang merugikan” disesuaikan dengan “kontrak karya” tersebut. Dan semuanya itu mempunyai sifat yang dialogis.

Meminjam bahasa mas Gunawan Muhammad, dalam menampilkan penyajiannya sebuah pemberitaan, pers seharusnya berpihak pada orang yang “teraniaya“, namun tetap harus bertanya kepada orang yang “menganiaya“, kenapa anda menganiayanya?. pers memang harus fair, tapi bahwa pers harus memihak pada orang-orang yang teraniaya, bisakah?.

Maka dari itu, bagaimana cara kita memutar balikkan tafsiran yang sudah ditafsirkan dari sekian banyaknya data dan berbagai macam sisi dari suatu peristiwa yang telah dikonstruksi dalam sifat-sifat maupun bingkai berita dari pers.

achmad fathoni
Gresik/Grisee


0 comments:

Tempat Download Gratis

 

Eson Grisee Copyright © 2009 Community is Designed by Bie