19 March 2010

Muktamar 32 Makassar

NU di Persimpangan Jalan
Jumat, 19 Maret 2010 | 04:44 WIB

Oleh Mohammad Bakir

Selang 100 hari setelah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur wafat, dalam pertemuan di Pasuruan, Jawa Timur, Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga Kacung Maridjan mendapat pertanyaan dari sejumlah ulama. Para ulama mempertanyakan perbedaan pluralitas dan pluralisme.

Setelah mendapat penjelasan, para ulama tidak mempersoalkan pluralitas karena merupakan kodrat dari Tuhan. Tentang pluralisme, mereka masih terus bertanya karena fatwa Majelis Ulama Indonesia telah mengharamkan.

”Meski saya menerangkan berkali-kali, mereka masih belum sepenuhnya paham. Mungkin bahasa saya tak cocok. Yang bisa menjelaskan itu dengan mudah dan langsung diamini ulama pedesaan, ya, Gus Dur. Saya belum lihat ada elite NU sekarang yang punya keterampilan seperti itu,” katanya.

Untuk mengubah pemahaman ulama tersebut, menurut tokoh NU Halim Mahfudz, tidak bisa dilakukan lewat seminar. ”Mereka tak mungkin datang ke seminar hanya untuk mendengar ceramah tentang pluralisme. Yang paling mungkin, didatangi satu per satu, diajak mengobrol dalam bahasa mereka. Dan, yang bisa melakukan itu, ya, hanya Gus Dur,” papar Halim.

Membuat yang rumit menjadi gampang dicerna itulah salah satu kelebihan Gus Dur. Dialah yang selama ini menjembatani hampir semua persoalan kehidupan beragama dan berbangsa dari dan keluar NU. Hanya Gus Dur pula yang bisa menjelaskan gagasan membumikan Islam tanpa menimbulkan gejolak di pesantren tradisional (salaf). Untuk memuluskan gagasannya, Gus Dur menggunakan metode ushul fiqh (filsafat hukum) yang juga diajarkan di pesantren.

Pada Musyawarah Nasional Alim Ulama di Bandarlampung tahun 1992, Gus Dur dan para ulama progresif NU membuat terobosan; antara lain mengubah cara pengambilan hukum yang selama ini berpegang pada pernyataan imam mazdhab (istinbat qauli) menjadi istinbat manhaji, yaitu memakai metode yang dipakai imam mazdhab.

Dengan pendekatan baru itu ulama dituntut lebih mendalami ushul fiqh agar dapat memahami konteks sehingga fatwa yang dihasilkan lebih membumi. Namun, istinbat manhaji ini belum berjalan baik.

Kecenderungan ini yang secara langsung atau tidak membuat sebagian nahdliyin terjebak pada pragmatisme dan terkesan oportunis.

Kemandirian

Muktamar NU di Makassar nanti sangat penting untuk memikirkan agar NU kembali punya kemandirian sikap dalam bermasyarakat dan berbangsa, seperti juga diungkap para kandidat Ketua Umum PB NU, seperti Masdar F Mas’udi, Ali Maschan, dan Salahuddin Wahid. Ada tuntutan untuk tetap berpegang pada Khittah 1926, yaitu NU tetap menjadi organisasi sosial keagamaan dan tak terlibat politik praktis.

Sejak menjadi lokomotif pengendali NU, Gus Dur, demikian Kacung Marijan, telah berusaha membawa semangat Khittah 1926. Namun, yang lebih mengemuka adalah gerakan moderat Islam dan kebangsaan.

Upaya membawa NU sebagai gerakan ekonomi rakyat belum membawa hasil bermakna. Padahal, kemandirian sikap itu hanya dapat dicapai melalui kemandirian ekonomi. Begitu pentingnya mencapai kemandirian ekonomi sehingga Kacung Marijan menganggap hal itu sebagai persoalan utama NU agar menjadi organisasi masyarakat sipil yang mampu melakukan fungsi kontrol dan penyeimbang bagi pemerintah.

Siapa pun nanti yang memimpin NU, kemandirian itu harus dicapai dengan memperbaiki organisasi, memiliki pengurus yang menyerap aspirasi warga, dan dapat memotivasi nahdliyin aktif berorganisasi dengan fokus mengatasi kesenjangan ekonomi, sosial, dan pendidikan. Jumlah anggota yang diklaim sekitar 40 juta orang adalah peluang mencapai kemandirian.

Saat ini, banyak nahdliyin memanfaatkan NU tanpa memikirkan warga NU yang sebagian besar hidup dalam kemiskinan. Inilah salah satu tantangan NU ke depan apabila tidak ingin NU besar dalam jumlah, tetapi lemah kekuatan tawarnya. (NMP/BUR)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/19/04443980/nu.di.persimpangan.jalan

0 comments:

Tempat Download Gratis

 

Eson Grisee Copyright © 2009 Community is Designed by Bie