08 November 2008

    Agama itu damai

    ISLAM SINKRETISME” BUKAN BENTURAN ANTAR PERADABAN

    Sejarah peradaban Islam, diartikan sebagai perkembangan atau kemajuan peradaban Islam dalam perspektif sejarahnya.

    Berawal dari tersentuhnya masyarakat jahiliyah, yang berada dikawasan Timur Tengah Jazirah Arab. Maka karena semua peradaban yang lebih dulu eksis dikawasan belahan lain misalnya, peradaban Romawi, peradaban Persia, peradaban Bizantium. Akan tetapi bagi seorang Nabi Muhammad, justru peradaban masyarakat jahiliyah tersebut disentuh oleh Nabi, dengan sentuhan halus proses akhlaqisasi (Islam) hingga memunculkan istilah peradaban Islam yang dalam bukunya (Benturan antar Peradaban) Samuel P. Huntington. Bahwa peradaban Islam termasuk salah satu dari dua belas (12) peradaban Mayor yang masih eksis, tujuh peradaban tidak lagi eksis (peradaban-peradaban Mesopotamia, Kreta, Klasik, Bizantium, Amerika Tengah, dan Andea) dan lima (5) peradaban masih eksis (peradaban-peradaban Tionghoa, Jepang, India, Islam, dan peradaban Barat).

    Masa proses perkembangan peradaban Islam di Jazirah Arab zaman jahiliyah, dengan perjalanan serta penyebaran yang sampai meluas ke berbagai benua, diawali Asia terus menyeberang melalui laut Merah menuju benua hitam (Afrika), terus melangkah maju melewati selat Jabal Thoriq (Gibraltar), melalui Spanyol menuju benua Eropa. Untuk membangun nilai-nilai peradaban Islam.

    Perkembangan peradaban Islam diberbagai tempat didunia. Peradaban Islam Timur tengah, peradaban Islam Asia, dan peradaban Islam Spanyol (Cordoba). Perkembangan dan kemajuan serta pertumbuhan peradaban Islam yang didasari oleh, olah maupun pola berfikir (intelektual) sedikit lebih maju dari masyarakat Islam. Sehingga dapat mempengaruhi cara berfikir (pencerahan) terhadap peradaban (negara) lain.

    Demi pengembangan disiplin keilmuan untuk pembangunan pengetahuan adalah kekuatan ditengah arus globalisasi peradaban dan universalisasi nilai-nilai, adalah suatu keharusan bila sejarawan menyumbangkan ilmunya kepada bangsanya dalam usaha mengenal diri sendiri agar supaya rekayasa masa depan tetap berpijak pada jati diri bangsa. Dalam kaitan inilah sejarah peradaban mempunyai peranan yang penting, karena hanya dengan melihat ke masa lalu, kita akan dapat membangun masa depan yang lebih baik. Selebihnya, sejarah juga menawarkan cara pandang yang kritis mengenai masa lalu, sehingga tidak akan terjebak pada archaisme dan anakronisme, sekalipun kita berpijak pada jati diri yang terbentuk di masa lampau sejarah kita.

    Peradaban, sebuah peran kehidupan manusia yang lebih menekankan pada aspek ekspresi akhlaqisasi yang telah teratur serta terstruktur, punya model, maupun berwujud nyata melalui kecerdasan nalar dengan sifat religinya.

    Peran (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peran.

    Peran yang melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan posisi dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi seseorang dalam masyarakat (yaitu social position) merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu pada organisasi masyarakat. Peran lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses. Jadi, seseorang menduduki suatu posisi dalam masyarakat serta menjalankan suatu peran.

    Karena gerak perkembangan masyarakat banyak dipengaruhi oleh peran-peran dari sebuah sistem kedudukan dengan fungsi dan penyesuaian diri, dari suatu proses sejarah.

    Memotret Peradaban “Sinkretisme” Islam Pribumi

    Giri Kedaton, sebuah pemerintahan kerajaan. Giri kedaton punya banyak peran dalam membangun dan mengembangkan fungsi peradaban Islam Indonesia. Yakni sebuah peradaban saling mengerti dan memahami sebagai kekuatan utamanya.

    Peradaban Giri Kedaton merupakan bagian dari sejarah proses Islamisasi (baca :akhlaqisasi) bangsa Indonesia. Tidak akan mungkin bila kita berdakwah tanpa mengenal peran pengembangan akhlaqisasi yang dilakukan Giri Kedaton yang sampai ke pulau halmahera, hitu, dan kepulauan Maluku. Karena sejatinya peradaban adalah saling berafiliasinya peradaban yang lama dengan peradaban yang baru dengan semangat sinkretisme (campur, damai). Bukannya peradaban baru dengan watak saling menundukkan dan mengeliminasi atau menyingkirkan antar peradaban secara signifikan dan dramatis.

    Peran perkembangan Peradaban Islam Sinkretisme Giri Kedaton di topang oleh keunggulan mereka dari segi-segi nilai luhur akhlaqul karimah, pengorganisasian, dan disiplin perjuangan. Tampil sebagai pemeran utama untuk mengawal proses dakwah akhlaqisasi. Pemerintahan Giri Kedaton juga tidak lupa berpegang teguh pada hakikat prinsip-prinsip agama Islam, akan tetapi di sisi keduniawian, dengan peran yang dilakukan pemerintahan Giri Kedaton, jarang sekali kita temui benturan-benturan antar peradaban yang dahsyat. Namun yang terjadi justru pembauran-pembauran, perampuran, bukannya pandangan sempit hitam atau putih (Islam Bom)yang jelas-jelas bukan Jihad fi sabililah melainkan mati sangit bukan syahid. Menurut saya Jihad Fi sabililah di zaman sekarang (merdeka) ini adalah melestarikan, ngurip-uripi (menghidup-hidupkan), tahlilan, diba'an, istighotsah, memberdayakan fakir-miskin, janda-janda dll. Gerakan akomodatif, menghargai hubungan antar sesama manusia (memanusiakan manusia), hingga munculnya istilah peradaban sinkretisme, yang merupakan peradaban baru yang penuh dengan suasana damai.

    Sebuah peradaban merupakan nilai luhur sejarah perkembangan manusia dalam menghadapi zamannya. Janganlah sekali-kali melupakan proses sejarah bangsa sendiri. Dan mereka-mereka yang melupakan masa proses peradaban sejarahnya pasi akan banyak melakukan kesalahan-kesalahan dalam kehidupan bernegara maupun bermasyarakat.

    melestarikan budaya lama yang baik, mengikuti budaya baru yang lebih baik tanpa harus terhanyut. Disamping itu pula. Ini adalah sikap melestarikan dan membuang, yang biasa dilakukan orang, dalam sejarah manusia, bukan?

    Wallahu a’lam bi shawab.


    nur achmad fathoni

    Alumni IAIN Sunan Ampel 2005

    Sekarang pekerja sosial di GP ANSOR GRESIK

    Rakyat dan Politik

    Gus Muhammad SAW


    Oleh : Emha Ainun Nadjib

    Sudah terpecah dan terkeping sampai seberapa PKB, juga NU? Tidak. Kita ambil perspektif lain. Itu bukan bentrok, bukan perpecahan. Itu romantisme demokrasi. Itu dinamika ijtihad (perjuangan pemikiran). Itu produk wajar dari tradisi berpikir merdeka: salah satu prinsip yang membuat manusia bernama manusia.

    Sebagaimana kalau jumlah pemeluk Islam ada sejuta, maka dimungkinkan ada sejuta aliran, dipersilakan setiap orang memberlakukan tafsirnya masing-masing, dan satu-satunya yang berhak menagih pertanggungjawaban adalah Tuhan. Silakan ada golongan NU, Muhammadiyah, Persis, Persis NU, Persis Muhammadiyah, Muhammad NU, Suni, Syiah, Sun`ah, Syinni, PKNU, Langitan, Bumian, Lautan, Gunungan, PKB Alwiyah, PKB Wahidiyah, PKB Muhaiminiyah, PKB Yenniyah... semakin banyak semakin demokratis dan menghibur.

    Tapi omong-omong sebenarnya PKB adalah satu-satunya parpol yang konstituennya paling berakar. Mungkin tidak tepat benar metafor berikut ini: tapi ibarat hutan dan taman: PKB adalah upaya membangun hutan menjadi taman. Taman PKB berbasis di hutan yang melahirkan PKB, dengan akar dan sifat hutan yang masih kental. Golkar, misalnya, adalah sebuah taman modern yang profesional, sejumlah pohon diambil dari hutan dan tetap mendayagunakan kimia tanah hutan --tetapi ia sebuah taman teknokratis yang tidak memprimerkan hutan.


    Semua -PDI-P, PPP, PKS, PAN, PD, atau PBB-- juga tidak steril hutan, tetapi PKB yang paling jelas berakar di hutan. Asal muasal sosiokulturalnya, dialektika historisnya, masih menampakkan kekentalan perhubungan antara tamannya dan hutannya. Sebagaimana PAN, PKS, PPP, dan PBB "gagal" mewujudkan jargonnya Cak Nurcholish Madjid "Islam yes, partai Islam no" --PKB-lah yang paling kental setting budaya santrinya. "Partai Islam no" susah keluar dan berkembang dari lembaran AD-ART-nya, de facto tetap saja "partai Islam". Meskipun Ifrith Sekjen Komunitas Jin Internasional direkrut masuk PKB, tetap saja yang terjadi bukan pluralisme, orang tetap menganggap Jenderal Ifrith yang masuk NU supaya kalau meninggal ditahlili.

    Andaikan saja tradisi transformasi sosial berlaku cukup matang di Indonesia, kemudian atas dasar itu PKB dibangun kembali secara modern, maka dia susah ditandingi oleh kelompok politik yang mana pun lainnya.

    Tetapi PKB semakin seru saja bergumul di dalam bungkusan "sarung" tradisional. Mungkin saja sarung itu bermerek "Gus". Belum tentu benar, tapi kalau mau menabung pembelajaran tentang PKB hari ini, ada baiknya kita tengok sosiologi budaya "gus", bahkan mungkin "antropologi"-nya.

    Sopan santun Jawa menyebut Nabi Muhammad SAW dengan Kanjeng Nabi. Dalam bahasa Arab: Sayyid, semacam Sir. Sayyidina Muhammad.

    Beliau pernah bilang, "Saya jangan di-sayyid-sayyid-kan". Maka, masyarakat Muhammadiyah cenderung tidak memakai gelar Sayyidina. Panggil ngoko saja: Muhammad. Tetapi, kalau kita menyebut pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan dengan "Dahlan" saja, "Si Dahlan", atau dulu ketika beliau masih sugeng kita menyapa beliau: "Mau ke mana, Lan?" --teman-teman Muhammadiyah banyak tak siap juga.

    Jadi idiom "Sayyidina" itu mungkin berkonteks budaya sebagaimana kita memanggil "Pak", "Mas", "Om". Tentu saja "saya jangan di-sayyid-sayyid-kan" itu tidak berhenti pada makna harafiah. Maksudnya, Kanjeng Nabi kita jangan feodal, jangan menjunjung-junjung secara tidak rasional. Allah semata yang 'Ali Akbar, Yang Mahatinggi dan Mahaagung. Sampai-sampai beliau tidak mau digambar wajahnya, khawatir jadi ikon, branding, berhala, mitos.

    Di kalangan Jawa tradisi, dipakai kata "kanjeng", "raden" atau "den". Den-nya masyarakat santri adalah "gus". Gus itu semacam raden yang "Islami". Di Jombang ada Gus Rur, Gus Nur, Gus Dur. Untuk saya ada gelar VIP: "Guk", Guk Nun. Itu panggilan sesama teman penggembala kambing, kerbau, sapi, ngasak di sawah.

    Gus itu lebih tinggi dan lebih luas dibandingkan dengan den. Itu berlaku tak hanya secara tradisional. Semua wacana, persepsi, dan analisis tentang wilayah perpolitikan tertentu di Indonesia selama 35 tahun ini terlalu meremehkan dahsyatnya kekuatan "gus". Sampai hari ini kita gagal ilmu, gagal objektivitas, gagal kejujuran, gagal kerendah-hatian dan kejantanan di dalam memotret fenomena sangat faktual itu dalam frame pemikiran demokrasi, egaliterianisme, independensi budaya dan politik.

    Itu pun kalau bicara tentang Gus Dur, NU, PKB, Muhaimin Iskandar, Yeni Wahid, PKNU, Choirul Anam, Kiai (desa pesantren bernama) Langitan, dan seterusnya, tanpa setting sejarah yang "masuk lubuk hutan" secara cukup memadai. Gus Dur, NU, PKB, dan lain-lain hanya kita jadikan anasir-anasir dari khayalan akademik kita yang asyik sendiri dengan huruf-huruf, yang karena para akademisi dan pengamat adalah penguasa negeri wacana, maka mereka mengumumkan kepada dunia dan dirinya sendiri bahwa NU itu begini, Gus Dur itu begitu --kemudian tatkala besoknya terbukti tak ada eskalasi rasional dari wacana-wacana itu, kita diam-diam melupakannya.

    Emha Ainun Nadjib
    [Kolom, Gatra Nomor 37 Beredar Kamis, 27 Juli 2007]


    Tempat Download Gratis

     

    Eson Grisee Copyright © 2009 Community is Designed by Bie