BELAJAR SANDIWARA PEMILIHAN UMUM 2004
Tanggal 5-Juli-2004, bangsa
Normalnya 5 tahun sekali republik ini melangsungkan hajatan nasional pemilihan umum, yang diatur undang-undang yang perumusannya dilikukan oleh manusia yang beradab sekaligus terpelajar, negeri gemah ripah loh jinawi toto tentrem kertaraharja. Maka terbentuklah kepanitiaan, sebagai penyelenggara pemilihan umum 2004, lembaga kepanitiaan tersebut bernama komisi pemilihan umum (KPU), lembaga tersebut bekerja setelah diturunkannya
Dimulai dengan sosialisasi melalui berbagai macam cara, menggunakan berbagai macam media
Bayangkan Rp 3,5 trilyun, biaya untuk pelaksanaan pilpres I (pilihan presiden), yang dikeluarkan oleh negara melalui panitia anggaran belanja negara, itu belum yang didapat dari negara-negara donor melalui lembaga-lembaga mereka (UNDP, USAid, AUSaid, Uni Eropa, dan lain-lain) yang ikut berpartisipasi demi suksesnya proses demokratisasi. Kalau dilihat dari jumlah anggaran senilai Rp 3,5 trilyun saja, kemungkinan KPU masih “merasa” kekurangan bahkan cenderung pucat pasi untuk memenuhi kebutuhan logistic pemilihan umum secara nasional, tapi kalau sudah didonor dana, apa mungkin badan KPU masih gemetaran bingung serta wajahnya masih pucat pasi kurang dana.
Anggaran dana yang dikucurkan dan didonorkan kepada KPU tersebut, supaya kerja, para pekerja di lembaga tersebut bekerja sesuai dengan gaji yang mereka terima. Siang, malam mereka harus memikirkan format maupun bentuk teknis pencoblosan, melalui hasil musyawarah mufakat anggota KPU, supaya dalam keputusannya tidak adanya beda pendapat [an] antar anggota KPU.
Logistic di-distribusikan ke seluruh pelosok nusantara, mulai dari sabang sampai merauke, guna terselenggaranya pesta demokrasi yang normalnya 5 tahun sekali, dalam hal tersebut ternyata KPU sudah pintar membaca situasi, karena mereka telah belajar dari pemilihan umum legislatif, proses distribusi logistic berjalan dengan sangat lancar tanpa hambatan yang berarti. Sehingga tidak menuai protes dari orang-orang yang berani memprotes.
Dimulai dari kertas, bilik, tinta, serta kotak suara, maupun seperangkat alat pemlihan umum lengkap yang telah siap digunakan serta sebagai jaminan maupun ikatan antara KPU sebagai penyelenggara dengan umat calon pemilih. Dengan begitu, kedua mempelai siap mensukseskan pesta demokrasi.
Kertas pemilu yang secara fisik estetis, telah memenuhi syarat untuk dicoblos, tapi secara teknis kertas tersebut dalam lipatannya kurang mendapat perhatian sehingga mengakibatkan banyaknya coblosan yang tidak disahkan oleh petugas dilapangan (KPPS), seharusnya hal-hal yang bersifat teknis dan tidak diinginkan oleh masyarakat pemilih tidak terjadi. Hal tersebut mengenai kasus coblosan tembus vertical akibat teknis melipat
Bilik, saya melihatnya masih memakai yang kemarin digunakan pada waktu pemilihan umum legislatif, karena memang secara fisik bilik tersebut masih memenuhi syarat dipakai kembali. Begitu juga kotak suaranya masih kelihatan seperti yang kemarin. Kalau memang benar, kotak dan bilik itu menggunakan yang kemarin berarti KPU telah melaksanakan anjuran iklan PLN (perusahaan listrik negara) yang berbunyi “hemat energi hemat biaya”.
Tinta sebagai penanda untuk para pencoblos, sehingga tidak berbuat curang. Pada pelaksanaan pemilihan umum legislatif kemarin tinta-tinta tersebut khusus di-impor oleh KPU dari
Penghitungan suara dengan menggunakan tehnologi informasi (T.I), yang telah menghabiskan dana milyaran rupiah. Dimulai dari pemilu legislatif kemarin yang pada akhirnya juga menggunakan penghitungan secara manual, sehingga semuanya bisa dikatakan sia-sia saja. Entah dalam pemilu pilpres yang sampai detik ini masih menggunakan komputerisasi tehnologi informasi, apakah nasibnya akan sama dengan pemilu legislatif, kita tunggu saja. Lemahnya proteksi komputer-komputer KPU dalam menghadapi serangan hacker dan virus, yang merupakan indikator dilakukannya penghitungan secara manual tradisional, dengan motto : Biar lambat asal selamat.
Bagaimanapun juga manusia tetaplah seorang manusia, bukanlah “seekor”, tapi manusia adalah binatang yang berpikir. Dengan segala tindakannya manusia berpikir untuk belajar dari kesalahan-kesalahan yang telah lewat, pengalaman peradaban merupakan guru terbaik daripada sifat “sok”, siapa aku ?. maka dariNyalah bertindaklah sesuai dengan aturan main hati nurani yang sudah digariskan. Janganlah hidup penuh dengan kamuflase demi keuntungan pribadi, bersikaplah jujur dan transparan sesuai kenyataan sejati manusiawi, hargailah dirimu sendiri sebelum penghargaan dilimpahkan bersamaan dengan penilaian legalitas lembaga hukum formal yang berlaku di negeri ini.
achmad fathoni
Gresik
0 comments:
Post a Comment