FATWA & SKB [kebijakan] KARBITAN BUAT WARGA BERLABEL AHMADIYAH
Gejala kekerasan (violence), kebiadaban (barbarity), kekejaman (cruelty), dan segala bentuk tindakan yang melampaui batas kemanusiaan (inhumanity) yang muncul dalam kehidupan umat manusia, pada hakikatnya telah tua, setua perjalanan panjang sejarah manusia itu sendiri.
Tawuran antar masyarakat beragama yang mengatasnamakan keyakinan beragama berawal-mula dari fatwa-fatwanya para ustadz-ustadz (MUI), yang pada akhirnya di adopsi oleh para ustadz-ustadz yang ada di ormas-ormas pembela Islam. Yang jadi pertanyaan, apakah selama diskusi di lembaga MUI, para ulama-ulama, ustadz-ustadz tidak menjadikan pancasila dan UUD 1945 (pasal 29 ayat 1 dan 2) menjadi salah satu bahan rujukan mereka? “Untuk dapat melindungi bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan abadi, dan keadilan sosial“.
Idealnya harus ada diskusi dengan suasana penuh keakraban, keterbukaan, kekeluargaan, sukacita, dan cinta antar masyarakat. Prilaku dan kepribadian para pemimpin (pejabat) yang dalam setengah abad ini kurang dapat dijadikan panutan para masyarakat jelata, meski telah beberapa kali adanya proses demokrasi (pemilu). Karena segala sesuatu yang diatas selalu tercermin ke bawah. Padahal kanjeng Nabi sudah pernah mencontohkan ketika diskusi dengan orang beda keyakinan, dengan berkata “Bagimu keyakinanmu dan Bagiku keyakinanku”. Setelah diskusi tersebut maka selesailah persoalan tentang keyakinan tanpa harus ada acara bakar-membakar masjid.
Ironis memang, umat manusia yang telah mengalami perjalanan mencapai peradaban tinggi seperti yang kita saksikan pada masa sekarang ini, kenyataannya masih tetap bergumul menghadapi gejala kekerasan yang mengancam perdamaian dan keamanan kehidupannya. Secara umum telah dikemukakan bahwa kekerasan sebagai tragedi kehidupan yang selalu menampakkan sifat dan sikapnya hampir disepanjang sejarah umat manusia.
Berikut kutipan saya dalam tulisannya KH. Quraish Shihab (guru besar UIN Syarif Hidayatullah) tentang tujuh kata yang dihapus Nabi Muhammad SAW : “Dalam sejarah Islam dikenal apa yang dinamai dengan “shulh Al Hudaibiyah”. Yaitu perjanjian perdamaian yang disepakati pada tahun keenam hijri. Perjanjian ini merupakan perjanjian antara Nabi Muhammad saw dan Suhail bin Amr yang ketika itu mewakili mayoritas penduduk Makkah yang masih musyrik.
Perjanjian ini dinilai oleh banyak sahabat nabi sebagai sangat menguntungkan lawan, walaupun banyak pakar Al Qur'an yang kemudian menilai bahwa Allah SWT menamainya fath mubin (kemenangan yang sangat jelas bagi kaum muslim [lihat QS 48: 1]).
“Siapa yang mendatangi Muhammad (untuk memeluk agama Islam), maka ia harus dikembalikan, tetapi yang meninggalkannya menuju Mekkah tidak dapat dikembalikan.” demikian salah satu butir perjanjian yang sulit dipahami oleh kebanyakan sahabat Nabi. Mengapa perjanjian ini disetujui oleh Nabi?
Namun demikian, reaksi yang ditimbulkannya belum seberapa dibandingkan dengan penghapusan tujuh kata yang dilakukan oleh Nabi ketika merumuskan naskah perjanjian tersebut.
“tulislah wahai Ali, bismillahirrahmanirrahim”
Ali ra pun menulis, tetapi dengan serta merta Suhail keberatan: “kami tidak mengenal Al-Rahman, hapuslah kata itu dan tulislah dengan namamu wahai Tuan.”
Nabi saw. Menyetujui dan memerintahkan menghapus basmalah sambil melanjutkan : “inilah perjanjian perdamaian antara Muhammad Rasulullah dan Suhail bin Amr.”
“Tidak, tidak! Kalau kami mengakuimu sebagai pesuruh Allah, niscaya kami tidak memerangimu. Hapus itu dan tulislah “Muhammad putra Abdullah.”
sekali lagi Rasulullah saw, menyetujui sambil berkata : “Demi Tuhan, aku adalah pesuruh Allah walau kalian mengingkarinya, hapuslah kata tersebut, wahai Ali!”
Ali ra, tampak ragu, sementara para sahabat yang lain menggerutu. Umar bin Khattab berkata : “mengapa kita harus menerima kehinaan bagi agama kita?”
“Tenanglah, wahai Umar. Aku ini pesuruh Allah.” Nabi Muhammad saw, lalu mengambil naskah rancangan perjanjian tersebut dan menghapusnya dengan tangannya sendiri kata-kata “Muhammad Rasul Allah”.
Demikianlah tujuh kata, yaitu Bismi, Allah, Al-Rahman, Al-Rahim, Muhammad, Rasul, dan Allah, di hapus oleh Nabi saw.
Peristiwa diatas menunjukkan betapa luwes dan sabarnya sikap beliau menghadapi kaum musyrik demi perdamaian. Beliau sadar bahwa mereka sebenarnya tidak mengerti atau tidak mau mengerti. Tetapi setelah diskusi ilmiah mereka samakan dengan pokrol, keluwean mereka nilai kelemahan, perjanjian yang telah disetujui mereka langgar, ketika itulah tidak ada jalan lain kecuali ketegasan, walaupun itu masih harus selalu diliputi oleh rahmat dan kasih sayang.
Ketika memasuki kota Makkah sebagai sanksi atas pelanggaran perjanjian tersebut, beliau mengingatkan untuk tidak menumpahkan darah. Dikecamnya sahabat-sahabatnya yang bermaksud menjadikan hari tersebut sebagai hari pembalasan. “tidak!” kata beliau, “ini adalah hari kasih sayang” dapaun “semboyan” yang disetujuinya adalah : “akhun karim wa ibnu akhn karim” (saudara sebangsa yang mulia dan putra saudara sebangsa yang mulia). Sungguh agung manusia ini. Alangkah wajar kita meneladaninya”.
Pencapaian titik jenuh masyarakat setelah proses menonton unsur-unsur ketimpangan, ketidakadilan, kecurangan, KKN, teror, pemaksaan, represi, dan seterusnya. Jika ada unsur-unsur itu berarti ada yang menjadi korban atau sengaja dikorbankan. Yang jelas akibat-akibatnya nyata dialami oleh sebagian besar masyarakat kelas bawah. Dalam kenyataan situasi sekarang ini, kita tidak mudah menemukan pelaku atau penyebab kekerasan demi kekerasan yang terjadi.
Kehidupan ekonomi sulit menjepit dalam sebuah ruang sempit yang mencekik rasa dan jiwa kemanusiaan. Padahal kalau digali lagi melalui perpustakaan (berpikir), maka akan kenalan dengan Johan Galtung penulis buku kekuasaan dan kekerasan. Kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada dibawah realisasi potensialnya. Suatu pernyataan mencerahkan yang membutuhkan definisi lebih lanjut, kemudian bisa disimpulkan secara langsung atau tidak langsung, direncanakan atau tidak terencana. Akan tetapi semua itu jelas sebuah kalimat tentang kekerasan.
Sebuah negara yang telah menelantarkan (amnesia) terhadap rakyatnya sehingga banyak menderita kelaparan (busung lapar) sampai mati. Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang, penyalahgunaan dana dan sumber daya lain demi segelintir pejabat, semuanya itu merupakan bagian dari kekerasan. Hanya dengan usaha untuk mencari sumber kekerasan pada pelaku atau aktor saja kurang cukup, harus ditindaklanjuti dengan merogoh serta mengobok-obok sistem atau struktur yang memang selama ini menjadi pelatuk atau sumber hingga mengakibatkan kondisi masyarakat sangat gampang tersinggung bertindak kekerasan.
Melihat fenomena yang terjadi bukan merupakan murni persinggungan antar masyarakat, akan tetapi ada tangan-tangan “bijak” para pemimpin (pejabat) yang selama ini kurang disadarinya dan Selama itu pula masyarakat kita menonton, memperhatikan serta merasakannya. Jadi semua kejadian akhir-akhir ini bermuara di elit-elit pejabat eksekutif, pejabat yudikatif, dan pejabat legislatif, yang dalam rentang waktu selama menjabat untuk menjadi pengelola dan pengatur. Semua kebijakan-kebijakan selama ini dikeluarkan demi kesejahteraan serta keadilan yang merata bagi masyarakat?
Maka dari itu kita butuh perjuangan kolektif yang dimulai dari elit masyarakat (pejabat), sampai masyarakat jelata untuk bersama melawan kekerasan, yang berarti berjuang bagi terciptanya masyarakat yang adil, manusiawi, dan solider. Untuk itu struktur yang jelek dan korup harus dibongkar, proses tersebut tidak mudah, namun perjuangan ke arah sana harus jadi langkah prioritas seluruh elemen-elemen pada tingkat elit (pejabat) masyarakat. Khususnya yang paling mendasar adalah struktur yang menyangkut bidang perekonomian.
Kalau tidak, kita akan hidup dalam suasana kekerasan terus-menerus. Mematahkan lingkaran kekerasan dan mengubah struktur kekerasan berarti membangun kultur positif dalam masyarakat yang keras, kita membutuhkan budaya baru yang ditandai dengan aksi tanpa kekerasan, kejujuran, bela rasa, sopan santun, dan hormat pada kehidupan. Perjuangan bagi keadilan, kebebasan, martabat kemanusiaan berarti perjuangan bagi seluruh masyarakat bangsa ini agar terbebas dari segala bentuk-bentuk kekerasan, mudah-mudahan.
Wallahu a’lam bi showab.
achmad fathoni
Anggota IKASA IAIN Sunan Ampel 2005
mengajar PAKET C di Pesantren Al-Abror Gresik
0 comments:
Post a Comment