DEMOKRASI DAN MUSYAWARAH (ISLAM)
Pada abad kontemporer ini Islam dihadapkan pada berbagai problem, khususnya problem dalam konstitusi negara. Dunia barat menilai bahwa sistem pemerintahan yang ada pada negara-negara Islam saat ini sangat tertinggal. Dalam artian sistem ini tidak berkembang sesuai dengan perkembangan dunia modern. Sudah selayaknya bagi Islam untuk mencoba beradaptasi ataupun mengadopsi sistem demokrasi yang terbukti sangat menjunjung tinggi HAM (hak asasi manusia). Kemudian meminimalkan aksi-aksi ekstrim anarkis beberapa kelompok Islam yang menyebabkan kekacauan dan ketidakstabilan situasi.
Istilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Kata “Demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan rakyat) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica (montesque) yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Berikut ini pandangan sebagian umat muslim yang memandang bahwa, demokrasi bertentangan dengan Islam. [QS: An-Nazi’at: 57] Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik".
Walaupun dalam banyak hal demokrasi bertentangan dengan agama, tetap terdapat titik singgung yang mempertemukan antara keduanya. Baik agama maupun demokrasi sama-sama menginginkan terciptanya keselarasan hidup manusia dalam suatu tatanan yang saling menghormati. Perbedaan mendasar adalah bahwa agama memiliki klaim absolut atas kebenaran yang didasarkan pada sumber Kitab Suci. Sementara demokrasi tidak mengharuskan adanya koridor paten nilai-nilai yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Akibatnya kebenaran agama seringkali bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, sehingga terciptalah sekat antara agama dan demokrasi. Untuk menyiasati kenyataan ini Gus Dur mencoba mengadakan transformasi nilai-nilai agama. Selanjutnya agama akan meneruskan tranformasinya ke wilayah ekstern. Upaya yang ditempuh adalah mengubah komitmen agama dari hanya bersandar pada teks normatif kepada kepedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Karenanya Gus Dur berusaha untuk mempertemukan nilai-nilai keyakinan antar agama di Indonesia dalam satu titik perjuangan martabat manusia. Ia berusaha menundukkan keyakinan masing-masing agama dalam sebuah tataran baru hubungan antaragama, yang dapat diwujudkan dalam bentuk pelayanan kemanusiaan. Agama menurutnya akan dapat selaras dengan demokrasi jika memiliki watak membebaskan. Islam hadir ke dunia untuk membebaskan manusia dari belenggu ”Jahiliyah”. Islam memberi kebebasan kepada umatnya untuk berkreasi menciptakan peradaban yang lebih manusiawi. Agama apapun sama-sama mengemban misi perbaikan kehidupan umat manusia melalui perubahan struktur masyarakat. Dengan tegas Al-Qur’an menegaskan bahwa Muhammad diutus ke muka bumi untuk memberi rahmat bagi seluruh alam. Membangun kesejahteraan semesta, bukan menindas bangsa-bangsa. Titik temu antara agama dan demokrasi inilah yang harus selalu dikedepankan dalam membangun Indonesia masa mendatang. .potensi nalar agama akan sanggup menopang perjuangan penegakan demokrasi di Nusantara. Sehingga pada gilirannya proses demokratisasi tidak akan kehilangan ruh ketuhanannya. Tidak terjebak dalam budaya menyimpang semacam hedonisme dan materialisme. Kalau kita lihat dari kacamata kemanusiaan bahwa konsep demokrasi merupakan benar-benar memberi pendidikan kepada masyarakat luas tentang. “Nilai-nilai kejujuran, keterbukaan, dan keselarasan”.
Sebuah peristiwa sejarah pada zaman pemerintahan Giri Kedaton yang melakukan musyawarah untuk membuat keputusan tentang perilaku Syech Siti Jenar yang selalu melakukan oposisi terhadap pemerintahan yang sah.
Berikut ini para raja serta ulama’ yang mengikuti majlis musyawarah, yang melaksanakan sarasehan (dialog) ilmu roso. Mereka terdiri dari para wali sembilan yang berkumpul di masjid Giri Kedaton ; pengikutnya terdiri para ratu dan para wali lainnya. Diantara yang bicara adalah kanjeng sinuhun Prabu Sat Netra (Sunan Giri), Sunan Bonang Tinari, Sunan Kalijogo, Sunan Ngampel, Sunan Qudus, Seih Siti Jenar, Seih Benung, Pangeran Palembang dan Panembahan Ma’dum.
Demokrasi sesuai dengan ajaran Islam
Terlepas dari arti secara harfiah dimana demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari dan untuk rakyat yang memberi kesan bahwa dalam sistem pemerintahan seperti ini rakyat adalah segalanya, demokrasi memiliki esensi yang lebih penting. Esensi penting yang dikandung demokrasi adalah menghapuskan diktator mayoritas dan tirani minoritas yang banyak terkandung dalam sistem pemerintahan lainnya. Demokrasi mengisyaratkan adanya persamaan kedudukan setiap individu. Sehingga dalam negara demokrasi, setiap orang memiliki hak suara yang sama dan berhak untuk didengar. Dalam negara demokrasi seharusnya tidak akan ada pemerintah yang otoriter yang memaksakan kehendaknya atau kehendak golongannya. Setiap warga negara dilindungi haknya oleh negara. Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa demokrasi sesuai dengan ajaran Islam dimana setiap umat manusia adalah sama kedudukannya di mata Allah SWT yang membedakan hanyalah iman dan taqwanya.
Esensi demokrasi dapat pula kita lihat dari pesta demokrasi atau Pemilu yang diadakan untuk memilih Presiden atau pemimpin suatu negara. Di Indonesia bahkan kini kita telah mulai melaksanakan pemilihan pemimpin pemerintahan tingkat provinsi dan kota. Sistem pemilihan seperti ini sesuai dengan ajaran Islam yaitu sesuai dengan yang telah diajarkan oleh para pendahulu kita dalam pemilihan Khilafah, sejak wafatnya Rasulullah saw. Dan perlu diingat bahwa kekhilafahan Islam runtuh pada jaman Utsmani dimana tidak diterapkannya demokrasi dalam memilih khilafah karena sejak masa pemerintahan Utsmani kekhilafahan Islam diberikan secara turun temurun.
Demikian dapat kita simpulkan bahwa demokrasi sesuai dengan ajaran Islam bahkan adanya perbedaan pandangan dalam Islam mengenai demokrasi merupakan suatu bentuk demokrasi itu sendiri. Di Indonesia, praktek demokrasi dengan mengutamakan musyawarah mufakat merupakan suatu bukti bahwa negara Indonesia memiliki jati diri dengan menyesuaikan pelaksanaan demokrasi dengan kepribadian bangsa.
Selain itu musyawarah mufakat juga sesuai dengan ajaran Islam, karena Islam mengutamakan musyawarah dalam mengambil kehidupan yang menyangkut kepentingan orang banyak. Bahkan musyawarah atau syuro memiliki kedudukan tersendiri dalam agama Islam, yakni selain dianjurkan dalam beberapa ayat Al Qur’an, syuro juga dijadikan sebagai salah satu nama surat di Al Qura’an yaitu : sebagai surat ke 42, surat Asy-Syuura [Asy Syuura: ayat 38]. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Mewujudkan negara Indonesia yang demokratis sesuai syari’at Islam harus dimulai dari masyrakat muslim itu sendiri. Umat muslim khususnya umat muslim Indonesia harus menegakkan ajaran Islam dalam setiap bidang kehidupan termasuk pemerintahan. Ajaran Islam yang bersifat universal dan menyeluruh akan menuntun kita dalam mewujudkan negara yang demokratis. Kalau kita perhatikan dalam ormas Islam di Indonesia, khususnya NU (Nahdlatul Ulama’). Kita akan menemukan dewan syura di dalamnya. Ini adalah suatu dewan perwakilan yang fungsinya memberikan arahan-arahan pada ketua. Pemerintahan dalam Islam juga demikian, pembentukan Majelis Syura (Dewan Musyawarah) diperlukan untuk menampung suara-suara masyarakat. Selain itu dewan ini mewakili rakyat dalam pemilihan. Anggota-anggota dari majelis ini dipilih sesuai dengan kapabilitasnya. Mungkin kalau dalam pemerintahan sekarang kita menyebut dengan istilah Wantimpres.
Dalam Demokrasi khususnya di Indonesia kita tahu kiprah para ulama-ulama kita yang sejak zaman kemerdekaan sudah sepakat dengan sistem demokrasi, dengan meminjam istilah KH Wahab Hasbullah “bersepakat untuk tidak sepakat. Berbeda, tetapi tetap bersaudara” , kita semua tahu bahwa semangat para ulama’ untuk berdemokrasi itu sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad Saw.
Oleh karena itu, ajaran Islam harus dilaksanakan secara menyeluruh atau kaffah tidak terpisah-pisah atau sekuler. Sebagai contoh pada masa kepemimpinan Rasulullah di Madinah, dengan menegakkan ajaran Islam dalam setiap sendi kehidupan termasuk pemerintahan, umat Islam dan non-Islam dapat hidup berdampingan secara damai dan sejahtera. Kenyataan ini harus diinsyafi pertama kali oleh umat Islam sendiri yang kemudian akan dapat dirasakan manfaatnya oleh umat non-Islam.
Wallahualam bi showab.
DAFTAR PUSTAKA
Ensiklodi dalam website internet http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
Shihab, M. Quraish Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, Jakarta. Lentera hati.
http://www.sinarharapan.co.id/ sebuah artikel Gus Dur vs ”Penyakit Nalar Arab” Oleh Syaifullah Amin.
Fathoni, Nur Achmad Peran Giri Kedaton Bagi Proses Perkembangan Peradaban Islam 1487 – 1680 Masehi (Studi Tentang Sejarah Peradaban), Skripsi S1 di Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, Surabaya, hal 31
Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, kumpulan pemikiran KH. Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 Republik Indonesia, Epilog : A.S. Hikam, Kompas Gramedia, Jakarta April 2000, hal, 108
23 January 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
salam kenal
saya kutip tulisan bapak untuk di blog saya, sekedar untuk diskusi dengan beberapa kolega
sebelumnya saya ucapkan terima kasih
salam persahabatan
Salam persahabatan juga Mas.
mudah2an bermanfaat.
Inggih Mas suara dunia...salam kenal juga dan aq sambut salam persahabatan dari Mas.
Post a Comment