ISLAM DAN HAM (Hak Asasi Manusia)
Pada hakekatnya Islam tidak bertentangan dan Hak Asasi Manusia, ia bahkan sangat menghormati hak dan kebebasan manusia. Jika prinsip-prinsip dalam al-Qur’an disarikan maka terdapat banyak poin yang sangat mendukung prinsip universal hak asasi manusia. Prinsip-prinsip itu telah dituangkan dalam berbagai pertemuan umat Islam se-dunia.
Membicarakan sekaligus mensosialisasikan Hak Asasi Manusia (HAM) selalu penting. Dan ia menjadi semakin penting ketika realitas sosial kita tengah memperlihatkan wajah-wajah yang tidak lagi menghargai martabat manusia, seperti yang banyak terlihat pada saat ini di banyak tempat di dunia ini, dan lebih khusus lagi di negeri kita tercinta.
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri setiap orang sejak ia dilahirkan. Ia berlaku universal (berlaku bagi semua orang di mana saja dan kapan saja). Hak ini merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Karena sifatnya yang demikian, maka tidak ada kekuatan apapun yang bisa mengurangi atau mencabut hak tersebut.
Pertanyaan yang sering muncul berkaitan dengan isu ini adalah apakah Islam sejalan dengan HAM?. Apakah HAM adalah produk Barat dan dengan missi Barat yang non muslim?.
Membaca sumber Islam paling otoritatif : al Qur-an akan banyak ditemukan teks-teks yang menjelaskan penghargaan dan penghormatan terhadap manusia. Beberapa di antaranya adalah :
“Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka di daratan dan lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik serta Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan ciptaan Kami”.(Q.S. al Isra, 70).
Al Qur-an juga menyebutkan tentang kesetaraan manusia : “Wahai manusia Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa kepada-Nya”.(Q.S. al Hujurat, 13).
Dua ayat di atas dan masih banyak lagi teks-teks yang lain menjelaskan tentang kemuliaan dan kesetaraan martabat manusia tanpa melihat latarbelakang asal usulnya, warna kulit, jenis kelamin bahasa dan sebagainya. Ini adalah konsekwensi logis dari doktrin Kemahaesaan Allah. Semua manusia dengan berbagai latarbelakangnya itu pada ujungnya berasal dari sumber yang tunggal ciptaan Tuhan. Keunggulan yang dimiliki manusia satu atas manusia yang lain hanyalah pada aspek kedekatannya dengan Tuhan.
Pernyatan paling eksplisit lainnya mengenai kesetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dinyatakan dalam al Qur-an surah al Ahzab, 35 : “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memlihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyedikan ampunan dan pahala yang besar”. Demikian juga dalam al Nahl, 97, Ali Imran, 195, al Mukmin 40, dan lain-lain.
Pernyataan-pernyataan al Qur-an dan hadits Nabi saw. di atas selanjutnya menjadi dasar Nabi saw untuk mendeklarasikan apa yang dikenal dengan “Shahifah Madinah”, “Mitsaq al Madinah” atau Piagam Madinah, pada tahun 622 M. Isinya meliputi kesepakatan-kesepakatan tentang aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat Madinah. Para ahli sejarah menyatakan bahwa Piagam Madinah ini adalah naskah otentik yang tidak diragukan keasliannya. Sebagian menyatakannya sebagai deklarasi HAM pertama di dunia. (Isi lengkap Shahifah/Piagam Madinah dapat dibaca di lampiran).
Pesan-pesan kemanusiaan Islam yang diungkap dalam begitu banyak teks-teks suci Islam di atas kemudian diformulasikan secara sangat mengesankan oleh Imam Abu Hamid Al Ghazali (w. 1111 M) dan dikembangkan lebih lanjut oleh antara lain Abu Ishaq al Syathibi (w. 790 H). Al Ghazali, pemikir muslim sunni klasik terbesar mengatakan bahwa tujuan agama adalah kesejahteraan sosial (kemaslahatan). Al Ghazali selanjutnya menjelaskan : “kemaslahatan menurut saya adalah mewujudkan tujuan-tujuan agama yang berisi lima bentuk perlindungan. Yaitu perlindungan terhadap ; agama (hifzh al din), jiwa (hifzh al nafs), akal-pikiran (hifzh al ‘aql), keturunan (hifzh al nasl) dan harta benda (hifzh al maal). Segala cara yang dapat menjamin perlindungan terhadap lima prinsip ini adalah kemaslahatan dan mengesampingkannya adalah kerusakan (mafsadah), menolak kerusakan adalah kemaslahatan” (Al Mustashfa min Ilm al Ushul, I, 286).
Apa yang diformulasikan Imam al Ghazali sebagai tujuan agama (maqashid al Syari’ah) tersebut tidak lain merupakan ringkasan belaka dari prinsip-prinsip kemanusiaan dalam Islam yang berarti kalau di kontekstualkan pada zaman sekarang berarti menggunakan istilah yang populer yaitu HAM.
Deklarasi Kairo (Cairo Declaration)
Isu tentang HAM tidak lepas dari perhatian ummat Islam, apalagi mayoritas negara-negara Islam adalah tergolong dalam barisan negara-negara dunia ketiga yang banyak merasakan ketidakadilan negara-negara Barat dengan atas nama HAM. Dalam pandangan negara-negara Islam HAM barat tidak sesuai dengan ajaran Islam yang telah ditetapkan Allah SWT. Berkaitan dengan itu, negara-negara Islam yang tergabung dalam organization of the Islamic Confrence (OIC/OKI) pada tanggal 5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi tentang kemanusiaan sesuai syari’at Islam di Kairo.
Konsep hak-hak asasi manusia hasil rumusan negara-negara OKI, berisi 24 pasal tentang hak asasi manusia berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah (hadits Nabi) yang dalam penerapan dan realitasnya memiliki beberapa persamaan dengan pernyataan semesta hak-hak asasi manusia (The Universal Declaration of Human Rights/UDHR) yang dideklarasikan oleh PBB tahun 1948.
Berikut ini pasal-pasal yang terdapat dalam deklarasi Kairo, antara lain :
1) Hak persamaan dan kebebasan
Pasal ini berdasarkan pada :
Surat Al-Israa’ ayat 70 (hijrah Nabi Dari Makkah ke Madinah, Piagam Madinah)
Surat An-Nisaa’ ayat 58, 105, 170, 135 (Keadilan Gender)
Surat Al Mumtahanah ayat 8
2) Hak hidup
Pasal ini berdasarkan :
Surat Al-Maidah ayat 45
Surat Al-Isra’ ayat 33
3) Hak memperoleh perlindungan
Pasal ini berdasarkan :
Surat Al-Balad ayat 12-17
Surat A-Taubah ayat 6
4) Hak kehormatan pribadi
Pasal ini berdasarkan :
Surat At-Taubah ayat 6
5) Hak menikah dan berkeluarga
Pasal ini berdasarkan :
Surat Al-Baqoroh ayat 221
Surat Ar-Ruum ayat 21
Surat An-Nisaa’ ayat 1
Surat At-Tahrim ayat 6
6) Hak wanita sederajat dengan pria
Pasal ini berdasarkan :
Al-Baqoroh ayat 228
7) Hak-hak anak dari orang tua
Pasal ini berdasarkan :
Surat Al-Baqoroh ayat 233
Surat Al-Israa’ ayat 23-24
8) Hak memperoleh pendidikan dan berperan serta dalam perkembangan ilmu pengetahuan
Pasal ini berdasarkan :
Surat At-Taubah ayat 122
Surat Al-Alaq ayat 1-5
9) Hak kebebasan memilih agama
Pasal ini berdasarkan :
Surat Al-Baqoroh ayat 256
Surat Al-Kahfi ayat 29
Surat Al-Kafiruun ayat 1-6
10) Hak kebebasan bertindak dan mencari suaka
Pasal ini berdasarkan :
Surat An-Nisa’ ayat 97
Surat Al-Mumtahanah ayat 9
11) Hak-hak untuk bekerja
Pasal ini berdasarkan :
Surat At-Taubah ayat 105
Surat Al-Baqoroh ayat 286
Surat Al-Mulk ayat 15
12) Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama
Pasal ini berdasarkan :
Surat Al-Baqoroh ayat 275-278
Surat An-Nisaa’ ayat 161
Surat Ali Imron ayat 130
13) Hak milik pribadi
Pasal ini berdasarkan :
Surat Al-Baqoroh ayat 29
Surat An-Nisaa’ 29
14) Hak menikmati hasil atau produk ilmu
Pasal ini berdasarkan :
Surat Al-Ahqof ayat 19
Surat Al-Baqoroh ayat 164
15) Hak tahanan dan narapidana
Pasal ini berdasarkan :
Surat Al-Mumtahanah ayat 8.
Adalah menarik untuk mengemukakan sebuah deklarasi Hak Asasi yang dikeluarkan di Kairo pada tahun 1990. Deklarasi kairo ini merupakan dokumen hak asasi manusia di tingkat regional yang secara khusus ditujukan buat negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam atau OKI. Dengan statusnya yang demikian deklarasi ini bukan merupakan pengganti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), melainkan dapat melengkapinya dengan semangat yang sama. Karena itu ia merupakan deklarasi Hak Asasi Manusia menurut Islam.
Ketentuan itu jelas merupakan langkah maju yang sungguh menggembirakan. Ini mengingat bahwa subyek ini masih masih menjadi kontroversi di kalangan kaum muslimin sampai hari ini.
Deklarasi Kairo juga memperlihatkan kemajuan yang lain di mana perempuan memiliki kebebasan untuk memperoleh hak-haknya yang selama ini dalam ajaran-ajaran Islam perempuan selalu menjadi warga muslim muslim kelas 2(dua), karena memang selama ini budaya-budaya patriarki masih mengakar dalam masyakarat muslim.
Masih banyak negeri-negeri muslim yang telah melakukan ratifikasi atas deklarasi Universal HAM, yang dikumandangkan oleh perserikatan bangsa-bangsa (PBB) dalam tahun 1948 dalam deklarasi itu, Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa Hak-hak Asasi Manusia menurut DUHAM antara lain mencakup:
1. Hak persamaan dan kebebasan dari diskriminasi jenis apapun
2. Hak untuk kehidupan kemerdekaan dan keamanan pribadi
3. Hak atas kebebasan dari penganiayaan dan perlakuaan merendahkan
4. Hak persamaan di depan hukum dan hak untuk mendapatkan keadilan
5. Hak atas kebebasan keyakinan dan agama
6. Hak ikut dalam pemerintahan
7. Hak untuk bekerja
8. Hak untuk memiliki standar kehidupan yang cukup untuk kesehatan dan kesejahteraan
9. Hak untuk memperoleh pendidikan
Sudah tercantum dengan jelas bahwa berpindah agama adalah Hak Asasi Manusia. Dan hak berpindah agama tersebut juga disebut di salah satu butir deklarasi Kairo tantnag perpindahan agama. Padahal fiqh/hukum Islam sampai hari ini masih berpegang pada ketentuan, bahwa berpindah dari agama Islam ke agama lain adalah tindak kemurtadan (apostasy), yang patut dihukum mati. Kalau ini diberlakukan di negeri kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang berpindah agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965, haruslah dihukum mati. Adapatkah hal itu dilakukan? Sebuah pertanyaan yang tidak akan ada jawabnya, karena jika hal itu terjadi merupakan kenyataan yang demikian besar yang mengguncang perasaan kita.
Dengan demikian, mau tidak mau kita harus menemukan mekanisme untuk merubah ketentuan Fiqh/hukum Islam, yang secara formal sudah berabad-abad diikuti. Tetapi disiilah terletak kebesaran Islam, yang secara sederhana menetapkan keimanan kita hanya kepada Allah dan utusan-Nya sebagai sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Beserta beberapa hukum muhkamat lainnya, kita harus memiliki keyakinan akan kebenaran hal itu. Apabila yang demikian itu juga dapat diubah-ubah maka hilanglah ke-Islaman kita.
Sebuah contoh menarik dalam hal ini tentang perbudakan (slaves), yang justru banyak menghiasi al-Qur’an dan al-Hadits (tradisi kenabian). Sekarang, perbudakan dan sejenisnya tidak diakui lagi oleh bangsa muslim manapun, hingga secara tidak terasa ia hilang dari perbendaharaan pemikiran kaum muslimin. Praktek-praktek perbudakan, kalau pun masih ada, tidak diakui lagi oleh negeri muslim manapun dan paling hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok muslimin yang kecil tanpa perlindungan negara. Dalam jangka waktu yang tidak lama lagi, praktek-praktek semacam itu akan hilang dengan sendirinya.
Sebagai muslim kita harus mampu melihat dari berbagai macam sudut, dalam hal ini kepada mereka yang mengalami kontroversi ke agama lain. Ini merupakan keharusan, kalau kita ingin Islam dapat menjawab tantangan masa kini dan masa depan. Firman Allah Swt dalam al-Qur’an, “semuanya akan binasa dan yang tetap hanya Dzat Tuhanmu (kullu man ‘alayha fanin. Wa yabqo wajhu rabbika)” (QS. Ar-Rahman [55]: 26-27) menunjukkan hal itu dengan jelas ketentuan ushul fiqh (Islamic legal theory) “hukum agama sepenuhnya tergantung kepada sebab-sebabnya, baik ada ataupun tidak adanya hukum itu sendiri (al-hukmu yaduru ma’a’illatihi wujudan wa’ adaman)” jelas menunjuk kepada kemungkinan perubahan diktum itu.
Reinterpretasi Teks
Pertanyaan-pertanyaan di atas sudah seharusnya dijawab dengan tenang dan tidak emosional. Pertama, dengan menegasikan (menafikan) bentuk-bentuk diskriminasi antar manusia, termasuk dalam hal relasi. Ini karena diskriminasi bertentangan dengan prinsip Tauhid (Ke-Esaan Tuhan). Kedua, dengan menghindarkan kontradiksi-kontradiksi dalam teks-teks suci. Hal ini karena al Qur-an sendiri menyatakan : “la ya’tihi al bathilu min baini yadaihi wa la min khalfih, tanzilun min hakimin hamid/yang tidak datang kepadanya (al Qur-an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana, Maha Terpuji”.(Q.S. fusshilat, 42). Demikian pula hadits-hadits Nabi Muhammad saw.
Oleh karena itu cara terbaik untuk itu semua adalah dengan membaca kembali teks-teks suci ; al Qur-an dan hadits Nabi saw. maupun teks-teks kitab klasik karangan para ulama melalui cara-cara yang memungkinkan kita untuk mampu mengatasi keadaan yang tampaknya saling bertentangan terebut di atas. Beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan antara lain adalah : pertama, memandang seluruh teks-teks al Qur-an maupun Hadits Nabi saw. sebagai kitab-kitab petunjuk bagi manusia untuk mencapai suatu tujuan yang tidak lain adalah mewujudkan kerahmatan (kasih sayang dan cinta) bagi seluruh manusia. Tujuan ini secara jelas dikemukakan dalam al Qur-an : “wa ma arsalnaka illa rahmatan li al ‘alamin/Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) kecuali agar menjadi rahmat bagi alam semesta”.
Di samping tujuan tersebut seluruh keputusan hukum perlu mengacu pada maksud hukum itu sendiri (maqashid al syari’ah). Para ulama Islam, khusunya para ahli fiqh, sepakat dalam pernyataan mereka bahwa teks (nash) baik al Qur-an maupun hadits memiliki dua sisi makna, makna tersurat dan makna tersirat. Dalam teks ada ruh, jiwa, spirit atau semangat. Semuanya ini adalah sesuatu yang hidup dan abadi. Di atas landasan ini pemaknaan atas teks harus dibuat. Tujuan-tujuan ini harus menjadi landasan utama bagi setiap tindakan manusia baik dalam hubungan antar pribadi maupun dalam hubungan sosial dan kemanusiaan.
Sejalan dengan pemikiran inilah, para ulama Islam menuangkan jiwa syari’at itu dalam bahasa hukum yang berbeda-beda sesuai dengan konteksnya masing-masing. Untuk konteks kita sekarang agaknya perlu ditelaah kembali apakah keputusan hukum yang dihasilkan para imam mujtahid di masa lalu dan di tempat mereka masing-masing masih relevan untuk mendukung tujuan tersebut, mengingat kondisi dan situasinya yang berbeda. Jika ia tidak lagi menunjukkan ruh kemaslahatan tersebut, maka kita perlu mencarinya atau membuat redaksi hukum yang relevan dengan ruh syari’ah tersebut.
Kedua, teks-teks yang mengungkapkan tentang hubungan kemanusiaan yang masih timpang, termasuk ketimpangan yang terjadi dalam relasi interaksi perilaku sosial kemasyarakatan, perlu dilihat dari latarbelakang sejarahnya. Setiap teks yang secara redaksional menunjuk pada kasus atau peristiwa tertentu.
sesungguhnya tidak bisa lepas dari setting sejarah dan konstruksi sosial pada saat teks tersebut diturunkan atau disampaikan. Ini juga terjadi dalam teks-teks partikulatif dalam al Qur-an maupun hadits nabi saw. Soal relasi yang masih menunjukkan adanya ketimpangan dalam relasi laki-laki dan perempuan, seperti yang terdapat dalam al Qur-an dan al Sunnah tidak selamanya difahami menurut makna literalnya. Teks-teks tersebut benar adanya, akan tetapi perlu difahami sebagai cara reformasi bertahap dari sejarah sosial waktu itu. Dalam arti lain ketentuan-ketentuan yang ada dalam al Qur-an mengenai posisi manusia yang tidak sejajar, menurut ukuran manusia tersebut, merupakan upaya maksimal paling arif. Diharapkan sesudah itu ada upaya yang terus menerus oleh generasi sesudahnya untuk melanjutkan proses ke arah tujuan yang hendak dicapai sebagaimana yang menjadi cita-cita Islam. Atau dengan kata lain ia bukan merupakan upaya dan keputusan yang berhenti dan final selama-lamanya..
Ketiga, untuk keperluan itu pula, perlu dilakukan penelitian kembali terhadap hadits-hadits nabi saw yang bias jender, atau makna-makna yang menunjukkan ketertindasan mereka di hadapan laki-laki. Ini banyak dijumpai dalam literatur klasik kaum muslimin. Satu contoh dapat disebutkan misalnya dalam kitab “Uqud al Lujain”. Kitab ini menguraikan hak-hak dan kewajiban suami dan isteri. Di dalamnya terdapat banyak hadits nabi saw. yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah di hadapan laki-laki, bahkan juga ketertindasan mereka.
Keempat, pernyataan-pernyataan baik dalam ayat-ayat al Qur-an, hadits-hadits nabi maupun pikiran-pikiran para ulama mengenai suatu persoalan tentu mengandung logika rasional, logika hukum atau logika kepentingan, mengapa, untuk apa dan ada rahasia apa pernyataan itu perlu dikeluarkan. Dalam bahasa fiqh logika hukum tersebut dikenal dengan ‘illat’ dan hikmah. Jadi ada aspek kausalitas di dalamnya. Melalui penelitian atas aspek ini perubahan bisa dilakukan. Kaedah fiqh misalnya menyebutkan: “al hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman/hukum ditetapkan berdasarkan illat (rasio legis/kausalitas) nya”. Hal ini berkaitan dengan fakta-fakta dan realitas-realitas yang menyertai teks-teks tersebut. Jadi perlu upaya kita melakukan penelitian ilmiyah baik berdasarkan logika rasional maupun berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan. Sulit untuk dapat ditolak bahwa realitas-realitas atau peristiwa-peristiwa kehidupan selalu berkembang dan berubah. Keniscayaan perkembangan dan perubahan ini dengan begitu meniscayakan pula perubahan keputusan-keputusan. Al Syahrastani pernah mengatakan dalam bukunya “al Milal wa al Nihal” : “al nushush idza kanat mutanahiyah wa al waqai’ ghair mutanahiyah wa ma la yatanaha la yadhbathuhu ma yatanaha … ‘ulima qath’an anna al ijtihad wa al qiyas wajib al I’tibar hatta la yakunu bi shadadi kulli haditsatin ijtihad/jika teks-teks terbatas dan kasus-kasus tidak terbatas, dan yang terbatas tidak bisa dirumuskan oleh yang tidak terbatas, maka jelas sekali harus dipahami bahwa ijtihad dan qiyas (analogi) merupakan hal yang harus dipertimbangkan, sehingga setiap kasus dapat dijawab oleh ijtihad (upaya pencarian intelektual yang serius)”.
Akhirnya terpulang kepada kita, kaum muslimin, apakah kita mempunyai kemauan dan keberanian untuk melakukan upaya-upaya rekonstruksi dan reinterpretasi atas pikiran-pikiran kegamaan kita ke arah yang lebih baik dan lebih maslahat untuk konteks kekinian dan kedisinian kita, atau akan membiarkannya tetap dalam keadaan stagnan dan ditinggalkan oleh realitas-realitas sosial baru yang terus bergerak dinamis.
Apa yang kita perlukan sekarang adalah menciptakan ruang sosial baru yang memungkinkan perempuan dapat mengaktualisasikan dirinya di mana saja dengan tetap terjaga dan aman dari tindakan-tindakan yang merendahkannya. Untuk itu perlu dirumuskan hukum-hukum yang dapat menjaminnya. Perlu diingat bahwa jumlah perempuan di Indonesia adalah separoh lebih dari jumlah penduduk. Potensi intelektual mereka yang semakin hari semakin meningkat dan semakin besar merupakan potensi besar bagi pembangunan bangsa. Mereka juga memiliki aspirasi dan kepentingan yang tidak bisa diwakili oleh kaum laki-laki. Melalui pandangan kesetaraan hak-hak mereka dan penghargaan yang sama dengan laki-laki diharapkan akan lahir suatu kehidupan yang lebih produktif dan bermutu.
Menurut Marzuki Darusman bahwa dalam menangani persoalan hak asasi manusia seringkali harus berpaling pada sesuatu yang sudah teruji. Pemajuan hak asasi manusia harus dilakukan di segala bidang kehidupan. Peranan Komnas HAM adalah menciptakan kondisi bagi setiap warga Negara untuk bisa mengejar atau memajukan sekaligus memperjuangkan kepentingannya. Sehingga diharapkan pemajuan hak asasi manusia pada akhirnya memenuhi harapan masyarakat. Namun perlu diingat bahwa Komnas HAM hanya memperjuangkan keleluasaan setiap orang untuk memajukan hak-haknya, dan Komnas HAM tidak bermaksud mengambil alih hak-hak tersebut.
Sedangkan menurut HS Dillon, mantan Komisioner Komnas HAM, memberi penekanan kepada peserta bahwa dalam menjalankan fungsi dan kerja-kerjanya, Komnas HAM harus menentukan prioritas (priority) dan sekuensnya (sequencing). Kemampuan untuk membuat prioritas dan sekuensnya sangat ditentukan oleh kualitas konsepsi dari komisi itu sendiri. Selain itu, Komnas HAM dituntut untuk mampu untuk melakukan koordinasi dengan semua elemen di masyarakat. Namun yang terpenting adalah Komnas HAM harus mampu untuk terus menerus membangkitkan komitmen para komisionernya.
Wallahu a’lam bi shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad KH. Husein. Artikel http://puskumhamuinjakarta.wordpresscom
Tim Penyusun Buku Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) Demokrasi, Ham, Masyarakat Madani, IAIN JAKARTA PRESS 2000.
Abdurrahman Wahid. ISLAMKU ISLAM ANDA ISLAM KITA,. The Wakhid Institute, Jakarta, cetakan kedua, 2007.
Pernyataan Konklusi tentang Peranan Komnas HAM.pdf http://www.komnasham.go.id/
Oleh :
Achmad Fathoni S. Hum
Pada hakekatnya Islam tidak bertentangan dan Hak Asasi Manusia, ia bahkan sangat menghormati hak dan kebebasan manusia. Jika prinsip-prinsip dalam al-Qur’an disarikan maka terdapat banyak poin yang sangat mendukung prinsip universal hak asasi manusia. Prinsip-prinsip itu telah dituangkan dalam berbagai pertemuan umat Islam se-dunia.
Membicarakan sekaligus mensosialisasikan Hak Asasi Manusia (HAM) selalu penting. Dan ia menjadi semakin penting ketika realitas sosial kita tengah memperlihatkan wajah-wajah yang tidak lagi menghargai martabat manusia, seperti yang banyak terlihat pada saat ini di banyak tempat di dunia ini, dan lebih khusus lagi di negeri kita tercinta.
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri setiap orang sejak ia dilahirkan. Ia berlaku universal (berlaku bagi semua orang di mana saja dan kapan saja). Hak ini merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Karena sifatnya yang demikian, maka tidak ada kekuatan apapun yang bisa mengurangi atau mencabut hak tersebut.
Pertanyaan yang sering muncul berkaitan dengan isu ini adalah apakah Islam sejalan dengan HAM?. Apakah HAM adalah produk Barat dan dengan missi Barat yang non muslim?.
Membaca sumber Islam paling otoritatif : al Qur-an akan banyak ditemukan teks-teks yang menjelaskan penghargaan dan penghormatan terhadap manusia. Beberapa di antaranya adalah :
“Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka di daratan dan lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik serta Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan ciptaan Kami”.(Q.S. al Isra, 70).
Al Qur-an juga menyebutkan tentang kesetaraan manusia : “Wahai manusia Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa kepada-Nya”.(Q.S. al Hujurat, 13).
Dua ayat di atas dan masih banyak lagi teks-teks yang lain menjelaskan tentang kemuliaan dan kesetaraan martabat manusia tanpa melihat latarbelakang asal usulnya, warna kulit, jenis kelamin bahasa dan sebagainya. Ini adalah konsekwensi logis dari doktrin Kemahaesaan Allah. Semua manusia dengan berbagai latarbelakangnya itu pada ujungnya berasal dari sumber yang tunggal ciptaan Tuhan. Keunggulan yang dimiliki manusia satu atas manusia yang lain hanyalah pada aspek kedekatannya dengan Tuhan.
Pernyatan paling eksplisit lainnya mengenai kesetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dinyatakan dalam al Qur-an surah al Ahzab, 35 : “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memlihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyedikan ampunan dan pahala yang besar”. Demikian juga dalam al Nahl, 97, Ali Imran, 195, al Mukmin 40, dan lain-lain.
Pernyataan-pernyataan al Qur-an dan hadits Nabi saw. di atas selanjutnya menjadi dasar Nabi saw untuk mendeklarasikan apa yang dikenal dengan “Shahifah Madinah”, “Mitsaq al Madinah” atau Piagam Madinah, pada tahun 622 M. Isinya meliputi kesepakatan-kesepakatan tentang aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat Madinah. Para ahli sejarah menyatakan bahwa Piagam Madinah ini adalah naskah otentik yang tidak diragukan keasliannya. Sebagian menyatakannya sebagai deklarasi HAM pertama di dunia. (Isi lengkap Shahifah/Piagam Madinah dapat dibaca di lampiran).
Pesan-pesan kemanusiaan Islam yang diungkap dalam begitu banyak teks-teks suci Islam di atas kemudian diformulasikan secara sangat mengesankan oleh Imam Abu Hamid Al Ghazali (w. 1111 M) dan dikembangkan lebih lanjut oleh antara lain Abu Ishaq al Syathibi (w. 790 H). Al Ghazali, pemikir muslim sunni klasik terbesar mengatakan bahwa tujuan agama adalah kesejahteraan sosial (kemaslahatan). Al Ghazali selanjutnya menjelaskan : “kemaslahatan menurut saya adalah mewujudkan tujuan-tujuan agama yang berisi lima bentuk perlindungan. Yaitu perlindungan terhadap ; agama (hifzh al din), jiwa (hifzh al nafs), akal-pikiran (hifzh al ‘aql), keturunan (hifzh al nasl) dan harta benda (hifzh al maal). Segala cara yang dapat menjamin perlindungan terhadap lima prinsip ini adalah kemaslahatan dan mengesampingkannya adalah kerusakan (mafsadah), menolak kerusakan adalah kemaslahatan” (Al Mustashfa min Ilm al Ushul, I, 286).
Apa yang diformulasikan Imam al Ghazali sebagai tujuan agama (maqashid al Syari’ah) tersebut tidak lain merupakan ringkasan belaka dari prinsip-prinsip kemanusiaan dalam Islam yang berarti kalau di kontekstualkan pada zaman sekarang berarti menggunakan istilah yang populer yaitu HAM.
Deklarasi Kairo (Cairo Declaration)
Isu tentang HAM tidak lepas dari perhatian ummat Islam, apalagi mayoritas negara-negara Islam adalah tergolong dalam barisan negara-negara dunia ketiga yang banyak merasakan ketidakadilan negara-negara Barat dengan atas nama HAM. Dalam pandangan negara-negara Islam HAM barat tidak sesuai dengan ajaran Islam yang telah ditetapkan Allah SWT. Berkaitan dengan itu, negara-negara Islam yang tergabung dalam organization of the Islamic Confrence (OIC/OKI) pada tanggal 5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi tentang kemanusiaan sesuai syari’at Islam di Kairo.
Konsep hak-hak asasi manusia hasil rumusan negara-negara OKI, berisi 24 pasal tentang hak asasi manusia berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah (hadits Nabi) yang dalam penerapan dan realitasnya memiliki beberapa persamaan dengan pernyataan semesta hak-hak asasi manusia (The Universal Declaration of Human Rights/UDHR) yang dideklarasikan oleh PBB tahun 1948.
Berikut ini pasal-pasal yang terdapat dalam deklarasi Kairo, antara lain :
1) Hak persamaan dan kebebasan
Pasal ini berdasarkan pada :
Surat Al-Israa’ ayat 70 (hijrah Nabi Dari Makkah ke Madinah, Piagam Madinah)
Surat An-Nisaa’ ayat 58, 105, 170, 135 (Keadilan Gender)
Surat Al Mumtahanah ayat 8
2) Hak hidup
Pasal ini berdasarkan :
Surat Al-Maidah ayat 45
Surat Al-Isra’ ayat 33
3) Hak memperoleh perlindungan
Pasal ini berdasarkan :
Surat Al-Balad ayat 12-17
Surat A-Taubah ayat 6
4) Hak kehormatan pribadi
Pasal ini berdasarkan :
Surat At-Taubah ayat 6
5) Hak menikah dan berkeluarga
Pasal ini berdasarkan :
Surat Al-Baqoroh ayat 221
Surat Ar-Ruum ayat 21
Surat An-Nisaa’ ayat 1
Surat At-Tahrim ayat 6
6) Hak wanita sederajat dengan pria
Pasal ini berdasarkan :
Al-Baqoroh ayat 228
7) Hak-hak anak dari orang tua
Pasal ini berdasarkan :
Surat Al-Baqoroh ayat 233
Surat Al-Israa’ ayat 23-24
8) Hak memperoleh pendidikan dan berperan serta dalam perkembangan ilmu pengetahuan
Pasal ini berdasarkan :
Surat At-Taubah ayat 122
Surat Al-Alaq ayat 1-5
9) Hak kebebasan memilih agama
Pasal ini berdasarkan :
Surat Al-Baqoroh ayat 256
Surat Al-Kahfi ayat 29
Surat Al-Kafiruun ayat 1-6
10) Hak kebebasan bertindak dan mencari suaka
Pasal ini berdasarkan :
Surat An-Nisa’ ayat 97
Surat Al-Mumtahanah ayat 9
11) Hak-hak untuk bekerja
Pasal ini berdasarkan :
Surat At-Taubah ayat 105
Surat Al-Baqoroh ayat 286
Surat Al-Mulk ayat 15
12) Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama
Pasal ini berdasarkan :
Surat Al-Baqoroh ayat 275-278
Surat An-Nisaa’ ayat 161
Surat Ali Imron ayat 130
13) Hak milik pribadi
Pasal ini berdasarkan :
Surat Al-Baqoroh ayat 29
Surat An-Nisaa’ 29
14) Hak menikmati hasil atau produk ilmu
Pasal ini berdasarkan :
Surat Al-Ahqof ayat 19
Surat Al-Baqoroh ayat 164
15) Hak tahanan dan narapidana
Pasal ini berdasarkan :
Surat Al-Mumtahanah ayat 8.
Adalah menarik untuk mengemukakan sebuah deklarasi Hak Asasi yang dikeluarkan di Kairo pada tahun 1990. Deklarasi kairo ini merupakan dokumen hak asasi manusia di tingkat regional yang secara khusus ditujukan buat negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam atau OKI. Dengan statusnya yang demikian deklarasi ini bukan merupakan pengganti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), melainkan dapat melengkapinya dengan semangat yang sama. Karena itu ia merupakan deklarasi Hak Asasi Manusia menurut Islam.
Ketentuan itu jelas merupakan langkah maju yang sungguh menggembirakan. Ini mengingat bahwa subyek ini masih masih menjadi kontroversi di kalangan kaum muslimin sampai hari ini.
Deklarasi Kairo juga memperlihatkan kemajuan yang lain di mana perempuan memiliki kebebasan untuk memperoleh hak-haknya yang selama ini dalam ajaran-ajaran Islam perempuan selalu menjadi warga muslim muslim kelas 2(dua), karena memang selama ini budaya-budaya patriarki masih mengakar dalam masyakarat muslim.
Masih banyak negeri-negeri muslim yang telah melakukan ratifikasi atas deklarasi Universal HAM, yang dikumandangkan oleh perserikatan bangsa-bangsa (PBB) dalam tahun 1948 dalam deklarasi itu, Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa Hak-hak Asasi Manusia menurut DUHAM antara lain mencakup:
1. Hak persamaan dan kebebasan dari diskriminasi jenis apapun
2. Hak untuk kehidupan kemerdekaan dan keamanan pribadi
3. Hak atas kebebasan dari penganiayaan dan perlakuaan merendahkan
4. Hak persamaan di depan hukum dan hak untuk mendapatkan keadilan
5. Hak atas kebebasan keyakinan dan agama
6. Hak ikut dalam pemerintahan
7. Hak untuk bekerja
8. Hak untuk memiliki standar kehidupan yang cukup untuk kesehatan dan kesejahteraan
9. Hak untuk memperoleh pendidikan
Sudah tercantum dengan jelas bahwa berpindah agama adalah Hak Asasi Manusia. Dan hak berpindah agama tersebut juga disebut di salah satu butir deklarasi Kairo tantnag perpindahan agama. Padahal fiqh/hukum Islam sampai hari ini masih berpegang pada ketentuan, bahwa berpindah dari agama Islam ke agama lain adalah tindak kemurtadan (apostasy), yang patut dihukum mati. Kalau ini diberlakukan di negeri kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang berpindah agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965, haruslah dihukum mati. Adapatkah hal itu dilakukan? Sebuah pertanyaan yang tidak akan ada jawabnya, karena jika hal itu terjadi merupakan kenyataan yang demikian besar yang mengguncang perasaan kita.
Dengan demikian, mau tidak mau kita harus menemukan mekanisme untuk merubah ketentuan Fiqh/hukum Islam, yang secara formal sudah berabad-abad diikuti. Tetapi disiilah terletak kebesaran Islam, yang secara sederhana menetapkan keimanan kita hanya kepada Allah dan utusan-Nya sebagai sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Beserta beberapa hukum muhkamat lainnya, kita harus memiliki keyakinan akan kebenaran hal itu. Apabila yang demikian itu juga dapat diubah-ubah maka hilanglah ke-Islaman kita.
Sebuah contoh menarik dalam hal ini tentang perbudakan (slaves), yang justru banyak menghiasi al-Qur’an dan al-Hadits (tradisi kenabian). Sekarang, perbudakan dan sejenisnya tidak diakui lagi oleh bangsa muslim manapun, hingga secara tidak terasa ia hilang dari perbendaharaan pemikiran kaum muslimin. Praktek-praktek perbudakan, kalau pun masih ada, tidak diakui lagi oleh negeri muslim manapun dan paling hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok muslimin yang kecil tanpa perlindungan negara. Dalam jangka waktu yang tidak lama lagi, praktek-praktek semacam itu akan hilang dengan sendirinya.
Sebagai muslim kita harus mampu melihat dari berbagai macam sudut, dalam hal ini kepada mereka yang mengalami kontroversi ke agama lain. Ini merupakan keharusan, kalau kita ingin Islam dapat menjawab tantangan masa kini dan masa depan. Firman Allah Swt dalam al-Qur’an, “semuanya akan binasa dan yang tetap hanya Dzat Tuhanmu (kullu man ‘alayha fanin. Wa yabqo wajhu rabbika)” (QS. Ar-Rahman [55]: 26-27) menunjukkan hal itu dengan jelas ketentuan ushul fiqh (Islamic legal theory) “hukum agama sepenuhnya tergantung kepada sebab-sebabnya, baik ada ataupun tidak adanya hukum itu sendiri (al-hukmu yaduru ma’a’illatihi wujudan wa’ adaman)” jelas menunjuk kepada kemungkinan perubahan diktum itu.
Reinterpretasi Teks
Pertanyaan-pertanyaan di atas sudah seharusnya dijawab dengan tenang dan tidak emosional. Pertama, dengan menegasikan (menafikan) bentuk-bentuk diskriminasi antar manusia, termasuk dalam hal relasi. Ini karena diskriminasi bertentangan dengan prinsip Tauhid (Ke-Esaan Tuhan). Kedua, dengan menghindarkan kontradiksi-kontradiksi dalam teks-teks suci. Hal ini karena al Qur-an sendiri menyatakan : “la ya’tihi al bathilu min baini yadaihi wa la min khalfih, tanzilun min hakimin hamid/yang tidak datang kepadanya (al Qur-an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana, Maha Terpuji”.(Q.S. fusshilat, 42). Demikian pula hadits-hadits Nabi Muhammad saw.
Oleh karena itu cara terbaik untuk itu semua adalah dengan membaca kembali teks-teks suci ; al Qur-an dan hadits Nabi saw. maupun teks-teks kitab klasik karangan para ulama melalui cara-cara yang memungkinkan kita untuk mampu mengatasi keadaan yang tampaknya saling bertentangan terebut di atas. Beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan antara lain adalah : pertama, memandang seluruh teks-teks al Qur-an maupun Hadits Nabi saw. sebagai kitab-kitab petunjuk bagi manusia untuk mencapai suatu tujuan yang tidak lain adalah mewujudkan kerahmatan (kasih sayang dan cinta) bagi seluruh manusia. Tujuan ini secara jelas dikemukakan dalam al Qur-an : “wa ma arsalnaka illa rahmatan li al ‘alamin/Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) kecuali agar menjadi rahmat bagi alam semesta”.
Di samping tujuan tersebut seluruh keputusan hukum perlu mengacu pada maksud hukum itu sendiri (maqashid al syari’ah). Para ulama Islam, khusunya para ahli fiqh, sepakat dalam pernyataan mereka bahwa teks (nash) baik al Qur-an maupun hadits memiliki dua sisi makna, makna tersurat dan makna tersirat. Dalam teks ada ruh, jiwa, spirit atau semangat. Semuanya ini adalah sesuatu yang hidup dan abadi. Di atas landasan ini pemaknaan atas teks harus dibuat. Tujuan-tujuan ini harus menjadi landasan utama bagi setiap tindakan manusia baik dalam hubungan antar pribadi maupun dalam hubungan sosial dan kemanusiaan.
Sejalan dengan pemikiran inilah, para ulama Islam menuangkan jiwa syari’at itu dalam bahasa hukum yang berbeda-beda sesuai dengan konteksnya masing-masing. Untuk konteks kita sekarang agaknya perlu ditelaah kembali apakah keputusan hukum yang dihasilkan para imam mujtahid di masa lalu dan di tempat mereka masing-masing masih relevan untuk mendukung tujuan tersebut, mengingat kondisi dan situasinya yang berbeda. Jika ia tidak lagi menunjukkan ruh kemaslahatan tersebut, maka kita perlu mencarinya atau membuat redaksi hukum yang relevan dengan ruh syari’ah tersebut.
Kedua, teks-teks yang mengungkapkan tentang hubungan kemanusiaan yang masih timpang, termasuk ketimpangan yang terjadi dalam relasi interaksi perilaku sosial kemasyarakatan, perlu dilihat dari latarbelakang sejarahnya. Setiap teks yang secara redaksional menunjuk pada kasus atau peristiwa tertentu.
sesungguhnya tidak bisa lepas dari setting sejarah dan konstruksi sosial pada saat teks tersebut diturunkan atau disampaikan. Ini juga terjadi dalam teks-teks partikulatif dalam al Qur-an maupun hadits nabi saw. Soal relasi yang masih menunjukkan adanya ketimpangan dalam relasi laki-laki dan perempuan, seperti yang terdapat dalam al Qur-an dan al Sunnah tidak selamanya difahami menurut makna literalnya. Teks-teks tersebut benar adanya, akan tetapi perlu difahami sebagai cara reformasi bertahap dari sejarah sosial waktu itu. Dalam arti lain ketentuan-ketentuan yang ada dalam al Qur-an mengenai posisi manusia yang tidak sejajar, menurut ukuran manusia tersebut, merupakan upaya maksimal paling arif. Diharapkan sesudah itu ada upaya yang terus menerus oleh generasi sesudahnya untuk melanjutkan proses ke arah tujuan yang hendak dicapai sebagaimana yang menjadi cita-cita Islam. Atau dengan kata lain ia bukan merupakan upaya dan keputusan yang berhenti dan final selama-lamanya..
Ketiga, untuk keperluan itu pula, perlu dilakukan penelitian kembali terhadap hadits-hadits nabi saw yang bias jender, atau makna-makna yang menunjukkan ketertindasan mereka di hadapan laki-laki. Ini banyak dijumpai dalam literatur klasik kaum muslimin. Satu contoh dapat disebutkan misalnya dalam kitab “Uqud al Lujain”. Kitab ini menguraikan hak-hak dan kewajiban suami dan isteri. Di dalamnya terdapat banyak hadits nabi saw. yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah di hadapan laki-laki, bahkan juga ketertindasan mereka.
Keempat, pernyataan-pernyataan baik dalam ayat-ayat al Qur-an, hadits-hadits nabi maupun pikiran-pikiran para ulama mengenai suatu persoalan tentu mengandung logika rasional, logika hukum atau logika kepentingan, mengapa, untuk apa dan ada rahasia apa pernyataan itu perlu dikeluarkan. Dalam bahasa fiqh logika hukum tersebut dikenal dengan ‘illat’ dan hikmah. Jadi ada aspek kausalitas di dalamnya. Melalui penelitian atas aspek ini perubahan bisa dilakukan. Kaedah fiqh misalnya menyebutkan: “al hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman/hukum ditetapkan berdasarkan illat (rasio legis/kausalitas) nya”. Hal ini berkaitan dengan fakta-fakta dan realitas-realitas yang menyertai teks-teks tersebut. Jadi perlu upaya kita melakukan penelitian ilmiyah baik berdasarkan logika rasional maupun berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan. Sulit untuk dapat ditolak bahwa realitas-realitas atau peristiwa-peristiwa kehidupan selalu berkembang dan berubah. Keniscayaan perkembangan dan perubahan ini dengan begitu meniscayakan pula perubahan keputusan-keputusan. Al Syahrastani pernah mengatakan dalam bukunya “al Milal wa al Nihal” : “al nushush idza kanat mutanahiyah wa al waqai’ ghair mutanahiyah wa ma la yatanaha la yadhbathuhu ma yatanaha … ‘ulima qath’an anna al ijtihad wa al qiyas wajib al I’tibar hatta la yakunu bi shadadi kulli haditsatin ijtihad/jika teks-teks terbatas dan kasus-kasus tidak terbatas, dan yang terbatas tidak bisa dirumuskan oleh yang tidak terbatas, maka jelas sekali harus dipahami bahwa ijtihad dan qiyas (analogi) merupakan hal yang harus dipertimbangkan, sehingga setiap kasus dapat dijawab oleh ijtihad (upaya pencarian intelektual yang serius)”.
Akhirnya terpulang kepada kita, kaum muslimin, apakah kita mempunyai kemauan dan keberanian untuk melakukan upaya-upaya rekonstruksi dan reinterpretasi atas pikiran-pikiran kegamaan kita ke arah yang lebih baik dan lebih maslahat untuk konteks kekinian dan kedisinian kita, atau akan membiarkannya tetap dalam keadaan stagnan dan ditinggalkan oleh realitas-realitas sosial baru yang terus bergerak dinamis.
Apa yang kita perlukan sekarang adalah menciptakan ruang sosial baru yang memungkinkan perempuan dapat mengaktualisasikan dirinya di mana saja dengan tetap terjaga dan aman dari tindakan-tindakan yang merendahkannya. Untuk itu perlu dirumuskan hukum-hukum yang dapat menjaminnya. Perlu diingat bahwa jumlah perempuan di Indonesia adalah separoh lebih dari jumlah penduduk. Potensi intelektual mereka yang semakin hari semakin meningkat dan semakin besar merupakan potensi besar bagi pembangunan bangsa. Mereka juga memiliki aspirasi dan kepentingan yang tidak bisa diwakili oleh kaum laki-laki. Melalui pandangan kesetaraan hak-hak mereka dan penghargaan yang sama dengan laki-laki diharapkan akan lahir suatu kehidupan yang lebih produktif dan bermutu.
Menurut Marzuki Darusman bahwa dalam menangani persoalan hak asasi manusia seringkali harus berpaling pada sesuatu yang sudah teruji. Pemajuan hak asasi manusia harus dilakukan di segala bidang kehidupan. Peranan Komnas HAM adalah menciptakan kondisi bagi setiap warga Negara untuk bisa mengejar atau memajukan sekaligus memperjuangkan kepentingannya. Sehingga diharapkan pemajuan hak asasi manusia pada akhirnya memenuhi harapan masyarakat. Namun perlu diingat bahwa Komnas HAM hanya memperjuangkan keleluasaan setiap orang untuk memajukan hak-haknya, dan Komnas HAM tidak bermaksud mengambil alih hak-hak tersebut.
Sedangkan menurut HS Dillon, mantan Komisioner Komnas HAM, memberi penekanan kepada peserta bahwa dalam menjalankan fungsi dan kerja-kerjanya, Komnas HAM harus menentukan prioritas (priority) dan sekuensnya (sequencing). Kemampuan untuk membuat prioritas dan sekuensnya sangat ditentukan oleh kualitas konsepsi dari komisi itu sendiri. Selain itu, Komnas HAM dituntut untuk mampu untuk melakukan koordinasi dengan semua elemen di masyarakat. Namun yang terpenting adalah Komnas HAM harus mampu untuk terus menerus membangkitkan komitmen para komisionernya.
Wallahu a’lam bi shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad KH. Husein. Artikel http://puskumhamuinjakarta.wordpresscom
Tim Penyusun Buku Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) Demokrasi, Ham, Masyarakat Madani, IAIN JAKARTA PRESS 2000.
Abdurrahman Wahid. ISLAMKU ISLAM ANDA ISLAM KITA,. The Wakhid Institute, Jakarta, cetakan kedua, 2007.
Pernyataan Konklusi tentang Peranan Komnas HAM.pdf http://www.komnasham.go.id/
Oleh :
Achmad Fathoni S. Hum