FATWA [kebijakan] SIMALAKAMA BUAT AHMADIYAH
By : Achmad Fathoni
Gejala kekerasan (violence), kebiadaban (barbarity), kekejaman (cruelty), dan segala bentuk tindakan yang melampaui batas kemanusiaan (inhumanity) yang muncul dalam kehidupan umat manusia, pada hakikatnya telah tua, setua perjalanan panjang sejarah manusia itu sendiri.
Tawuran antar masyarakat beragama yang mengatasnamakan keyakinan beragama berawal dari fatwa-fatwanya para ustadz-ustadz (MUI), yang pada akhirnya di adopsi oleh para ustadz-ustadz yang ada di ormas-ormas pembela Islam. Yang jadi pertanyaan, apakah selama diskusi di lembaga MUI, para ulama-ulama, ustadz-ustadz tidak menjadikan pancasila dan UUD 1945 (pasal 29 ayat 1 dan 2) menjadi salah satu bahan rujukan mereka?.
Idealnya harus ada diskusi dengan suasana penuh keakraban, keterbukaan, kekeluargaan, sukacita, dan cinta antar masyarakat. Prilaku dan kepribadian para pemimpin (pejabat) yang dalam setengah abad ini kurang dapat dijadikan panutan para masyarakat jelata, meski telah beberapa kali adanya proses demokrasi (pemilu). Karena segala sesuatu yang diatas selalu tercermin ke bawah. Padahal kanjeng Nabi sudah pernah mencontohkan ketika diskusi dengan orang beda keyakinan, dengan berkata “Bagimu keyakinanmu dan Bagiku keyakinanku”. Setelah diskusi tersebut maka selesailah persoalan tentang keyakinan tanpa harus ada acara bakar-membakar masjid.
Ironis memang, umat manusia yang telah mengalami perjalanan mencapai peradaban tinggi seperti yang kita saksikan pada masa sekarang ini, kenyataannya masih tetap bergumul menghadapi gejala kekerasan yang mengancam perdamaian dan keamanan kehidupannya. Secara umum telah dikemukakan bahwa kekerasan sebagai tragedi kehidupan yang selalu menampakkan sifat dan sikapnya hampir disepanjang sejarah umat manusia.
Pencapaian titik jenuh masyarakat setelah proses menonton unsur-unsur ketimpangan, ketidakadilan, kecurangan, KKN, teror, pemaksaan, represi, dan seterusnya. Jika ada unsur-unsur itu berarti ada yang menjadi korban atau sengaja dikorbankan. Yang jelas akibat-akibatnya nyata dialami oleh sebagian besar masyarakat kelas bawah. Dalam kenyataan situasi sekarang ini, kita tidak mudah menemukan pelaku atau penyebab kekerasan demi kekerasan yang terjadi.
Kehidupan ekonomi sulit menjepit dalam sebuah ruang sempit yang mencekik rasa dan jiwa kemanusiaan. Padahal kalau digali lagi melalui perpustakaan (berpikir), maka akan kenalan dengan Johan Galtung penulis buku kekuasaan dan kekerasan. Kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada dibawah realisasi potensialnya. Suatu pernyataan mencerahkan yang membutuhkan definisi lebih lanjut, kemudian bisa disimpulkan secara langsung atau tidak langsung, direncanakan atau tidak terencana. Akan tetapi semua itu jelas sebuah kalimat tentang kekerasan.
Sebuah negara yang telah menelantarkan (amnesia) terhadap rakyatnya sehingga banyak menderita kelaparan (busung lapar) sampai mati. Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang, penyalahgunaan dana dan sumber daya lain demi segelintir pejabat, semuanya itu merupakan bagian dari kekerasan. Hanya dengan usaha untuk mencari sumber kekerasan pada pelaku atau aktor saja kurang cukup, harus ditindaklanjuti dengan merogoh serta mengobok-obok sistem atau struktur yang memang selama ini menjadi pelatuk atau sumber hingga mengakibatkan kondisi masyarakat sangat gampang tersinggung bertindak kekerasan.
Melihat fenomena yang terjadi bukan merupakan murni persinggungan antar masyarakat, akan tetapi ada tangan-tangan “bijak” para pemimpin (pejabat) yang selama ini kurang disadarinya dan Selama itu pula masyarakat kita menonton, memperhatikan serta merasakannya. Jadi semua kejadian akhir-akhir ini bermuara di elit-elit pejabat eksekutif, pejabat yudikatif, dan pejabat legislatif, yang dalam rentang waktu selama menjabat untuk menjadi pengelola dan pengatur. Semua kebijakan-kebijakan selama ini dikeluarkan demi kesejahteraan serta keadilan yang merata bagi masyarakat?
Maka dari itu kita butuh perjuangan kolektif yang dimulai dari elit masyarakat (pejabat), sampai masyarakat jelata untuk bersama melawan kekerasan, yang berarti berjuang bagi terciptanya masyarakat yang adil, manusiawi, dan solider. Untuk itu struktur yang jelek dan korup harus dibongkar, proses tersebut tidak mudah, namun perjuangan ke arah sana harus jadi langkah prioritas seluruh elemen-elemen pada tingkat elit (pejabat) masyarakat. Khususnya yang paling mendasar adalah struktur yang menyangkut bidang perekonomian.
Kalau tidak, kita akan hidup dalam suasana kekerasan terus-menerus. Mematahkan lingkaran kekerasan dan mengubah struktur kekerasan berarti membangun kultur positif dalam masyarakat yang keras, kita membutuhkan budaya baru yang ditandai dengan aksi tanpa kekerasan, kejujuran, bela rasa, sopan santun, dan hormat pada kehidupan. Perjuangan bagi keadilan, kebebasan, martabat kemanusiaan berarti perjuangan bagi seluruh masyarakat bangsa ini agar terbebas dari segala bentuk-bentuk kekerasan, mudah-mudahan.
Wallahu a’lam bi showab.
0 comments:
Post a Comment