HALAL BIHALAL SPIRIT JIWA PEMA’AF ANTAR MAKHLUK TUHAN
Ramadhan cermin menuju hidup fitrah (sadar). Ahlan Waa sahlan bulan “jiwa suci” (Idul Fitri). Bulan suci Romadlon baru saja kita perjuangkan bersama-sama menahan hawa nafsu dalam cermin diri kita di dua gerbang yaitu kelakuan baik maupun kelakuan buruk, di dalam satu bulan suci penuh kita semua bisa menonjolkan niat yang baik-baik dalam tindakan.
Satu bulan (puasa) penuh kita bisa menampilkan dalam pemenuhan sebagai makhluk (sosial) sempurna Tuhan yang biasa disebut manusia. Nilai luhur semacam penampilan kejadian di dalam bulan yang disebut Romadlon itulah yang kadang kita sebagai manusia biasa, kurang bisa untuk selalu menampilkan sikap maupun sifat baik kita, namun setelah bulan Romadlon berlalu begitu saja. Seolah atau memang manusia seperti kita ini diberi (punya) nikmat berupa sifat ingat, jadi mengingat dan sifat lupa, jadi pelupa.
Setelah mengasah dan mengasuh jiwa, yaitu berpuasa selama satu bulan, diharapkan setiap muslim dapat kembali ke asal kejadiannya dan menemukan “jati dirinya”, yaitu kembali suci sebagaimana ketika ia baru dilahirkan serta kembali mengamalkan ajaran agama yang benar. Ini semua menuntut keserasian hubungan, karena menurut Rasulullah al-din al-mu’amalah, yakni keserasian dengan sesama manusia, lingkungan, serta alam.
Semua umat muslim berucap “minal ‘aidin wal faizin” disertai uluran tangan yang diikuti saling berjabat tangan. Demikian harapan serta do’a yang kita ucapkan kepada sanak keluarga, sahabat dan handai tolan pada idul fitri. Namun apa yang dimaksud dengan dengan kata ‘aidin, dari segi bahasa, minal ‘aidin berarti “(semoga kita) termasuk orang-orang yang kembali”. Kembali disini adalah kembali kepada jiwa fitrah, yakni “asal kejadian”, atau “kesucian”, atau “agama yang benar”.
Sementara itu, al-faizin diambil dari kata fawz yang berarti keberuntungan”. Apakah “keberuntungan” yang kita harapkan itu? Kata fawz mengandung makna “pengampunan dan keridhaan Tuhan serta kebahagiaan surgawi”. Kalau demikian halnya, wal faizin harus dipahami dalam artian harapan dan do’a, yaitu semoga kita termasuk orang-orang yang memperoleh ampunan dan ridha Allah SWT.
Kata Al-Safwu, yang kemudian diIndonesiakan dengan “ma’af”, berarti “menghapus” karena yang mema’afkan menghapus bekas-bekas luka di hatinya, sedangkan al-shafhu berarti “kelapangan” dan darinya dapat dibentuk kata shafhat yang berarti “lembaran” atau “halaman”, serta mushafahat yang berarti “berjabat tangan”. Seseorang yang melakukan al-shafhu, seperti anjuran ayat diatas, dituntut untuk melapangkan dadanya sehingga mampu menampung segala ketersinggungan serta dapat pula menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru.
Halal bi halal, dua kata berangkai yang sering diucapkan dalam suasana Idul Fitri, adalah satu dari istilah-istilah keagamaan yang hanya dikenal oleh masyarakat Indonesia. Istilah tersebut seringkali menimbulkan tanda tanya tentang maknanya, bahkan kebenarannya dari segi bahasa, walaupun semua pihak menyadari bahwa tujuannya adalah menciptakan keharmonisan antara sesama.
Sementara halal adalah sesuatu yang diperbolehkan serta tidak mengundang dosa. Jika demikian, halal bi halal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan berakibat dosa, menjadi halal dengan jalan memohon ma’af. Dari segi bahasa, akar kata halal yang kemudian membentuk berbagai bentukan kata, mempunyai arti yang beraneka ragam, sesuai dengan bentuk dan rangkaian kata berikutnya. Makna-makna yang diciptakan oleh bentukan-bentukan tersebut, antara lain, berarti “menyelesaikan problem”,”meluruskan benang kusut”,”melepaskan ikatan”, dan “mencairkan yang beku”.
Boleh jadi hubungan yang dingin, keruh, dan kusut tidak ditimbulkan oleh sifat yang haram. Ia menjadi begitu karena anda lama tidak berkunjung kepada seseorang, atau ada sikap adil yang anda ambil namun menyakitkan orang lain, atau timbul keretakan hubungan dari kesalahpahaman akibat ucapan dan lirikan mata yang tidak disengaja. Kesemuanya ini, tidak haram menurut pandangan hukum, namun perlu diselesaikan secara baik; yang beku dihangatkan, yang kusut diluruskan, dan yang mengikat dilepaskan.
Sifat kasih sayang dan saling mema’afkan serta saling mencintai sesama makhluk hidup, merupakan sebuah sadar sosial. Suasana fitrah manusia itulah, untuk bisa disebut makhluk sempurna, apabila di hari nan fitri kita semua bisa menciptakan suasana saling berbagi cinta serta kasih sayang dalam upaya bersih hati dalam jiwa manusia. Yang dalam satu bulan penuh Tuhan maha pengasih dan maha penyayang selalu memberikan ruang serta waktu untuk ber-interaksi secara vertikal, saling berjabat tangan menggusur sekat kehidupan untuk saling berma’afan, minal ‘aidin wal faizin untuk menuju suasana idul fitri.
Demikianlah nilai-nilai dasar ber-halal bihalal, atau jika istilah tersebut enggan anda gunakan, katakanlah bahwa itu merupakan hakikat idul fitri, sehingga semakin banyak dan seringnya anda mengulurkan tangan dan melapangkan dada, dan semakin parah luka hati yang anda obati dengan mema’afkan, maka semakin dalam pula penghayatan dan pengamalan anda terhadap hakikat halal bihalal. Bentuknya memang khas Indonesia, namun hakikatnya adalah hakikat ajaran Islam.
achmad fathoni
Alumni IAIN Sunan Ampel 2005
Sekarang pengurus GP ANSOR GRESIK
0 comments:
Post a Comment